Ini Hanya Blog Biasa yang Menyediakan Informasi Hal-hal Menarik Tentang Aceh.
Kuah Pliek-U, Gulai Para Raja
Masakan atau gulai khas Aceh.
Okezine - Template
Mesjid Raya Baiturrahman
Saksi bisu sejarah Aceh.
Okezine - Template
Tari Saman
Satu ciri menarik dari tari Aceh
..
Prev 1 2 3 Next

Wednesday 31 October 2012

Mengenang Bireuen (ACEH) Sebagai Ibukota RI

"Walau hanya seminggu, Bireuen pernah menjadi ibukota RI yang ketiga setelah Yogyakarta dan Bukittinggi jatuh ke tangan penjajah dalam agresi kedua Belanda. Namun sayangnya fakta sejarah itu tidak pernah tercatat dalam sejarah Kemerdekaan RI. Sebuah benang merah sejarah yang terputus...
 
Sekilas, tidak ada yang terlalu istimewa di Pendopo Bupati Kabupaten Bireuen tersebut. Hanya sebuah bangunan semi permanen yang berarsitektur rumah adat Aceh. Namun siapa nyana, dibalik bangunan tua itu tersimpan sejarah perjuangan kemerdekaan RI yang tidak boleh dilupakan begitu saja. Malah,di sana pernah menjadi tempat pengasingan Presiden Soekarno.

Kedatangan presiden pertama RI itu ke Bireuen memang sangat fenomenal. Waktu itu, tahun 1948, Belanda melancarkan agresi keduanya terhadap Yogyakarta. Dalam waktu sekejap ibukota RI kedua itu jatuh dan dikuasai Belanda. Presiden pertama Soekarno yang ketika itu berdomisili dan mengendalikan pemerintahan di sana pun harus kalang kabut. Tidak ada pilihan lain, presiden Soekarno terpaksa mengasingkan diri ke Aceh. Tepatnya di Bireuen,yang relatif aman. Soekarno hijrah ke Bireuen dengan menumpang pesawat udara Dakota. Pesawat udara khusus yang dipiloti Teuku Iskandar itu, mendarat dengan mulus di lapangan terbang sipil Cot Gapu pada Juni 1948.

Kedatangan rombongan presidendi sambut Gubernur Militer Aceh, Teungku Daud Beureu’eh, atau yang akrab disapa Abu Daud Beureueh, Panglima Divisi X, Kolonel Hussein Joesoef, para perwira militer Divisi X, alim ulama dan para tokoh masyarakat. Tidak ketinggalan anak-anak Sekolah Rakyat (SR) juga ikut menyambut kedatangan presiden sekaligus PanglimaTertinggi Militer itu.

Malam harinya di lapangan terbang Cot Gapu diselenggarakan Leising (rapat umum) akbar. Presiden Soekarno dengan ciri khasnya, berpidato berapi-api, membakar semangat juang rakyat di Keresidenan Bireuen yang membludak lapangan terbang Cot Gapu. Masyarakat Bireuen sangat bangga dan berbahagia sekali dapat bertemu mukadan mendengar langsung pidato presiden Soekarno tentang agresi Belanda 1947-1948 yang telah menguasaikembali Sumatera Timur(Sumatera Utara) sekarang.


1. Bireuen Sebagai Kota Juang

Selama seminggu Presiden Soekarno berada di Bireuen aktivitas Republik dipusatkan di Bireuen. Dia menginap dan mengendalikan pemerintahan RI di rumah kediaman Kolonel Hussein Joesoef, Panglima Divisi X Komandemen Sumatera, Langkat dan tanah Karo, di Kantor Divisi X (Pendopo Bupati Bireuen sekarang). Jelasnya, dalam keadaan darurat, Bireuen pernah menjadi ibukota RI ketiga, setelah jatuhnya Yogyakarta ke dalam kekuasaan Belanda. Sayangnya catatan sejarah ini tidak pernah tersurat dalam sejarah kemerdekaan RI.


2. Tugu Batee Kureng

Memang diakui atau tidak, peran dan pengorbanan rakyat Aceh atau Bireuen pada khususnya dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Republik ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Perjalanan sejarah membuktikannya. Di zaman Revolusi 1945, kemiliteran Aceh dipusatkan di Bireuen.Di bawah Divisi X Komandemen Sumatera Langkat dan Tanah Karo dibawah pimpinan Panglima Kolonel Hussein Joesoef berkedudukan di Bireuen. Pendopo Bupati Bireuen sekarang adalah sebagai kantor DivisiX dan rumah kediaman Panglima Kolonel Hussein Joesoef. Waktu itu Bireuen dijadikan sebagai pusat perjuangan dalam menghadapi setiap serangan musuh. Karena itu pula sampai sekarang, Bireuen mendapat julukan sebagai “Kota Juang”.

Kemiliteran Aceh yang sebelumnya di Kutaradja, kemudian dipusatkan di Juli Keude Dua (Sekitar tiga kilometer jaraknya sebelah selatan Bireuen-red) di bawah Komando Panglima Divisi X, Kolonel HusseinJoesoef, yang membawahi Komandemen Sumatera, Langkat danTanah Karo. Dipilihnya Bireuen sebagaipusat kemiliteran Aceh, lantaran letaknya yang sangat strategis dalam mengatur strategi militer untuk memblokade serangan Belanda di Medan Area yang telah menguasai Sumatera Timur.

Pasukan tempur Divisi X Komandemen Sumatera yang bermarkas di Juli Keudee Dua, Bireuen, itu silih berganti dikirim ke Medan Area. Termasuk diantaranya pasukan tank dibawah pimpinan Letnan Yusuf Ahmad, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Letnan Yusuf Tank. Sekarang dia sudah Purnawirawan dan bertempat tinggal di Juli Keude Dua, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen. Menurut Yusuf Tank, waktu itu pasukan Divisi X mempunyai puluhan unit mobil tank. Peralatan perang itu merupakan hasil rampasantank tentara Jepang yang bermarkas di Juli Keude Dua.

Dengan tank-tank itulah pasukan Divisi X mempertahankan Republik ini di Medan Area pada masa agresi Belanda pertama dan kedua tahun 1947-1948. Juli Keude Dua juga memiliki nilai historis kemiliteran penting dalam mempertahakan Republik. Terutama di zaman Revolusi 1945. Pendidikan Perwira Militer (Vandrecht), yakni untuk mendidik perwira-perwira yang tangguh di pusatkan di Juli Keude Dua. 
 
