Ini Hanya Blog Biasa yang Menyediakan Informasi Hal-hal Menarik Tentang Aceh.
Kuah Pliek-U, Gulai Para Raja
Masakan atau gulai khas Aceh.
Okezine - Template
Mesjid Raya Baiturrahman
Saksi bisu sejarah Aceh.
Okezine - Template
Tari Saman
Satu ciri menarik dari tari Aceh
..
Prev 1 2 3 Next

Sunday 17 March 2013

Wakil Walkot Banda Aceh Minta Warga Perkuat Adat Aceh

Wakil Walikota Banda Aceh Hj. Illiza Sa’aduddin Djamal, SE menyerahkan seperangkat alat "peusunteng" tepung tawar yang diterima langsung masyarakat Gampong Pango Raya di Mesjid setempat, Selasa 5 Maret 2013.

Usai penyerahan tersebut, Illiza meminta warga Pango Raya agar meningkatkan kesadaran untuk menguatkan adat budaya dan syariat yang sedikit demi sedikit tergerus oleh globalisasi. Dikatakannya, melalui program MAA diharapkan masyarakat Kota Banda Aceh akan mengingat dan membudayakan kembali adat istiadat Aceh kepada anak dan cucu.

"Seperti yang kita lakukan pada hari ini dan tahun tahun sebelumnya, adalah bentuk upaya Pemko Banda Aceh melalui Majelis Adat Aceh (MAA) Kota Banda Aceh untuk menggunakan dan menguatkan kembali adat istiadat Aceh dengan menyerahkan seperangkat alat tepung tawar, seperangkat alat pengantar perkawinan, sange dan lain sebagainya,” kata dia.

Dijelaskannya, pula bahwa untuk memperkuat syariat itu dengan adat, begitu pula sebaliknya. "Adat dengan syariat tidak terlepaskan, kalau suatu gampong punya adat istiadat bagus tentu syariatnya juga bagus," kata Illiza.
Illiza juga menegaskan selama kepemimpinannya bersama wali kota, dia lima tahun berjuang agar adat istiadat Aceh benar-benar bisa digunakan kembali.

Illiza berharap agar alat tersebut bisa dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan peusijuk atau lainnya, sehingga lambat laun semua orang mencintai adat istiadat Aceh.

"Harapan kita masyarakat akan termotivasi dan dengan sendirinya akan melakukan adat istiadat yang sesuai aslinya ditambah pula adanya semangat berkat perhatian dari MAA kota Banda Aceh," ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Majelis Adat Aceh Kota Banda Aceh, Sanusi Husein, menjelaskan bahwa MAA hadir sebagai wujud lembaga untuk menggali dan memperkuat kembali adat istiadat Aceh yang sudah mulai ditinggalkan. Dikatakannya ketika seseorang mencintai adat istiadt sendiri maka ia akan mencintai daerahnya.
Karena tidak bisa dipungkiri jayanya Islam di Aceh tidak terlepas kuatnya adat istiadat yg belaku pada masyarakay tempo dulu. Dicontohkannya seperti gemuruh zikir, dalail, dan tarian tarian membuktikan Aceh tidak terlepas dari nilai spiritualitas agama.

"Kita ingin bangun gairah dan semangat untuk mencintai adat dan daerah dengan cara memperkaya kembali bagaimana adat istiadat Aceh yang sebenarnya," katanya.

Untuk tahun 2013 ini, katanya, MAA Kota Banda Aceh akan melihat sejauh mana adat Aceh telah berjalan di Kota Banda Aceh dengan melakukan pendataan ke gampong-gampong untuk melihat apa-apa saja yang sudah dijalankan di gampong itu, sudah ada belum reusamnya dan jika ada apa isinya. Lalu sesuai tidak dengan adat budaya aceh yang sebenarnya.

Dikatakannya, pula kegiatan di Pango Raya ini merupakan penyerahan perdana yang dilakukan MAA pada tahun 2013 ini. "Akan ada 19 penyerahan lagi untuk 19 gampong lainnya di Kota Banda Aceh," ujar dia. (mrd)
Baca Selengkapnya

Friday 18 January 2013

Membumikan Budaya Aceh

Dalam sepekan terakhir, sebuah seruan yang diterbitkan Walikota Lhokseumawe, Suaidi Yahya, tentang larangan duduk mengangkang bagi perempuan yang membonceng sepeda motor, menghangatkan atmosfer kehidupan sosial dan budaya kita.
 
Dampak seruan ini tak sebatas di wilayah hukum Kota Lhokseumawe semata atau provinsi berjulukan "Serambi Mekkah" tersebut. Seruan ini menjadi isu bahkan diskusi hangat banyak kalangan, tak terkecuali perempuan sendiri dan kalangan aktivis hak asasi manusia.

