|
Ilustrasi : Para Wisatawan |
|
|
Gampong Lubuk Sukon merupakan bagian dari Mukim Lubuk, dengan luas 112 Ha, dan berbatasan dengan Gampong Dham Pulo di sebelah Utara, Gampong Lubuk Gapuy di sebelah Timur, Mukim Lambarieh di sebelah Selatan, dan Gampong Dham Ceukok di sebelah Barat untuk mencapai lokasi diperlukan waktu sekitar 1 sampai 2 jam dari Banda Aceh.
Dinamika Sosial Masyarakat
Sistem pemerintahan Adat di Gampong Lubuk Sukon berpedoman
pada naskah Kanun Syara’ Kesultanan Aceh yang ditulis oleh Teungku di
Mulek pada tahun 1270 Hijriah. Pranata politik di Gampong berfungsi
untuk memenuhi keperluan mengatur dan mengelola keseimbangan kekuasaan
dalam kehidupan komunitas tersebut. Struktur politiknya terdiri atas
beberapa status dengan peran tertentu, yaitu Keuchik bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerintahan Gampong, terhadap pelaksanaan dan keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan di Gampongnya. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang Keuchik dapat meminta bantuan pertimbangan dari Tuha peut dan Imeum Meunasah. Imeum Meunasah merupakan pimpinan dalam keagamaan dan Tuha peut adalah
dewan orang tua yang berpengalaman dan paham mengenai adat dan agama.
Untuk urusan yang berkaitan dengan aktivitas pertanian, Keuchik menyerahkan wewenang sepenuhnya kepada Keujruen Blang (kelompok petani).
Selain kelembagaan pemerintahan, terdapat kelembagaan sosial kemasyarakatan yang diikuti oleh penduduk Gampong, yaitu kelompok pengajian, kelompok organisasi wanita, dan kelompok organisasi pemuda. Kedekatan hubungan lembaga-lembaga di Gampong Lubuk Sukon dengan masyarakat ataupun dengan lembaga lainnya
Sistem kemasyarakatan/kekerabatan Penduduk Gampong Lubuk
Sukon, seperti halnya masyarakat di wilayah Aceh Besar, menarik garis
keturunan berdasarkan prinsip bilateral, memperhitungkan hubungan
kekerabatan baik pada pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Hubungan
keluarga dalam masyarakat Aceh terdiri dari Wali, Karong dan Kaom.
Namun, dalam sistem kekerabatan yang lebih mikro, wujud keluarga besar
Aceh terdiri dari keluarga inti senior dan keluarga inti dari anak-anak
perempuannya, sesuai dengan adat menetap nikah matrilokal (uxorilocal).
Hal ini berarti sesudah menikah, suami menetap di lingkungan kerabat
perempuan. Keluarga besar ini hidup dalam rumah yang berada dalam satu
pekarangan dan satu kesatuan ekonomi yang diatur oleh kepala keluarga
inti senior.
Hukum adat yang berlaku sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
tersebut mempengaruhi orientasi tempat tinggal keluarga batih baru dalam
masyarakat Aceh, sehingga pasangan yang baru menikah biasanya bertempat
tinggal di rumah mempelai wanita. Jumlah pendatang yang tinggal di Gampong Lubuk Sukon karena ikut istri, berkaitan dengan tradisi menetap menikah di rumah pihak perempuan dalam adat Aceh.
Pengelompokan sosial berdasarkan mata pencaharian di masa lalu tidak
memberikan pengaruh yang cukup signifikan kepada masyarakat Aceh dalam
hal memilih pekerjaan. Saat ini, mata pencaharian penduduk Gampong Lubuk
Sukon cukup beragam. Sebagian besar warga Lubuk Sukon bermata
pencaharian sebagai petani (37.61%) dan sebesar 8.84% bekerja sebagai
buruh tani. Hal ini dikarenakan oleh topografi wilayah yang berupa
dataran rendah dan faktor tanah yang sangat potensial untuk daerah
persawahan. Meskipun begitu, pekerjaan sebagai petani mulai ditinggalkan
penduduk, karena stagnansi dalam bidang pertanian dan pendapatan yang
kurang mencukupi. Secara spesifik, berdasarkan hasil dari kuisioner,
diketahui bahwa sebagian besar responden bermata pencaharian sebagai
petani (31.82%) diikuti dengan profesi sebagai PNS sebanyak 27.27% dan
wiraswasta sebanyak 16.67%.