Kendati usianya sudah uzur, Yusuf Tank masih dapat mengingat berbagai semua peristiwa sukaduka perjuangannya masa silam. Salah satu diantaranya tentang peranan Radio Rimba Raya milik DivisiX Komandemen Sumatera yang mengudara ke seluruh dunia dalam enam bahasa, Indonesia, Inggris, Urdu, Cina, belanda dan bahasa Arab. Dikatakan, "Radio Rimba Raya mengudara ke seluruh dunia 20 Desember 1948 untuk memblokade siaran propaganda Radio Hervenzent Belanda di Batavia yang yang menyiarkan bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi. Dalam siaran bohong Radio Belanda seluruh wilayah nusantara sudah habis dikuasai Belanda. Padahal, Aceh masih tetap utuh dan tak pernah berhasil dikuasai Belanda.

Dengan mengudaranya Radio Rimba Raya ke seluruh dunia, masyarakat dunia sudah mengetahui secara jelas bahwa Indonesia sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Karena itu, saat kedatangan Presiden Soekarno ke Bireuen bulanJuni 1948, dalam pidatonya yang berapi-api di lapangan terbangCot Gapu, Soekarno mengatakan,Aceh yang tidak mampu dikuasai Belanda dijadikan sebagai Daerah Modal Republik Indonesia. Selama seminggu Presiden Soekarno berada di Bireuen, kemudian bersama Gubernur Militer Aceh Abu Daud Beureueh berangkat ke Kutaradja. Di Kutaradja Gubernur Milter Aceh mengundang seluruh saudagar Aceh di hotel Aceh. Dia menyampaikan permintaan Presiden Soekarno agar rakyat Ace hmenyumbang dua pesawat terbang untuk Republik.

3. Bukti Prasasti Radio Rimba Raya

Presiden Soekarno sempat mogok makan   siang alias Ngambek  sebelum Abu Beureu’eh memberi jawaban, menyetujui permintaannya itu agar Aceh menyumbang dua pesawat terbang. Kesepakatan para saudagarAceh dengan Abu Daud Beureu’eh, mereka bersedia menyumbang dua pesawat terbang untuk Republik. Dengan sumber dana obligasi rakyat Aceh, yakni Pesawat Seulawah I dan Seulawah II. Kedua pesawat terbang sumbangan rakyat Aceh itu adalah sebagai cikal bakal pesawat Garuda Indonesia Airways saat ini. Sedangkan Radio Rimba Raya adalah sebagai cikal bakal Radio RRI sekarang. 

 sumber : http://amryksr.blogspot.com
Baca Selengkapnya

Desa Lubuk Sukon sebagai Kampung yang Mempertahankan Seni Arsitektur Tradisional di Aceh Besar

Ilustrasi : Para Wisatawan 

Gampong Lubuk Sukon merupakan bagian dari Mukim Lubuk, dengan luas 112 Ha, dan berbatasan dengan Gampong Dham Pulo di sebelah Utara, Gampong Lubuk Gapuy di sebelah Timur, Mukim Lambarieh di sebelah Selatan, dan Gampong Dham Ceukok di sebelah Barat untuk mencapai lokasi diperlukan waktu sekitar 1 sampai 2 jam dari Banda Aceh.


 Dinamika Sosial Masyarakat 

Sistem pemerintahan Adat di Gampong Lubuk Sukon berpedoman pada naskah Kanun Syara’ Kesultanan Aceh yang ditulis oleh Teungku di Mulek pada tahun 1270 Hijriah. Pranata politik di Gampong berfungsi untuk memenuhi keperluan mengatur dan mengelola keseimbangan kekuasaan dalam kehidupan komunitas tersebut. Struktur politiknya terdiri atas beberapa status dengan peran tertentu, yaitu Keuchik bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerintahan Gampong, terhadap pelaksanaan dan keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan di Gampongnya. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang Keuchik dapat meminta bantuan pertimbangan dari Tuha peut dan Imeum Meunasah. Imeum Meunasah merupakan pimpinan dalam keagamaan dan Tuha peut adalah dewan orang tua yang berpengalaman dan paham mengenai adat dan agama. Untuk urusan yang berkaitan dengan aktivitas pertanian, Keuchik menyerahkan wewenang sepenuhnya kepada Keujruen Blang (kelompok petani).

Selain kelembagaan pemerintahan, terdapat kelembagaan sosial kemasyarakatan yang diikuti oleh penduduk Gampong, yaitu kelompok pengajian, kelompok organisasi wanita, dan kelompok organisasi pemuda. Kedekatan hubungan lembaga-lembaga di Gampong Lubuk Sukon dengan masyarakat ataupun dengan lembaga lainnya

Sistem kemasyarakatan/kekerabatan Penduduk Gampong Lubuk Sukon, seperti halnya masyarakat di wilayah Aceh Besar, menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral, memperhitungkan hubungan kekerabatan baik pada pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Hubungan keluarga dalam masyarakat Aceh terdiri dari Wali, Karong dan Kaom. Namun, dalam sistem kekerabatan yang lebih mikro, wujud keluarga besar Aceh terdiri dari keluarga inti senior dan keluarga inti dari anak-anak perempuannya, sesuai dengan adat menetap nikah matrilokal (uxorilocal). Hal ini berarti sesudah menikah, suami menetap di lingkungan kerabat perempuan. Keluarga besar ini hidup dalam rumah yang berada dalam satu pekarangan dan satu kesatuan ekonomi yang diatur oleh kepala keluarga inti senior.

Hukum adat yang berlaku sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda tersebut mempengaruhi orientasi tempat tinggal keluarga batih baru dalam masyarakat Aceh, sehingga pasangan yang baru menikah biasanya bertempat tinggal di rumah mempelai wanita. Jumlah pendatang yang tinggal di Gampong Lubuk Sukon karena ikut istri, berkaitan dengan tradisi menetap menikah di rumah pihak perempuan dalam adat Aceh.

Pengelompokan sosial berdasarkan mata pencaharian di masa lalu tidak memberikan pengaruh yang cukup signifikan kepada masyarakat Aceh dalam hal memilih pekerjaan. Saat ini, mata pencaharian penduduk Gampong Lubuk Sukon cukup beragam. Sebagian besar warga Lubuk Sukon bermata pencaharian sebagai petani (37.61%) dan sebesar 8.84% bekerja sebagai buruh tani. Hal ini dikarenakan oleh topografi wilayah yang berupa dataran rendah dan faktor tanah yang sangat potensial untuk daerah persawahan. Meskipun begitu, pekerjaan sebagai petani mulai ditinggalkan penduduk, karena stagnansi dalam bidang pertanian dan pendapatan yang kurang mencukupi. Secara spesifik, berdasarkan hasil dari kuisioner, diketahui bahwa sebagian besar responden bermata pencaharian sebagai petani (31.82%) diikuti dengan profesi sebagai PNS sebanyak 27.27% dan wiraswasta sebanyak 16.67%.