Walikota Suaidi Yahya baru menerbitkan larangan itu secara resmi awal Januari 2013. Seruan itu ditandatangani antara lain Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK), Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan Majelis Adat Aceh (MAA).

Menurut seruan itu, perempuan dilarang duduk mengangkang saat membonceng sepeda motor. Mereka diharuskan duduk menyamping. Argumentasi seruan ini, perempuan yang mengangkang saat membonceng tidak sejalan dengan tradisi masyarakat Aceh sendiri yang penuh dengan nilai-nilai islami. Ringkasnya, duduk mengangkang saat membonceng dinilai tidak etis.

Muncul pro dan kontra atas seruan itu. Bukan hanya dari kalangan masyarakat semata, tetapi juga kalangan ahli hukum Islam. Demikian pula kalangan masyarakat transportasi yang menilai bahwa duduk menyamping tidak lebih aman dan nyaman dibandingkan mengangkang saat membonceng sepeda motor.

Turut pula bersuara adalah Kementerian Dalam Negeri yang menyatakan akan mengkaji lebih jauh dan objektif jika akhirnya seruan itu ditingkatkan statusnya menjadi peraturan daerah (Perda) atau qanun atau peraturan walikota. Selayaknya memang kita dorong dilakukan kajian mendalam atas seruan ini agar benar-benar memberikan manfaat nyata dan luas. Bukan cuma dalam upaya membumikan tradisi islami masyarakat Aceh, melainkan juga keselamatan dalam berkendara.

Karena itu, tahap sosialisasi seruan ini selama tiga bulan sejak seruan itu diterbitkan, harus sungguh-sungguh dijadikan momentum kajian komprehensif. Misalnya, apakah seruan itu pada akhirnya mendorong kepatutan masyarakat terhadap tradisi, menurunkan tingkat kecelakaan lalulintas seperti yang pernah disampaikan Walikota Suaidi Yahya kepada salah satu televisi swasta karena lebih hati-hati berkendara, dan aspek-aspek lainnya yang terkait.

Dukungan bagi penerapan dan penguatan nilai-nilai dan tradisi masyarakat Aceh yang islami tentu patut diberikan. Sebab, ini memang menjadi ciri khas daerah istimewa tersebut meski di satu sisi munculnya seruan itu bisa dimaknai sebagai otokritik bahwa nila dan tradisi itu kini mulai memudar.

Namun demikian, layak pula bila kita renungkan dan menjadi tekad bersama bahwa penerapan dan penguatan nilai-nilai dan tradisi itu adalah secara totalitas (kaffah). Berangkat dari titik ini, kiranya kita mampu mengimplementasikan nilai-nilai dan tradisi islami yang menjadi prioritas tertinggi.

Misalnya nilai-nilai dan tradisi keadilan dan pemerataan. Nilai-nilai ini bahkan adalah nilai-nilai dan tradisi utama dalam Islam. Sejarah telah memberikan bukti paling valid atas implementasi nilai-nilai tersebut.

Dalam konteks pembangunan di "Tanah Rencong", sekarang ini, nilai-nilai dan tradisi tersebut harus mampu diwujudkan. Tata kelola pemerintahan mesti mampu dijalankan secara islami yang artinya adalah tata kelola yang baik dan bersih, bertanggung jawab, transparan, dan berkeadilan.

Pemerintah Aceh, demikian juga pemerinta kabupaten/kota, sudah seharusnya memanfaatkan setiap rupiah yang dikelolanya untuk membangun daerah dan masyarakatnya. Seperti pernah disampaikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penerapan syariat Islam di Aceh hendaknya mampu menekan serendah mungkin bahkan mengeliminir tingkat kebocoran anggaran akibat tindak pidana korupsi yang hingga kini masih memprihatinkan.

Penyelenggaraan pemerintahan yang antara lain melalui program-program pembangunan, harus pula mampu mengangkat masyarakat miskin Aceh yang saat ini jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan angka rata-rata nasional. Malahan, saat ini kesenjangan antara kalangan kaya dan miskin di Aceh ditengarai kian membesar yang ditandai dengan naiknya Indeks Gini.

Membumikan nilai-nilai dan tradisi islami seperti inilah yang harus pula kita bangun bersama. Harapan dari masyarakat sudah membubung tinggi. Pemerintah juga berulangkali menyampaikan janji atau komitmennya. Betapa indahnya jika nilai dan tradisi elementer ini hidup dan berkembang di "Serambi Mekkah". Itu benar-benar istimewa dan teladan di Nusantara ini!
 
sumber : http://www.analisadaily.com
Baca Selengkapnya

Adat dan Budaya Aceh Harus Jadi Ikon Pembangunan

Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), H.Badruzzaman SH mengungkapkan, pemerintah dan semua pihak harus bisa menggali dan membina agar nilai-nilai adat budaya Aceh dapat menjadi ikon atau urat nadi sumber nilai perencana pembangunan.
Di sejumlah negara maju di dunia, telah mempraktikan hal tersebut dengan menjadikan nilai-nilai adat dan budaya sebagai landasan konsep pembangunan bangsa dan negaranya dengan berorientasi pada nilai-nilai kultur bangsanya.