Pergeseran jenis pekerjaan dari petani ke mata pencaharian lainnya,
dipengaruhi oleh lokasi hunian. Kelompok hunian Darul Ulum dan
Darusshalihin yang lebih dekat dengan jalan lokal primer, yaitu pada
sebelah Selatan Gampong, lebih banyak yang bermata pencaharian
sebagai PNS atau swasta/wiraswasta. Kelompok hunian yang lebih dekat
dengan persawahan dan kebun/ladang seperti kelompok hunian Darussalam
dan Darul Makmur masih didominasi pekerjaan sebagai petani maupun buruh
tani.
Identitas Kultur/Budaya
Tata nilai dan kepercayaan yang berkembang pada masyarakat Gampong Lubuk
Sukon adalah adat Aceh Besar dan Islam. Keseluruhan masyarakatnya
merupakan pemeluk agama Islam, dan secara umum dikenal sebagai pemeluk
agama Islam yang taat, bahkan terkesan fanatik. Masyarakat masih
memegang adat Aceh yang tercantum dalam Hadih Maja hasil kesimpulan dari
Musyawarah Besar Kerukunan Rakyat Aceh pada tahun 1098 H, sebagai
pedoman dalam pergaulan masyarakat. Adat dan tradisi dilakukan melalui
ritual-ritual yang berkaitan dengan daur hidup (kelahiran dan
pernikahan), kegiatan keagamaan (Maulid Nabi, Nuzulul Quran, dan Isra’
Mi’raj), dan aktivitas pertanian yang berkaitan dengan mata pencaharian
penduduk (Kanduri Blang).
Ritual-ritual yang dilakukan masyarakat Gampong Lubuk Sukon
melalui tahapan-tahapan yang menggunakan ruang tertentu, sehingga
mempengaruhi hirarki dan sifat dari ruang tersebut.
Pada masa dahulu sistem pelapisan masyarakat terdiri atas golongan
bangsawan dan golongan rakyat biasa. Golongan bangsawan berasal dari
kelompok uleebalang yaitu kelompok yang diberi kekuasaan oleh
Sultan Aceh untuk mengepalai bagian-bagian tertentu yang setingkat
dengan distrik. Karena daerah uleebalang bersifat otonom maka yang mengepalai daerah bersifat turun temurun dari kelompok uleebalang. Oleh karena itu kekuasaan yang diberikan oleh Sultan lebih absolut. Golongan inilah yang sekarang dikenal dengan panggilan teuku atau ampon untuk kaum prianya, dan pecut atau cut
bagi kaum wanita. Pada masa Belanda, bangsawan ini lebih banyak
memperoleh fasilitas dari Pemerintah terutama fasilitas pendidikan.
Upacara-upacara adat yang dilaksanakan diantaranya: (Rusdi Sufi, Adat istiadat Masyarakat Aceh, Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Propinsi NAD, 2002)
1. Upacara kenduri; upacara kenduri berkaitan dengan kepercayaan terdapat
- kenduri apam yang dilaksanakan pada bulan Rajab terutama 27 Rajab yang diperingati sebagai Isro’ Mi’Raj. Pada malam hari berkumpul di meunasah,
masjid, atau rumah-rumah untuk mendengarkan riwayat yang dismapaikan
dalam bentuk syair prosa. Setiap rumah membuat kue apam (serabi) dari
baha tepung beras dan santan berbentuk bulat.