Pergeseran jenis pekerjaan dari petani ke mata pencaharian lainnya, dipengaruhi oleh lokasi hunian. Kelompok hunian Darul Ulum dan Darusshalihin yang lebih dekat dengan jalan lokal primer, yaitu pada sebelah Selatan Gampong, lebih banyak yang bermata pencaharian sebagai PNS atau swasta/wiraswasta. Kelompok hunian yang lebih dekat dengan persawahan dan kebun/ladang seperti kelompok hunian Darussalam dan Darul Makmur masih didominasi pekerjaan sebagai petani maupun buruh tani.

 Identitas Kultur/Budaya 

Tata nilai dan kepercayaan yang berkembang pada masyarakat Gampong Lubuk Sukon adalah adat Aceh Besar dan Islam. Keseluruhan masyarakatnya merupakan pemeluk agama Islam, dan secara umum dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang taat, bahkan terkesan fanatik. Masyarakat masih memegang adat Aceh yang tercantum dalam Hadih Maja hasil kesimpulan dari Musyawarah Besar Kerukunan Rakyat Aceh pada tahun 1098 H, sebagai pedoman dalam pergaulan masyarakat. Adat dan tradisi dilakukan melalui ritual-ritual yang berkaitan dengan daur hidup (kelahiran dan pernikahan), kegiatan keagamaan (Maulid Nabi, Nuzulul Quran, dan Isra’ Mi’raj), dan aktivitas pertanian yang berkaitan dengan mata pencaharian penduduk (Kanduri Blang).

Ritual-ritual yang dilakukan masyarakat Gampong Lubuk Sukon melalui tahapan-tahapan yang menggunakan ruang tertentu, sehingga mempengaruhi hirarki dan sifat dari ruang tersebut.
Pada masa dahulu sistem pelapisan masyarakat terdiri atas golongan bangsawan dan golongan rakyat biasa. Golongan bangsawan berasal dari kelompok uleebalang yaitu kelompok yang diberi kekuasaan oleh Sultan Aceh untuk mengepalai bagian-bagian tertentu yang setingkat dengan distrik. Karena daerah uleebalang bersifat otonom maka yang mengepalai daerah bersifat turun temurun dari kelompok uleebalang. Oleh karena itu kekuasaan yang diberikan oleh Sultan lebih absolut. Golongan inilah yang sekarang dikenal dengan panggilan teuku atau ampon untuk kaum prianya, dan pecut atau cut bagi kaum wanita. Pada masa Belanda, bangsawan ini lebih banyak memperoleh fasilitas dari Pemerintah terutama fasilitas pendidikan.

Upacara-upacara adat yang dilaksanakan diantaranya: (Rusdi Sufi, Adat istiadat Masyarakat Aceh, Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Propinsi NAD, 2002)

1. Upacara kenduri; upacara kenduri berkaitan dengan kepercayaan terdapat

kenduri apam yang dilaksanakan pada bulan Rajab terutama 27 Rajab yang diperingati sebagai Isro’ Mi’Raj. Pada malam hari berkumpul di meunasah, masjid, atau rumah-rumah untuk mendengarkan riwayat yang dismapaikan dalam bentuk syair prosa. Setiap rumah membuat kue apam (serabi) dari baha tepung beras dan santan berbentuk bulat.

Kenduri blang (turun kesawah), merupakan upacara masyarakat petani di pedesaan. Upacara blang diselenggarakan secara massal saat menjelang petani akan mulai mengerjakan sawah.

Kenduri Tulak Bala. Sebagian besar upacara kenduri dilatarbelakangi oleh rasa syukur kepa Allah SWT. Untuk menghindari dari musibah maka sering diadakan kenduri tulak bala. Tempat upacara dilaksanakan di babah jurong (mulut lorong). Tempat ini dipilih mengingat ada anggapan bahwa bala itu datang melalui lorong sebagaimana biasanya mereka pulang.

2. Kenduri berkaitan dengan hari-hari perayaan agama yakni berupa kenduri maulod (memperingati kelahiran Nabi Muhammad), isra’ mi’raj, nisfu sya’ban (dilaksanakan tanggal 15 bulan Sya’ban di meunasah), siploh muharram (sepuluh Muharram sebagai upacara memperingati wafatnya cucu Nabi yakni Hasan Husen), peutamat daurih (pengkhataman Al Qur’an), kenduri 27 pusasa (dalam rangka menyambut malam 27 Ramadhan), kenduri boh kayee (kenduri buah-buahan dilaksanakan pada bulan Jumadill Akhir).

3. Kenduri berkaitan dengan lingkar kehidupan seperti Upacara kematian, ada empat hal  yang harus dilaksanakan yakni memandikan jenazah, membungkus dnegan kain kaffan, menyembahyangkan dan menguburkan. Secara tradisi terdapat upacara penangisan jenazah sering disebut pemoe bae (menangis secara meratap) pada saat jenazah diletakkan hendak dibawa ke kubur. Kemudian pada hari ketiga, kelima, ketujuh, dan kesepuluh diadakan kenduri sambil ada pembacaan doa. Setelah itu terdapat hari ke tigapuluh, keempatpuluh, keseratus dan tahun kematian juga diadakan kenduri.  

4. Peusijuk meulangga (tepung tawar), yakni upacara yang dilaksanakan apabila telah terjadi perselisihan antar penduduk, peusijuk pade bijeh dilakukan oleh petani terhadap benih padi yang akan ditanam agar subur dan berbuah banyak, peusijuk tempat tinggay (sebagai upacara untuk meninggali rumah, peusijuk peudong rumoh upacara untuk membangun rumah, biasanya yang diberi peusijuk adalah tiang raja dan tameh putroe serta tukang yang mengerjakan, peusijuk keurubeuen yakni upacara saat korban, peusijuk kendaraan yakni peusijuk yang dilakukan ketika baru memiliki kendaraan.