"Ini perlu diterapkan di Aceh, karena Aceh kaya akan nilai-nilai budaya dan adat sejak zaman dahulu," ungkap Ketua MAA saat pengukuhan MAA Kota Banda Aceh, Senin (14/1) di Aula Pemko setempat.

Dikatakan, meskipun berbagai landasan pendukung baik lanadasan yuridis maupun cultural ke-acehan yang saheh dan sah, telah dimiliki, namun apabila pembuat kebijakan maupun dukungan para tokoh masyarakat tidak member akses secara idealis, maka pembinaan nilai-nilai adat budaya sebagai bagian pembangunan SDM tidak akan berhasil.

Konsekuensinya adalah penegakan harkat dan martabat untuk membangun keunggulan-keunggulan daerah tidak akan terwujud. Ini tentunyam menajdi salah satu persoalan utama dalam pembangunan budaya adat masyarakat Aceh, khususnya masyarakat gampong dan mukim,

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun nilai-nilai adat dan budaya, diantaranya bagaimana menumbuh kembangkan agar semua nila-nilai adat Aceh, dalam hubungan tatakrama sopan santun atau akhlakul karimah, nilai seni tari adat, seniman, kuliner, nilai-nilai motif pakaian, termasuk tanaman buah-buahan lingkungan rumah dan berbagai produk lainnya, sebagai muatan harkat martabat kebanggan/keunggulan Aceh. "Dengan kata lain, bagaimana kita membangun etos kerja yang rajin, disiplin dan bertanggung jawab serta memperkuat standar rasa malu dalam kehidupan," ujar Badruzzaman.

Sikap Watak

Di samping itu, perlu juga membangun dan mengembalikan sikap watak budaya Aceh yang damai dalam potensi kebersamaan, sehingga dapat membatasi ruang kompliks hanya dalam batasan-batasan yang dapat memberi manfaat bagi kesejahteraan. Karakter ini sangatlah perlu, mengingat dengan nilai-nilai adat hukum adat, dapat menyelesaikan berbagai sengketa atau komplik terutama yang ringan-ringan di lingkungan bawah atau kaum dhuafa, sehingga kehidupan rukundan aman damai dapat terwujud dan lestari.

Menurut Badruzzaman, bila Aceh ingin menjadi daerah produk yang penuh dengan kekhususan, keistimewaa, lebih-lebih dalam mendukung Aceh Visit Year 2013 dan profil kota Banda Aceh yang kaya dengan nilai-nilai spiritual islami, maka nlai-nilai adat dan budaya jangan ditinggalkan melainkan harus terus digali.

Namun harus disadari, dalam kondisi tantangan peradaban global yang terus menggilas nilai-nilai budaya bangsa, harapan masyarakat Aceh sangat besar terhadap peran dan kiprah pemerintah Aceh, khususnya MAA dalam mengkaji dan membangun nilai-nilai adat budaya Aceh, dalam kemasan atau format-format modern yang sangat diperlukan untuk masa-masa mendatang.

"Kami menyadari MAA sebagai lembaga istimewa pendampingdan pendukung bahkan bagian dari lembaga pemerintah daerah, tidak ada artinya kalau pemerintah daerah bersama DPR Kota hanya melihatnya sekilas mata," ungkap Badruzzaman.

Padahal nilai-nilai yang dikembangkan oleh MAA sangat penting sebagai bagian pembinaan SDM bangsa. karena butuh pengertian penuh semua pihak, sebagaimana harapan UU dan masyarakat Aceh bahkan harapan bangsa pada umumnya agar budaya dan adat Aceh ini tidak hilang ditelan zaman.

Sementara Walikota Banda Aceh, Mawardy Nurdin dalam sambutannya mengharapkan kerjasama yang baik, sesama pengurus MAA dan Pemko dalam menjaga dan melestarikan adat istiadat dan budaya Aceh dalam kehidupan bermasyarakat.

Adapun susunan Pengurus Majelis Adat Aceh Kota Banda Aceh periode2013-2017 terdiri dari Ketua Sanusi Husen, S.Sos, Wakil Ketua I Drs.Tgk.H Ramli Dahlan, Wakil Ketua II Rukayah Ibrahim Nain. Susunan kepengurusan ini dilengkapi para pelaksana teknis yang terddiri dari Kabid Hukum Adat, Kabid Pengkajian dan Pembangunan adat, Kabid Pusaka/Pembinaan Khasanah Adat dan Kabid Pemberdayaan Putro Phang.
Sumber :http://www.analisadaily.com
Baca Selengkapnya