- Kenduri blang (turun kesawah), merupakan upacara
masyarakat petani di pedesaan. Upacara blang diselenggarakan secara
massal saat menjelang petani akan mulai mengerjakan sawah.
- Kenduri Tulak Bala. Sebagian besar upacara kenduri
dilatarbelakangi oleh rasa syukur kepa Allah SWT. Untuk menghindari dari
musibah maka sering diadakan kenduri tulak bala. Tempat upacara
dilaksanakan di babah jurong (mulut lorong). Tempat ini dipilih
mengingat ada anggapan bahwa bala itu datang melalui lorong sebagaimana
biasanya mereka pulang.
2. Kenduri berkaitan dengan hari-hari perayaan agama yakni berupa kenduri maulod (memperingati kelahiran Nabi Muhammad), isra’ mi’raj, nisfu sya’ban (dilaksanakan tanggal 15 bulan Sya’ban di meunasah), siploh muharram (sepuluh Muharram sebagai upacara memperingati wafatnya cucu Nabi yakni Hasan Husen), peutamat daurih (pengkhataman Al Qur’an), kenduri 27 pusasa (dalam rangka menyambut malam 27 Ramadhan), kenduri boh kayee (kenduri buah-buahan dilaksanakan pada bulan Jumadill Akhir).
3. Kenduri berkaitan dengan lingkar kehidupan seperti Upacara
kematian, ada empat hal yang harus dilaksanakan yakni memandikan
jenazah, membungkus dnegan kain kaffan, menyembahyangkan dan
menguburkan. Secara tradisi terdapat upacara penangisan jenazah sering
disebut pemoe bae (menangis secara meratap) pada saat jenazah
diletakkan hendak dibawa ke kubur. Kemudian pada hari ketiga, kelima,
ketujuh, dan kesepuluh diadakan kenduri sambil ada pembacaan doa.
Setelah itu terdapat hari ke tigapuluh, keempatpuluh, keseratus dan
tahun kematian juga diadakan kenduri.
4. Peusijuk meulangga (tepung tawar), yakni upacara yang dilaksanakan apabila telah terjadi perselisihan antar penduduk, peusijuk pade bijeh dilakukan oleh petani terhadap benih padi yang akan ditanam agar subur dan berbuah banyak, peusijuk tempat tinggay (sebagai upacara untuk meninggali rumah, peusijuk peudong rumoh upacara untuk membangun rumah, biasanya yang diberi peusijuk adalah tiang raja dan tameh putroe serta tukang yang mengerjakan, peusijuk keurubeuen yakni upacara saat korban, peusijuk kendaraan yakni peusijuk yang dilakukan ketika baru memiliki kendaraan.
5. Upacara berkitan dengan daur hidup
- Upacara kelahiran dimulai dari masa hamil berupa upacara ba bu (mengantar nasi). Upacara ini dilangsungkan setelah selesai upacara tungkai atau masa kandungan 7 smapai 8 bulan, pantangan
dimana seorang yang hamil harus menjalani pantangan antara lain
dilarang duduk di ujung tangga, berada di luar saat senja, melangkahi
kuburan dan lain-lain, meuramien yakni orang yang hamil bisanya dibawa ketempat rekreasi yaitu pantai
- Upacara kelahiran bayi, pada hari ketujuh dilakukan upacara cukur rambut dan peucicap yang kadang bersamaan dengan pemberian nama
- Upacara sebelum dewasa berupa upacara mengantar mengaji, upacara khitan
Upacara perkawinan dengan tahapan perkenalan, meminang (dalam meminang diadakan janji jumlah jiname (mahar/maskawin), pertunangan, peresmian perkawinan, intat dara baro (antar penganten perempuan)
Pola Pemukiman dan Artefak Arsitektural
Gampong Lubuk Sukon dilewati Sungai Krueng Aceh dengan lebar 30-50 meter, yang membatasi Gampong Lubuk Sukon dengan jalan utama dan Gampong-Gampong disekitarnya.