5. Upacara berkitan dengan daur hidup
-  Upacara kelahiran dimulai dari masa hamil berupa upacara ba bu (mengantar nasi). Upacara ini dilangsungkan setelah selesai upacara tungkai  atau masa kandungan 7 smapai 8 bulan, pantangan dimana seorang yang hamil harus menjalani pantangan antara lain dilarang duduk di ujung tangga, berada di luar saat senja, melangkahi kuburan dan lain-lain, meuramien yakni orang yang hamil bisanya dibawa ketempat rekreasi yaitu pantai

-  Upacara kelahiran bayi, pada hari ketujuh dilakukan upacara cukur rambut dan peucicap yang kadang bersamaan dengan pemberian nama

-  Upacara sebelum dewasa berupa upacara mengantar mengaji, upacara khitan

Upacara perkawinan dengan tahapan perkenalan, meminang (dalam meminang diadakan janji jumlah jiname (mahar/maskawin), pertunangan, peresmian perkawinan, intat dara baro (antar penganten perempuan)

Pola Pemukiman dan Artefak Arsitektural

Gampong Lubuk Sukon dilewati Sungai Krueng Aceh dengan lebar 30-50 meter, yang membatasi Gampong Lubuk Sukon dengan jalan utama dan Gampong-Gampong disekitarnya. Sungai ini berperan penting dalam pemilihan lokasi sebagai tempat bermukim. Pada tahun 1920, para ulama dan sufi sebagai penduduk awal Gampong, tidak membangun permukimannya dekat dengan sungai karena alasan keamanan, namun memilih wilayah pedalaman yang masih berupa hutan. Penduduk hanya membuka jalan setapak menuju sungai, karena ketergantungan terhadap air sangat tinggi. Keberadaan sungai juga mempengaruhi mata pencaharian penduduk di bidang pertanian. Sawah-sawah penduduk berada dekat dengan sungai.

Pada perkembangannya, Keuchik tidak mengizinkan pembangunan rumah untuk berkembang di kawasan sekitar sungai, dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu (1) volume air cukup tinggi yang menyebabkan terjadinya banjir tahunan. Pemerintah sempat membangun tanggul di wilayah studi untuk menghindari banjir; (2) kawasan perairan tetap dipertahankan sebagai sumber kehidupan yang harus dipelihara masyarakat. Sekitar awal 1970-an hingga akhir 1980-an, cabang aliran sungai yang berada di bagian Barat Gampong perlahan mengering karena penebangan hutan.

Pada tahun 1989, Sungai Krueng Aceh mulai mengering secara total, meskipun masih terdapat sebagaian genangan air. Pada periode ini, sistem irigasi mulai dikembangkan untuk kawasan pertanian di bagian Timur Gampong, mengikuti arah perkembangan permukiman.

Lahan hutan dibuka untuk mendirikan beberapa bangunan, yang kemudian berkembang menjadi sebuah perkampungan. Penduduk juga membuka dan memanfaatkan lahan hutan untuk ladang, sawah, dan kebun. Lahan untuk ladang dan kebun berada dekat kawasan permukiman, dan lahan untuk sawah berada di dekat sungai. Pada awalnya, Gampong Lubuk Sukon mempunyai seorang peutua uteuen yang mengatur pemanfaatan kawasan hutan, agar tetap terjaga kelestariannya. Pemanfaatan lahan yang terus berkembang pada tahun 1950-an, menggantikan posisi peutua uteuen menjadi peutua seuneubok (pemimpin kawasan ladang dan kebun). Saat ini, hampir tidak terdapat hutan di Gampong Lubuk Sukon.

Permukiman Tahap dibukanya Gampong Lubuk Sukon ditandai dengan dibangunnya beberapa rumah dan sebuah meunasah. Penempatan bangunan hunian yaitu pada lahan di sekitar meunasah. Para sufi dan ulama yang merupakan penduduk awal Gampong Lubuk Sukon mengikuti tradisi leluhur di daerah asal mereka, yaitu membangun rumah panggung (rumoh Aceh dan rumoh santeut) yang mengarah ke kiblat shalat.

Pada perkembangannya, rumah-rumah mulai dibangun di Dusun Darussalam, yaitu pada lahan di sekitar meunasah. Ketika penduduk semakin bertambah, penduduk mengambil lahan di bagian Timur Gampong, yaitu Dusun Darusshalihin dan Dusun Darul Alam. Penataan bangunan hunian dilakukan berdasarkan hubungan kekerabatan.

Pada awal tahun 1980an, mulai muncul rumah modern karena pengaruh pergeseran nilai-nilai kepercayaan, tingkat pendidikan, variasi mata pencaharian, dan perkembangan infrastruktur.

Lahan pertanian yang pertama (1920-1950), yaitu lahan dekat sungai di bagian Selatan Gampong. Pada periode ini, hampir semua penduduk bermatapencaharian sebagai petani.

Perkembangan lahan pertanian selanjutnya, yaitu di bagian Timur Gampong, di luar kawasan permukiman. Lahan untuk kebun dan ladang di Gampong Lubuk Sukon terletak dekat dengan kawasan permukiman penduduk, sedangkan sawah berada agak jauh dari permukiman. Hutan di sekitar permukiman dan lokasi persawahan (blang) menjadi batas Gampong, untuk melindungi Gampong secara fisik dan menghambat pihak luar yang akan masuk ke dalam.

Pada akhir tahun 1980-an, lahan pertanian tidak lagi berkembang dengan pesat dan mulai terjadi pergeseran mata pencaharian penduduk dari petani ke jenis pekerjaan lainnya.

Pada tahun 1920-an, hanya terdapat jalan setapak sebagai akses dari sungai Krueng Aceh menuju ke hutan, yang merupakan cikal bakal permukiman Gampong Lubuk Sukon. Jalan ini menjadi jalan utama dan terus menyambung dengan Gampong Dham Pulo serta ke wilayah lainnya di Mukim Lubuk. Sarana yang ada pada periode 1920-1950 adalah meunasah dan bale.

Pada tahun 1972, pemerintah membangun jembatan yang lebih layak untuk membuka akses dari jalan arteri primer (Jalan raya Banda Aceh-Medan) menuju Mukim Lubuk. Jembatan ini terus diperbaiki hingga menjadi jembatan beton yang kokoh di tahun 1989. Pada periode ini, jalan-jalan baru mulai terbentuk sesuai dengan aksesibilitas yang dibutuhkan masyarakat. Jalan menjadi batas antar halaman-halaman rumah penduduk. Infrastruktur jalan yang lebih baik berpengaruh pada perkembangan Gampong, yaitu mulai muncul fasilitas umum seperti klinik kesehatan, sekolah-sekolah, lapangan olahraga, makam, dan sarana perdagangan.

Penduduk memanfaatkan lahan kosong yang ada di Gampong Lubuk Sukon sebagai tempat hunian (permukiman). Namun, ada ketentuan dalam konsep tata ruang tradisional yang memberlakukan hariem krueng, yaitu tanah bebas, dan tidak boleh dimiliki siapapun. Hal ini berarti penduduk juga tidak boleh membangun rumah pada kawasan ini.

