Ragam dan cara orang merayakan Hari Raya Idul Fitri berbeda-beda disejumlah tempat. Sebagian orang merayakan Idul Fitri atau lebaran dengan makan-makan, ada juga dengan mencoba berbagai jenis pakaian baru. Selain itu, silaturrahmi dan saling kunjung merupakan tradisi lebaran yang lazim dilakukan masyarakat di tanah air.
Di lingkungan tempat tinggal saya, Kota Takengon Aceh Tengah, silaturrahmi baru dilakukan masyarakat pada hari kedua lebaran. Pada hari pertama, setelah shalat ied, Kota Takengon terlihat sangat sepi. Rumah-rumah penduduk seperti tanpa penghuni. Kemana mereka pergi? Ternyata pada hari pertama lebaran digunakan penduduk untuk prosesi ziarah kubur.
Bagi mereka yang baru pertama kali merayakan lebaran di Kota Takengon pasti akan terheran-heran saat melihat orang berduyun-duyun keluar rumah. Mereka bukan mengunjungi tetangga. Mereka sekeluarga ziarah ke kuburan orang tua atau sanak keluarganya dengan membawa cangkul dan parang. Jangan disimpulkan bahwa mereka tidak menerima tamu, tetapi hari pertama lebaran dikhususkan untuk keluarga.
Sebaliknya, bagi warga pendatang dari pesisir Aceh yang sudah lama bermukim di Kota Takengon, merayakan lebaran tetap dengan acara silaturrahmi sesamanya. Mereka akan berkunjung ke rumah tetangganya (penduduk asli) pada hari kedua lebaran. Tradisi silaturrahmi pada hari kedua lebaran sudah cukup familier bagi warga Kota Takengon.
Apa yang dilakukan warga Kota Takengon ketika berada di kuburan orang tua atau keluarganya? Salah satunya adalah membersihkan kuburan, lalu dilanjutkan dengan berdoa. Mereka juga membawa air dalam teko yang kemudian disiramkan ke atas pusara. Setelah itu, mereka menabur bunga diiringi dengan doa.
Tidak jarang juga beberapa orang melakukan “sebuku” yaitu tangisan yang diiringi dengan kalimat berisi kenangan terhadap almarhum atau almurhumah. Meskipun “sebuku” dilarang oleh para tokoh agama, namun ketika mereka berada di pusara keluarganya tetap tak mampu menahan tangis.
Ketika berada di komplek perkuburan jangan terkejut jika tiba-tiba ada orang yang histeris. Begitu berada di depan pusara orang tuanya, langsung mereka ber”sebuku.” Menurut mereka, kenangan indah serta jasa dari orang yang telah meninggal itu sungguh tak terlupakan. Itulah penyebab sebagian mereka tak mampu menahan tangis.
Kalimat “sebuku” yang sering meluncur dari mulut seorang anak, antara lain:
“Alahe inengku, aku iluwahi inengku, muluwahi beret kin tubuhku, muluwahi sinte kin bedenku. Iluwahi inengku, turun nik senye, turun soboh munik iyo, kati lepas aku kawul, kati lugen aku naru, sana kene limah mamur ni kum biak kati lepas aku kawul.”
(Terjemahan bebasnya: Ibuku tak punya apa-apa, tidaklah sama dengan kebanyakan orang yang serba mampu dan cukup sesuatu yang ia pergunakan. Ibu melepaskanku, untuk mengajarku bertanggung jawab, disamping melepaskan kewajiban ibu pada putrinya). Oleh Syukri Muhammad
sumber : http://sosbud.kompasiana.com (Visit This Website Now)