Sungai ini berperan penting dalam pemilihan lokasi sebagai tempat
bermukim. Pada tahun 1920, para ulama dan sufi sebagai penduduk awal Gampong,
tidak membangun permukimannya dekat dengan sungai karena alasan
keamanan, namun memilih wilayah pedalaman yang masih berupa hutan.
Penduduk hanya membuka jalan setapak menuju sungai, karena
ketergantungan terhadap air sangat tinggi. Keberadaan sungai juga
mempengaruhi mata pencaharian penduduk di bidang pertanian. Sawah-sawah
penduduk berada dekat dengan sungai.
Pada perkembangannya, Keuchik tidak mengizinkan pembangunan
rumah untuk berkembang di kawasan sekitar sungai, dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu (1) volume air cukup tinggi yang menyebabkan terjadinya
banjir tahunan. Pemerintah sempat membangun tanggul di wilayah studi
untuk menghindari banjir; (2) kawasan perairan tetap dipertahankan
sebagai sumber kehidupan yang harus dipelihara masyarakat. Sekitar awal
1970-an hingga akhir 1980-an, cabang aliran sungai yang berada di bagian
Barat Gampong perlahan mengering karena penebangan hutan.
Pada tahun 1989, Sungai Krueng Aceh mulai mengering secara total,
meskipun masih terdapat sebagaian genangan air. Pada periode ini, sistem
irigasi mulai dikembangkan untuk kawasan pertanian di bagian Timur Gampong, mengikuti arah perkembangan permukiman.
Lahan hutan dibuka untuk mendirikan beberapa bangunan, yang kemudian
berkembang menjadi sebuah perkampungan. Penduduk juga membuka dan
memanfaatkan lahan hutan untuk ladang, sawah, dan kebun. Lahan untuk
ladang dan kebun berada dekat kawasan permukiman, dan lahan untuk sawah
berada di dekat sungai. Pada awalnya, Gampong Lubuk Sukon mempunyai seorang peutua uteuen yang
mengatur pemanfaatan kawasan hutan, agar tetap terjaga kelestariannya.
Pemanfaatan lahan yang terus berkembang pada tahun 1950-an, menggantikan
posisi peutua uteuen menjadi peutua seuneubok (pemimpin kawasan ladang dan kebun). Saat ini, hampir tidak terdapat hutan di Gampong Lubuk Sukon.
Permukiman Tahap dibukanya Gampong Lubuk Sukon ditandai dengan dibangunnya beberapa rumah dan sebuah meunasah. Penempatan bangunan hunian yaitu pada lahan di sekitar meunasah. Para sufi dan ulama yang merupakan penduduk awal Gampong Lubuk Sukon mengikuti tradisi leluhur di daerah asal mereka, yaitu membangun rumah panggung (rumoh Aceh dan rumoh santeut) yang mengarah ke kiblat shalat.
Pada perkembangannya, rumah-rumah mulai dibangun di Dusun Darussalam, yaitu pada lahan di sekitar meunasah. Ketika penduduk semakin bertambah, penduduk mengambil lahan di bagian Timur Gampong, yaitu Dusun Darusshalihin dan Dusun Darul Alam. Penataan bangunan hunian dilakukan berdasarkan hubungan kekerabatan.
Pada awal tahun 1980an, mulai muncul rumah modern karena pengaruh
pergeseran nilai-nilai kepercayaan, tingkat pendidikan, variasi mata
pencaharian, dan perkembangan infrastruktur.
Lahan pertanian yang pertama (1920-1950), yaitu lahan dekat sungai di bagian Selatan Gampong. Pada periode ini, hampir semua penduduk bermatapencaharian sebagai petani.