Transek Gampong yang meliputi kondisi topografi, guna lahan, dan status kepemilikan tanah dijelaskan sebagai berikut:

- Keadaan wilayah bagian Selatan berupa sungai, perkebunan, dan sawah. Sungai di Gampong Lubuk Sukon berada di bagian seunebok. Di sepanjang sisi sungai terdapat persawahan atau ladang, dan bale untuk tempat para petani berteduh. Sungai tidak dijadikan sebagai tempat bermukim karena masyarakat Aceh menganggap sungai sebagai kawasan yang harus dijaga kelestariannya, dan menempatkan berbagai tanaman penyangga di sepanjang sisi sungai (jalur boinah). Seunebok di Gampong Lubuk Sukon merupakan wilayah rimba yang beralih fungsi. Perkebunan mendominasi lahan di wilayah ini, dengan jenis vegetasi meliputi kelapa, pisang, dan jagung.

- Bagian Barat Gampong merupakan kawasan hutan yang masih dipertahankan oleh penduduk. Hutan ini merupakan bagian dari kawasan konservasi yang disebut boinah oleh masyarakat Gampong Lubuk Sukon, sehingga diperbolehkan untuk dikelola secara ekonomi namun tidak untuk pengembangan permukiman. Setelah areal hutan, terdapat pula seunebok.

- Di bagian tengah, terdapat permukiman penduduk. Rata-rata tiap penduduk memiliki pekarangan dan menanaminya dengan jenis tumbuh-tumbuhan produktif yang menghasilkan buah-buahan dan sayur-sayuran untuk kebutuhan dapur. Beberapa fasilitas umum milik Gampong, seperti meunasah, sekolah TK dan kantor keuchik juga terdapat di wilayah ini. Di Gampong Lubuk Sukon, tumpok menunjukkan bagian tengah Gampong yang di dalamnya terdapat tempat hunian atau rumoh. Arah dan orientasi bangunan rumah adalah menghadap kiblat atau arah timur-barat. Tumpok juga memperlihatkan bahwa pola permukiman di Gampong Lubuk Sukon adalah memusat, terlihat dari letak permukiman yang dibatasi oleh kawasan blang dan seunebok.

- Di bagian Utara Gampong Lubuk Sukon, merupakan wilayah perbatasan dengan Gampong Dham Pulo. Disini lebih banyak terdapat fasilitas umum dengan skala kecamatan, yaitu berupa lapangan dan bangunan untuk fasilitas olahraga, SMU 1 Ingin Jaya, Balai Pelatihan Pendidikan milik pemerintah daerah, mesjid Mukim Lubuk, makam. Topografi di wilayah ini adalah datar dan jalan yang ada sudah berupa aspal. Makam umum juga terdapat di ujong bagian Utara Gampong, yaitu di perbatasan antara kawasan perumahan dengan lahan pertanian (blang atau seunebok), berada tepat di depan mesjid Mukim Lubuk.

- Di bagian Timur Gampong, terdapat areal persawahan yang disebut blang. Blang sekaligus menjadi batas antara Gampong Lubuk Sukon dengan Gampong Lubuk Gapuy.

Pembagian ruang di Gampong Lubuk Sukon sesuai dengan tata peletakan elemen ruang permukiman tradisionalyaitu sebagai berikut:

a) Kawasan permukiman, terdiri dari rumah-rumah dan meunasah, berada di wilayah tumpok yang memusat di tengah-tengah Gampong Lubuk Sukon. Perkembangan kawasan permukiman, berupa rumah-rumah baru dan tambahan fasilitas umum, berada di wilayah ujong, yaitu kawasan yang terletak di antara tumpok dan ujong. Keberadaan kawasan ujong tidak terlepas dari bentuk asal dari Gampong Lubuk Sukon yang merupakan sebuah pemukiman yang tertutup. Gampong dikelilingi pagar tanaman dan semak belukar, untuk melindungsi kawasan tumpok. Pada area tumpok dan ujong, tiap individu mengenal secara personal elemen-elemen lingkungan dan komunitas yang ada di dalamnya. Dalam Al-Hadist yang juga tercantum dalam Hadih Maja Kesultanan Aceh Darussalam, wilayah tumpok dan ujong merupakan satuan lingkup lingkungan yang disebut haraat.

b) Lahan usaha, dalam hal ini peruntukan lahan pertanian, berada di luar wilayah permukiman, yaitu blang.
Pola tata ruang tempat tinggal

- Rumah dan pekarangan Kepadatan bangunan yang ada di Gampong Lubuk Sukon didominasi oleh rumoh Aceh, yaitu sebanyak 69 unit. Selain itu, terdapat 58 unit rumah santeut dan 64 unit rumah modern. Rumah dengan tipologi bahan konstruksi rumah kayu paling banyak terdapat pada kelompok hunian Darul Ulum dan dibangun pada tahun 1950-1980 (15.15%), sedangkan rumah dengan tipologi konstruksi rumah beton (rumah modern) merata terdapat pada kelompok hunian Darul Ulum, Darussalam, dan Darusshalihin. Rumah modern sebagian besar dibangun pada tahun 1981-1990 (13.64%) Lumbung merupakan elemen yang hilang pada pekarangan rumah di Gampong Lubuk Sukon. Hal ini disebabkan karena sebagian besar rumah tidak lagi menggantungkan hidupnya dalam bidang pertanian. Adapun elemen yang masih tetap dipertahankan oleh penduduk Gampong Lubuk Sukon adalah tanaman pada halaman rumah, yaitu sebanyak 100%.

- Struktur tata ruang tempat tinggal
Fungsi ruang tempat tinggal masyarakat Aceh menunjukkan bahwa secara tradisional rumoh Aceh diperuntukkan untuk perempuan atau disebut juga sebagai rumoh inong, yaitu sebagai berikut:
  • Seuramoe keue sebagai tempat menerima tamu laki-laki, tempat mengaji dan belajar anak laki-laki, sekaligus tempat tidur anak laki-laki, serta kepentingan umum lainnya.
  • Seuramoe teungoh (serambi tengah) atau tungai bersifat tertutup sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai kamar tidur. Kamar sebelah barat ditempati oleh kepala keluarga (ibu dan ayah), dan kamar sebelah timur (rumoh andjoeng) ditempati oleh anak perempuan. Jika sebuah keluarga mempunyai lebih dari satu anak perempuan, maka kepala keluarga membuat rumah terpisah atau terpaksa pindah ke belakang bagian barat. Serambi tengah disebut juga dengan rumoh inong (rumah perempuan) karena laki-laki yang bukan muhrim tidak diizinkan untuk memasuki zona tungai ini.
  • Serambi belakang (seuramoe likot) merupakan ruang tambahan yang sering disebut dengan ulee keude, dan berfungsi sebagai dapur. Pembagian ruang yang memperlihatkan adanya pembedaan antara zona laki-laki dan zona perempuan, dipengaruhi oleh aturan perkawinan dan adat peunulang yang berlaku. Rumah merupakan milik perempuan dan laki-laki dianggap sebagai tamu yang harus dihormati, sehingga tidak diperbolehkan untuk memasuki serambi tengah dan dapur. Peraturan adat ini berkaitan dengan ajaran agama Islam yang memisahkan ruang privat antar gender, sehingga rumoh Aceh di disain untuk melindungi perempuan agar tidak terlihat auratnya oleh laki-laki yang bukan muhrimnya, serta dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kriminalitas dan lain sebagainya.

