ISTILAH “beguru” dalam bahasa gayo punya multi arti. Misalnya: jika si A menuntut ilmu kebal kepada B, maka A dikatakan “beguru” dalam ilmu kebal kepada B. “Beguru” berarti pula meniru atau mengikuti aliran/mazhab atau budaya asing. Dalam kaitan ini dikatakan: “urang gayo nge beguru ku budaya luer.” (Orang Gayo sudah ‘membeo’ budaya luar) Selain itu, “beguru” bermakna berobat. Misalnya: “Kusa wè beguru?” (Kepada siapa dia berobat?) Pengertian lain dari “beguru” ialah: upacara penyampaian nasehat terakhir kepada calon pengantin lelaki atau perempuan, yang berlangsung secara terpisah dalam lingkungan keluarga masing-masing, diadakan pada malam menjelang keesokan hari dilangsungkan acara aqad nikah, dihadiri oleh sanak saudara dan penghulu kampung.
Acara “Beguru”, selain untuk menjalin hubungan silaturrahmi, juga media dakwah dan pendidikan. Betapa tidak! Nasehat difokuskan pada masalah tauhid dan aplikasi ‘akhlaqul karimah’. Untuk itulah, konsep pendidikan Islam yang tedapat dalam (QS: Luqman, 12-19) sangat relevan dipaparkan, karena materinya sarat dengan nilai-nilai moral dan pengenalan jati-diri –sadar bahwa nikmat yang dirasakan oleh manusia– merupakan rahmat dan karunia Allah yang harus disyukuri. Luqman adalah figur yang memenuhi criteria penerima hikmah. Inilah esensi dari (QS: Luqman, 12).
Ajaran tauhid yang dimaksud adalah: tidak mempersekutukan Allah (lihat: QS: Luqman, 13), (An-Nahl, 74) dan (Al-Ikhlas, 1-4), sehingga calon pengantin berhati teguh dan terbentuk suatu keluarga sakinah dan mawaddah bersama “orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al-An’am: 82). Wasiat Luqman kepada anaknya (Tsaran) merupakan hal penting dalam acara “beguru”, agar anak yang akan dilepas, tetap berpegang kepada ‘hablum-minAllah’ (tali Allah); dimana saja dan dalam lingkungan keluarga mana saja berada.
Akan halnya dengan implikasi ‘akhlaqul karimah’, menekankan kepada perintah berbuat baik kepada kedua orang tua; seraya mengingatkan: kalau Ibu telah mengandung, melahirkan, menyusui dan membesarkan dalam keadaan lemah, yang diceritakan dalam (QS: Luqman, 14). Dengan begitu, calon mempelai tahu diri: darimana dia berasal dan akan melangkah kemana? Bagaimanapun, dalam hal-hal tertentu ada pengecualian, yaitu: jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (QS: Luqman, 15).
Ini penting, karena setelah berkeluarga, banyak pasangan suami/isteri bersikap kurang ajar, mengecewakan kedua orang tua dan mendewakan institusi pasangan suami/Isteri. Untuk mengelaknya, calon pengantin diberi kesadaran bahwa: sesudah berkeluarga: Ibu/Bapak-nya dua pasang, yakni: orang tua kandung + Mertua, yang tidak diperlakukan berat sebelah. Jadi, “beguru” benar-benar suatu wadah pendidikan akhlaq, yang menurut Imam Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin, “agar orang terhindar dari perbutan tercela”. Selain itu, memelihara adab sopan santun dalam kehidupan bermasyarakat (hablum-minannas). Tentang hal ini ditegaskan: “Jangan kamu palingkan wajahmu dari manusia ketika berbicara kepada mereka atau mereka berbicara denganmu karena merendahkan mereka dan sombong kepada mereka. Akan tetapi berlemah lembutlah kamu, dan tampakkan keramahan wajahmu pada mereka.” (lihat: QS: Luqman, 18). “Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. Al-Isra: 37) “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu…” (QS: Luqman, 19). Jadi, wasiat Luqman merupakan konsep pendidikan keluarga dan hidup bermasyarakat. Diingatkan pula tentang kewajiban mengerjakan shalat dan melakukan ‘amar ma’ruf nahi munkar’ (QS: Luqman, 17). “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS: Ali-Imran, 104)
Demikian pula kreativitas, yang masuk dalam ‘accound ‘amal setiap orang, diperhitungkan betapapun kecil nilainya (QS: Luqman, 16). Ditegas lagi: “Siapapun yang mengerjakan kebajikan seberat zarrah, niscaya Dia akan membalasnya. Siapapun yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya Dia akan membalasnya pula” (QS: Al-Zalzalah, 7-8). Dalam konteks inilah, Al-Qurthubi berkata: “seseorang tidak akan kehilangan sesuatu yang telah ditakdirkan padanya.” (Lihat: tafsir Al-Jami’ li Ahkaamil Qur’an, Kairo, 1994.
Akhirnya, “beguru” merupakan adat masyarakat Gayo yang sarat dengan pelajaran tentang panduan, supaya berinteraksi dan berkomunikasi dengan sopan-santun kepada kedua orang tua; bersyukur kepada Allah; mengikuti pola hidup para anbiya’ dan shalihin; mengerjakan shalat dan berbuat ’amar ma’ruf nahi munkar; bersikap sederhana dan menjaga sopan-santun dalam pergaulan bermasyarakat. Melarang berbuat syirik, bersikap angkuh/arogan, tabiat berlebihan dan serakah dalam segala hal.
Memandangkan “beguru” begitu penting, sehingga adat tersebut tetap dipelihara dan dilestarikan oleh orang gayo dimana saja mereka berada, sekaligus melegitimasi ungkapan: “si penting imente si turah kuet, mujegei edet ni muyang datu” (lirik Didong: Kabri Wali) dan “edet gayo peger ni agama”. (Yang penting iman kita harus kokoh, menjaga adat nenek moyang dan adat gayo pagarnya agama). Wallahu’aklam bissawab! Yusra Habib Abdul Gani (Pemerhati Masalah Islam dan Budaya, tinggal di Denmark)
sumber : lintasgayo.com (Visit This Website Now)
0 comments:
Post a Comment