Perkembangan lahan pertanian selanjutnya, yaitu di bagian Timur Gampong, di luar kawasan permukiman. Lahan untuk kebun dan ladang di Gampong Lubuk
Sukon terletak dekat dengan kawasan permukiman penduduk, sedangkan
sawah berada agak jauh dari permukiman. Hutan di sekitar permukiman dan
lokasi persawahan (blang) menjadi batas Gampong, untuk melindungi Gampong secara fisik dan menghambat pihak luar yang akan masuk ke dalam.
Pada akhir tahun 1980-an, lahan pertanian tidak lagi berkembang
dengan pesat dan mulai terjadi pergeseran mata pencaharian penduduk dari
petani ke jenis pekerjaan lainnya.
Pada tahun 1920-an, hanya terdapat jalan setapak sebagai akses dari
sungai Krueng Aceh menuju ke hutan, yang merupakan cikal bakal
permukiman Gampong Lubuk Sukon. Jalan ini menjadi jalan utama dan terus menyambung dengan Gampong Dham Pulo serta ke wilayah lainnya di Mukim Lubuk. Sarana yang ada pada periode 1920-1950 adalah meunasah dan bale.
Pada tahun 1972, pemerintah membangun jembatan yang lebih layak untuk
membuka akses dari jalan arteri primer (Jalan raya Banda Aceh-Medan)
menuju Mukim Lubuk. Jembatan ini terus diperbaiki hingga
menjadi jembatan beton yang kokoh di tahun 1989. Pada periode ini,
jalan-jalan baru mulai terbentuk sesuai dengan aksesibilitas yang
dibutuhkan masyarakat. Jalan menjadi batas antar halaman-halaman rumah
penduduk. Infrastruktur jalan yang lebih baik berpengaruh pada
perkembangan Gampong, yaitu mulai muncul fasilitas umum seperti klinik kesehatan, sekolah-sekolah, lapangan olahraga, makam, dan sarana perdagangan.
Penduduk memanfaatkan lahan kosong yang ada di Gampong Lubuk Sukon sebagai tempat hunian (permukiman). Namun, ada ketentuan dalam konsep tata ruang tradisional yang memberlakukan hariem krueng,
yaitu tanah bebas, dan tidak boleh dimiliki siapapun. Hal ini berarti
penduduk juga tidak boleh membangun rumah pada kawasan ini.
Transek Gampong yang meliputi kondisi topografi, guna lahan, dan status kepemilikan tanah dijelaskan sebagai berikut:
- Keadaan wilayah bagian Selatan berupa sungai, perkebunan, dan sawah. Sungai di Gampong Lubuk Sukon berada di bagian seunebok. Di sepanjang sisi sungai terdapat persawahan atau ladang, dan bale untuk
tempat para petani berteduh. Sungai tidak dijadikan sebagai tempat
bermukim karena masyarakat Aceh menganggap sungai sebagai kawasan yang
harus dijaga kelestariannya, dan menempatkan berbagai tanaman penyangga
di sepanjang sisi sungai (jalur boinah). Seunebok di Gampong Lubuk
Sukon merupakan wilayah rimba yang beralih fungsi. Perkebunan
mendominasi lahan di wilayah ini, dengan jenis vegetasi meliputi kelapa,
pisang, dan jagung.
- Bagian Barat Gampong merupakan kawasan hutan yang masih dipertahankan oleh penduduk. Hutan ini merupakan bagian dari kawasan konservasi yang disebut boinah oleh masyarakat Gampong Lubuk
Sukon, sehingga diperbolehkan untuk dikelola secara ekonomi namun tidak
untuk pengembangan permukiman. Setelah areal hutan, terdapat pula seunebok.