Fungsi dan peruntukan ruang-ruang pada rumoh Aceh membentuk struktur ruang tempat tinggal, yaitu dari frekuensi dan tingkat kepentingan berdasarkan penggunaan ruang dalam kegiatan keluarga sehari-hari dan saat terjadi ritual. Seuramoe keue (serambi depan) merupakan ruang yang paling sering digunakan dalam aktivitas berskala rumah tangga (mikro). Ruang ini merupakan core area (area inti/pusat) dari rumoh Aceh, karena menjadi tempat berkumpul, baik antar anggota keluarga maupun dengan kerabat yang lebih jauh, ketika terjadi ritual budaya, tanpa adanya pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Sebaliknya pada ruang lainnya yang menjadi pinggiran (periphery), yaitu seuramoe teungoh (tungai) dan dapur, hanya diperbolehkan untuk perempuan. Struktur ruang pada rumoh Aceh menunjukkan dualisme, yaitu bagian pusat untuk laki-laki serta tempat untuk berbagai acara ritual, sementara bagian pinggiran untuk perempuan. Dualisme terjadi karena sistem sosial budaya yang dianut masyarakat Gampong Lubuk Sukon, yaitu dualisme antara ajaran Islam yang cenderung patriarkal, dengan adat peunulang Aceh yang bersifat matriarkal. Meskipun pada dasarnya rumah merupakanmilik perempuan dan dikuasai oleh perempuan, nilai-nilai patriarkal yang menghormati kaum laki-laki, tetap dipegang teguh oleh masyarakat Gampong Lubuk Sukon. Struktur dualisme ini disebut oleh Levi Strauss (1963:142) sebagai keseimbangan sosial. Struktur ruang pada rumoh Aceh di Gampong Lubuk Sukon

sumber : http://ikhsan_history-fib.web.unair.ac.id
Baca Selengkapnya

Begini Caranya Sampai ke Desa Wisata Lubuk Sukon

Memiliki luas wilayah 112 hektar yang terbagi menjadi empat dusun yaitu Dusun Darussalihin, Makmur, Darul Ulum dan Dusun Darussalam, Desa Lubuk Sukon yang berada di Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar kini resmi menjadi Desa Wisata setelah ditetapkan pada 15 Oktober 2012 lalu oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh.

Ditetapkannya desa tersebut sebagai Desa Wisata bukan tanpa pertimbangan. Secara kasat mata desa tersebut mencerminkan miniatur adat dan budaya Aceh.Hingga kini rumah-rumah penduduk di desa itu 60 % masih berupa rumoh Aceh, yaitu rumah berbentuk panggung hingga ketinggian dua meter yang menjadi rumah tradisional orang Aceh. Rumah tersebut umumnya dibangun pada periode 1950-1980-an. Sedangkan rumah permanen lainnya umumnya dibangunan setelah tahun 1980.

Selain itu pagar-pagar pembatas antara satu rumah dengan rumah yang lain juga masih sangat alami. Mereka masih memanfaatkan tanaman bonsai jenis untuk dijadikan pagar.Suasana desanya asri dan hijau karena masih banyak pohon-pohon besar, membuat desa ini terasa sejuk dan udaranya bersih. Ruas jalannya juga bersih, tak ada sampah atau pun kotoran hewan ternak.

Bagaimana caranya bisa sampai ke Desa Wisata tersebut? Meski berada di kawasan Aceh Besar, akses untuk sampai ke desa tersebut sangat mudah. Dari Banda Aceh jaraknya hanya terpaut sekitar 13 kilometer, atau sekitar 15-20 menit waktu tempuh dengan kendaraan roda dua.

Dari Bundaran Lambaro hanya perlu menempuh jarak sekitar tiga kilometer lagi. Setelah sampai di Desa Lambarih, di Jalan Banda Aceh-Medan kita hanya perlu berbelok ke kiri untuk bisa sampai ke desa ini. Setelah melewati jembatan penghubung yang membelah krueng Aceh sampailah kita di Desa Wisata tersebut.

Saat masih berada di jembatan, pesona Lubok Sukon mulai terlihat. Bila kita datang ke sana di pagi hari suasana sejuk dan hawa segar masih sangat terasa. Ditambah dengan keramahan warga setempat, menggambarkan karakter masyarakat Aceh yang hangat dan suka memuliakan tamu.
sumber : www.atjehpost.com
Baca Selengkapnya

Jadi Desa Wisata, Warga Lubuk Sukon Siap Terima Tamu Asing

Ingin melihat turis manca negara menanam padi di sawah atau melakukan kebiasaan-kebiasan orang Aceh? Tak lama lagi hal itu bisa kita lihat di Gampong Lubuk Sukon, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar.

Sejak ditetapkan sebagai Desa Wisata oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh pada 15 Oktober 2012 lalu, desa ini memang dipersiapkan untuk menerima kunjungan wisatawan baik lokal maupun manca negara.

Nantinya, wisatawan yang datang ke desa tersebut bisa berbaur dengan masyarakat setempat. Mereka bisa melakukan aktivitas bersama warga setempat seperti ke sawah, bercocok tanam, beternak atau belajar mengolah masakan khas Aceh.

“Para wisatawan yang datang untuk menikmati berbagai panorama pedesaan, mereka bisa menikmati kehidupan layaknya orang desa, nanti mereka akan menginap di rumah masyarakat,” ujar Fauzi Yunis, Geuchik Gampong Lubuk Sukon kepada The Atjeh Post.

Fauzi pun menyatakan kesiapan warganya dalam menyukseskan program pemerintah tersebut. Namun katanya, para wisatawan yang berkunjung ke desa tersebut harus menghormati ketentuan-ketentuan yang berlaku di desa itu.

“Kami tidak takut dengan masuknya kebiasaan lain ke desa kami. Para wisatawan yang datang harus mengikuti beberapa persayratan. Misalnya untuk yang non muslim tidak boleh memakai pakaian yang mini,” katanya.

Seorang warga yang ditemui The Atjeh Post juga menyatakan kesiapannya. Di lain pihak mereka mengaku bangga karena desanya terpilih dalam program untuk mendukung visit Aceh year 2013.