- Di bagian tengah, terdapat permukiman penduduk. Rata-rata tiap
penduduk memiliki pekarangan dan menanaminya dengan jenis
tumbuh-tumbuhan produktif yang menghasilkan buah-buahan dan
sayur-sayuran untuk kebutuhan dapur. Beberapa fasilitas umum milik Gampong, seperti meunasah, sekolah TK dan kantor keuchik juga terdapat di wilayah ini. Di Gampong Lubuk Sukon, tumpok menunjukkan bagian tengah Gampong yang di dalamnya terdapat tempat hunian atau rumoh. Arah dan orientasi bangunan rumah adalah menghadap kiblat atau arah timur-barat. Tumpok juga memperlihatkan bahwa pola permukiman di Gampong Lubuk Sukon adalah memusat, terlihat dari letak permukiman yang dibatasi oleh kawasan blang dan seunebok.
- Di bagian Utara Gampong Lubuk Sukon, merupakan wilayah perbatasan dengan Gampong Dham
Pulo. Disini lebih banyak terdapat fasilitas umum dengan skala
kecamatan, yaitu berupa lapangan dan bangunan untuk fasilitas olahraga,
SMU 1 Ingin Jaya, Balai Pelatihan Pendidikan milik pemerintah daerah,
mesjid Mukim Lubuk, makam. Topografi di wilayah ini adalah datar dan
jalan yang ada sudah berupa aspal. Makam umum juga terdapat di ujong bagian Utara Gampong, yaitu di perbatasan antara kawasan perumahan dengan lahan pertanian (blang atau seunebok), berada tepat di depan mesjid Mukim Lubuk.
- Di bagian Timur Gampong, terdapat areal persawahan yang disebut blang. Blang sekaligus menjadi batas antara Gampong Lubuk Sukon dengan Gampong Lubuk Gapuy.
Pembagian ruang di Gampong Lubuk Sukon sesuai dengan tata peletakan elemen ruang permukiman tradisionalyaitu sebagai berikut:
a) Kawasan permukiman, terdiri dari rumah-rumah dan meunasah, berada di wilayah tumpok yang memusat di tengah-tengah Gampong Lubuk Sukon. Perkembangan kawasan permukiman, berupa rumah-rumah baru dan tambahan fasilitas umum, berada di wilayah ujong, yaitu kawasan yang terletak di antara tumpok dan ujong. Keberadaan kawasan ujong tidak terlepas dari bentuk asal dari Gampong Lubuk Sukon yang merupakan sebuah pemukiman yang tertutup. Gampong dikelilingi pagar tanaman dan semak belukar, untuk melindungsi kawasan tumpok. Pada area tumpok dan ujong,
tiap individu mengenal secara personal elemen-elemen lingkungan dan
komunitas yang ada di dalamnya. Dalam Al-Hadist yang juga tercantum
dalam Hadih Maja Kesultanan Aceh Darussalam, wilayah tumpok dan ujong merupakan satuan lingkup lingkungan yang disebut haraat.
b) Lahan usaha, dalam hal ini peruntukan lahan pertanian, berada di luar wilayah permukiman, yaitu blang.
Pola tata ruang tempat tinggal
- Rumah dan pekarangan Kepadatan bangunan yang ada di Gampong Lubuk Sukon didominasi oleh rumoh Aceh, yaitu sebanyak 69 unit. Selain itu, terdapat 58 unit rumah santeut dan
64 unit rumah modern. Rumah dengan tipologi bahan konstruksi rumah kayu
paling banyak terdapat pada kelompok hunian Darul Ulum dan dibangun
pada tahun 1950-1980 (15.15%), sedangkan rumah dengan tipologi
konstruksi rumah beton (rumah modern) merata terdapat pada kelompok
hunian Darul Ulum, Darussalam, dan Darusshalihin. Rumah modern sebagian
besar dibangun pada tahun 1981-1990 (13.64%) Lumbung merupakan elemen
yang hilang pada pekarangan rumah di Gampong Lubuk Sukon. Hal
ini disebabkan karena sebagian besar rumah tidak lagi menggantungkan
hidupnya dalam bidang pertanian. Adapun elemen yang masih tetap
dipertahankan oleh penduduk Gampong Lubuk Sukon adalah tanaman pada halaman rumah, yaitu sebanyak 100%.