“Kami senang dan bangga, bagus sekali jika desa kami dapat dikunjungi dan bisa dinikmati oleh wisatawan. Kami juga berharap dengan adanya program ini desa kami bisa lebih tertata dan lebih asri dari sebelumnya,”
sumber : www.atjehpost.com
Baca Selengkapnya

Forum Organisasi dan LSM Yang Berada di Aceh

1. Green Peace Indonesia 

2. PUSA ( persatuan Ulama Seluruh Aceh)


3. YAKKUM Emergency Unit

4. UKM-BSPD : Bakti Sosial Pembanguan Desa

Jl. Syech Abdul Rauf No. 5, Darussalam - Banda Aceh 23111
Telp. (0651) 51977, Psw. 235
Contact Person : Zulfan (Ketua Umum)

5. FORSIKAL : Forum Studi Kependudukan & Lingkungan Hidup

Desa Meunasah Papeun, Lr. Rumoh Aceh - Kec. Ingin Jaya, Aceh Besar
Kantor Cab.
Jl. Chik Muhammad Thayeb Peurelak No. 60 Bandar Baru, Banda Aceh 23126
Telp. (0651) 23614, Fax. (0651) 23633
Contact Person : Muhammad Irwan (Direktur Eksekutif)

6. KKTGA : Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh

Jalan K. Amin No.28, Kelurahan Beurane, Banda Aceh 23124, NAD
Telp.: (0651) 22180
Contact person: Nursiti, SH (Sekretaris Eksekutif)

7. LBH Banda Aceh : Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh

Indonesian Legal Aid Foundation
Jalan Teungku Chik Pantee Kulu Lt. II, No. 12, Banda Aceh 23242, NAD
Telp.: (0651) 23321, Fax.: (0651) 31163, Email: lbh-banda@wasantara.net.id
Contact person: Abdul Rahman Yakob, SH (Direktur)

8. LBH-PT : Lembaga Bantuan Hukum Pakattabela
Jalan Cut Meutia No.33, Banda Aceh 23242; Telp.: (0651) 31550
Contact person: Mirdaus Ismail, SH (Ketua Badan Pengurus)

9. LKBHuWK : Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga

Jalan Meurebo, A.13/17, Darussalam, Banda Aceh, NAD, Telp.: (0651) 51814
Contact person: Dra Eutik Atikah (Ketua)

10. LPLH Aceh : Lembaga Pembelaan Lingkungan Hidup Aceh

Aceh - Environment Defence Institute
Jalan Merdeka 10, Bundaran Cunda, Lhokseumawe 24352 Telp.: (0645) 46521
Contact person: Yusuf Ismail Pase (Direktur Eksekutif)

11. LPPM-Aceh : Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Masyarakat Aceh
Jalan Study Fond No.31, Kuta Alam, Banda Aceh 23121, Telp.: (0651) 27174
Contact person: Afrizal Tjoetra (Direktur Pelaksana)

12. LPSELH: Lembaga Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Hidup

Institute for Social Economic and Environment Development (ISEED)
Jalan T Chik Di Tiro No.120, Simpang, Banda Aceh 23249
P.O. Box 169, Banda Aceh 23000, Telp.: (0651) 22767, Fax.: (0651) 31316
Contact person: Zainuddin M. Zaini (Pimpinan Lembaga)

13. LP2SM : Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia
Institute for Research and Human Resources Development
Jalan St. Iskandar Muda Lr. Merpati II No. 30 , Banda Aceh 23233
Telp./fax.: (0651) 42661 E-mail : lpduasm@telkom.net
Contact person: Mirdas Ismail (Direktur)
Kantor Cabang : Jalan Sri Remaja No.21 Bandung 40253, Telp./Fax.: (022) 5202400

14. PKBI Aceh : Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia

Indonesia Planned Parenthood Association (IPPA)
Jalan T. Nyak Arief No.180, Lingke, Banda Aceh 23114
Telp.: (0651) 52963, 52294 Fax.: (0651) 52963
Contact person: M. Yunus Ilyas, SE (Direktur Pelaksana Daerah)

15. CCDE : Pusat Pengembangan Masyarakat dan Pendidikan
Center for Community Development and Education
Jalan K. Amin No. 28, Lt.2, Kelurahan Beurawe, PO Box 141, Banda Aceh 23001
Telp.: (0651) 22180
Contact person: Tabrani Yunis (Direktur)

16. YAM : Yayasan Abdi Masyarakat

Community Service Foundation
Jalan Habib Abdurrahman No. 119, Lampaseh Kota, Banda Aceh 23231
Telp.: (0651) 24076, Contact person: Basyir Ahmad (Ketua Yayasan)

17. YAB Aceh : Yayasan Anak Bangsa
The Nation Child Foundation
Jalan Sisingamangaraja No. 99, Banda Aceh 23123, Telp.: (0651) 21512
Contact person: J. Kamal Farza, SH (Direktur Eksekutif)

18. YBA : Yayasan Biduk Alam
Community for Farmers and Environment Development
Jalan Panglima Besar No.38, Lambung Belang, Kecamatan Bendahara, Aceh Timur 24472
Contact person: Agus Syahputra (Direktur)

19. CDI : Yayasan Citra Desa Indonesia
Indonesia Rural Image Foundation
Jalan Simpang Dodiklat Kompleks Lamjame Permai I No. 17, Banda Aceh 23235
Telp.: (0651) 44894; Fax.: (0651) 44344, Email: cdi@aceh.wasantara.net.id
Contact person: Maimul Fidar (Direktur)

20. FA : Yayasan Flower Aceh

The Women Activities for Rural Progress
Jalan Gabus No 15, Lampit, Banda Aceh 23114
Telp.: (0651) 32229, Fax.: (0651) 26848, Email: flower@aceh.wasantara.net.id
Contact person: Suraiya Kamaruzzaman (Direktur Eksekutif)

21. Yayasan Haikal

Alamat/Address: Jalan Tm. Pahlawan No. 7, Kp. Ateuk, Banda Aceh 23141
Contact person: Drs. Zam Al Azis (Ketua)

22. YASMA : Yayasan Karya Bersama

Jalan Tgk. Ismail No. 6, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh 23117
Contact person: TM Yacoub (Ketua)
Kantor Perwakilan : Desa Seubadeh Km.520, Kec. Bakongan Aceh Selatan 23773.