- Struktur tata ruang tempat tinggal
Fungsi ruang tempat tinggal masyarakat Aceh menunjukkan bahwa secara
tradisional rumoh Aceh diperuntukkan untuk perempuan atau disebut juga
sebagai rumoh inong, yaitu sebagai berikut:
- Seuramoe keue sebagai tempat menerima tamu laki-laki,
tempat mengaji dan belajar anak laki-laki, sekaligus tempat tidur anak
laki-laki, serta kepentingan umum lainnya.
- Seuramoe teungoh (serambi tengah) atau tungai bersifat
tertutup sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai kamar tidur. Kamar
sebelah barat ditempati oleh kepala keluarga (ibu dan ayah), dan kamar
sebelah timur (rumoh andjoeng) ditempati oleh anak perempuan.
Jika sebuah keluarga mempunyai lebih dari satu anak perempuan, maka
kepala keluarga membuat rumah terpisah atau terpaksa pindah ke belakang
bagian barat. Serambi tengah disebut juga dengan rumoh inong (rumah perempuan) karena laki-laki yang bukan muhrim tidak diizinkan untuk memasuki zona tungai ini.
- Serambi belakang (seuramoe likot) merupakan ruang tambahan yang sering disebut dengan ulee keude,
dan berfungsi sebagai dapur. Pembagian ruang yang memperlihatkan adanya
pembedaan antara zona laki-laki dan zona perempuan, dipengaruhi oleh
aturan perkawinan dan adat peunulang yang berlaku. Rumah merupakan milik
perempuan dan laki-laki dianggap sebagai tamu yang harus dihormati,
sehingga tidak diperbolehkan untuk memasuki serambi tengah dan dapur.
Peraturan adat ini berkaitan dengan ajaran agama Islam yang memisahkan
ruang privat antar gender, sehingga rumoh Aceh di disain untuk
melindungi perempuan agar tidak terlihat auratnya oleh laki-laki yang
bukan muhrimnya, serta dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti
kriminalitas dan lain sebagainya.
Fungsi dan peruntukan ruang-ruang pada rumoh Aceh membentuk
struktur ruang tempat tinggal, yaitu dari frekuensi dan tingkat
kepentingan berdasarkan penggunaan ruang dalam kegiatan keluarga
sehari-hari dan saat terjadi ritual. Seuramoe keue (serambi depan) merupakan ruang yang paling sering digunakan dalam aktivitas berskala rumah tangga (mikro). Ruang ini merupakan core area (area
inti/pusat) dari rumoh Aceh, karena menjadi tempat berkumpul, baik
antar anggota keluarga maupun dengan kerabat yang lebih jauh, ketika
terjadi ritual budaya, tanpa adanya pembedaan antara laki-laki dan
perempuan. Sebaliknya pada ruang lainnya yang menjadi pinggiran (periphery), yaitu seuramoe teungoh (tungai) dan dapur, hanya diperbolehkan untuk perempuan. Struktur ruang pada rumoh Aceh menunjukkan
dualisme, yaitu bagian pusat untuk laki-laki serta tempat untuk
berbagai acara ritual, sementara bagian pinggiran untuk perempuan.
Dualisme terjadi karena sistem sosial budaya yang dianut masyarakat Gampong Lubuk
Sukon, yaitu dualisme antara ajaran Islam yang cenderung patriarkal,
dengan adat peunulang Aceh yang bersifat matriarkal. Meskipun pada
dasarnya rumah merupakanmilik perempuan dan dikuasai oleh perempuan,
nilai-nilai patriarkal yang menghormati kaum laki-laki, tetap dipegang
teguh oleh masyarakat Gampong Lubuk Sukon. Struktur dualisme
ini disebut oleh Levi Strauss (1963:142) sebagai keseimbangan sosial.
Struktur ruang pada rumoh Aceh di Gampong Lubuk Sukon
sumber : http://ikhsan_history-fib.web.unair.ac.id