23. PASE : Yayasan Pagar Alam Semesta

Jalan Sultan Salahuddin No.30, Bitai, Banda Aceh 23235
Contact person: Kharirul Azmi (Direktur Eksekutif)
Kantor Cabang : Jalan Nyak Johan No.5 Kota Mini, Beureunuen, Pidie 24173
Telp.: (0653) 821742

24. YADESA : Yayasan Pembinaan Masyarakat Desa
Rural Community Development Foundation
Jalan Elang Lorong Enau No.26 (PO.Box 137), Banda Aceh 23000
Telp.: (0651) 33301, Fax.: (0651) 32689
Contact Person: Ir. H. Abdul Gani Nurdin (Ketua).

25. YPSI : Yayasan Pemerhati Sosial Indonesia
Social Concern Foundation of Indonesia
Alamat/Address: Jalan Ujung Batee No.13, Banda Aceh 23243
Telp.: (0651) 41109, Fax.: (0651) 47684, Email: scfaceh@aceh.wasantara.net.id
Contact person: Ir. T. Bachtiar Usman (Direktur)
Kantor Cabang : Jl. Kecipir Raya No. 11, Perumnas I, Karawaci, Tangerang, Jawa Barat
Telp./Fax.: (021) 5916533, Email: ypsi/jp@centrin.net.id

26. YPW : Yayasan Pengembangan Wanita
Women Development Foundation
Jalan Lebe Kader 357A, Simpang Wariji, Takengon
Telp./Fax.: (0643) 21290
Contact person: Samsidar (Direktur Eksekutif)

27. YAPDA : Yayasan Putra Dewantara

Empowering Circle for Society Movement
Jl. Pasar Inpres No. 9, Teumpok Teurendam, PO Box 217, Lhokseumawe, Aceh Utara
Telp.: (0645) 45323, Contact person: Zulfikar, MS (Direktur Eksekutif)

28. YRBI : Yayasan Rumpun Bambu Indonesia

Rumpun Bambu Indonesia Foundation (Rumbai Foundation)
Jalan Tandi Ujung, Ateuk Pahlawan; PO Box 005; Banda Aceh 23001
Contact person: Sanusi M. Syarif (Direktur)
Kantor Operasional : Jalan Raya Banda Aceh, Tapaktuan KM 428,5
Simpang Tiga Sawang, Aceh Selatan, Tapaktuan

29. YASINDO : Yayasan Sinar Desa Indonesia

Indonesian Foundation for Rural Community Development (IFRCD)
Jalan T. Pawang Daud No.8, Panterik, Banda Aceh 23247
Telp.: (0651) 31039, Fax.: (0651) 31316
Contact Person: Mansur Muhammad Kiran (Direktur)
Kantor Cabang : Jalan Leube Kadir No.7 Simpang IV, Bebesen, Takengon
Telp.: (0643) 21053;Fax.: (0643) 21088

30. SAHARA : Yayasan Suara Hati Rakyat

Jalan Mesjid Al Huda No. 24A, Desa Babah Bulah, Kec. Sawang Aceh Utara
Lhokseumawe 24377, Telp.: (0644) 41344 (via Anna)
Contact person: Syamsul Bahri (Ketua Badan Pengurus)

31. TERATAI : The Teratai Foundation

Jalan Rawasakti No. 67, Blangpidie 23765, Telp.: (0650) 91430
Contact person: Abdul Gafur (Ketua)
Kantor Cabang : Jalan Diponegoro Lr. Linggar, Waru No. 11A, Banda Aceh 23242

32. Yayasan UMMAHAT : (Bina Ibu, Balita dan Remaja)

Jalan Tgk Chik Di Lamyong Sektor Selatan A4, Darussalam, Banda Aceh 23111
Telp.: (0651) 53187, Contact person: Drs. M. Hasan Basry, MA (Ketua Yayasan)

Source : http://jomblonet.blogspot.com/2006/10/situs-daftar-lsm-aceh.html
Baca Selengkapnya

Tuesday 30 October 2012

Eksotisme Simeulue yang Mengundang Rindu

Kabupaten Simeulue beribukota di Sinabang. Kabupaten Simeulue adalah Kepulauan yang berada kurang lebih 150 km dari lepas pantai barat Aceh, berdiri tegar di tengah Samudra Hindia, dan merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat sejak tahun 2000. Wisata Pantai menjadi andalan daerah ini, karena pesona alam lautnya sangat indah.

Ibukota Kabupaten Simeulue adalah Sinabang, kalau diucapkan dengan logat daerah adalah Sinafang yang artinya senapan atau senjata api, di mana dulunya Sinabang menjadi markas serdadu kompeni Belanda. Sementara Sibigo ibukota kecamatan Simeulue Barat berasal dari kata/kalimat CV dan Co karena masa-masa penjajahan dulu, Sibigo adalah lokasi perusahaan pengolahan kayu Rasak - sejenis kayu sangat keras setara dengan Jati - yang dikirim ke Belanda via laut.

Dalam satu dasa warsa terakhir hasil pulau Simeulue yang sangat terkenal adalah udang lobster (Udang Laut) yang cukup besar ukurannya dan telah diekspor ke luar daerah seperti Medan, Jakarta dan bahkan ke Luar negeri, seperti Singapura dan Malaysia. Kabupaten ini juga terkenal dengan hasil cengkehnya.

sumber : http://www.wisatanasional.com/simeulue/
Baca Selengkapnya

Objek Wisata Alam Bahorok Yang Memikat Hati

Objek Wisata Irigasi Bahorok terletak di Desa Namo Buaya Kecamatan Sultan Daulat Kota Subulussalam Provinsi Aceh. Desa Namo Buaya terletak lebih kurang 15 km dari arah barat Kota Subulussalam. Untuk menuju desa tersebut disepanjang jalan para pengunjung terlebih dahulu sudah disuguhi pemandangan dan liukan gunung dengan tikungan-tikungan yang tajam.

Irigasi Bahorok merupakan salah satu objek wisata yang terdapat di Kota Subulussalam. Objek wisata ini digolongkan objek wisata alam dengan keindahan sungai yang mempunyai arus kategori sedang. Pepohonan yang masih rimbun disepanjang aliran sungai menambah kesejukan dan keindahan alam Bahorok untuk di nikmati. Selain mempunyai aliran sungai yang jernih, di lokasi objek wisata juga dapat dijumpai satwa-satwa liar yang tidak berbahaya seperti monyet dan burung-burung yang hinggap dari satu pohon ke pohon lainnya.

Nah itulah beberapa tempat yang menarik untuk di kunjungi di Kota Subulussalam. Sayangnya tempat² tersebut belum dilengkapi sarana dan prasarana yang memadai sebagai tempat kunjungan wisata, seandainya pemerintah kota Subulussalam mau memperhatikan sektor ini, maka bukan mustahil akan menghasilkan devisa yang sangat besar bagi daerah.

sumber :  http://bagusriyanto.com/wisata-aceh/tempat-wisata-kota-subulussalam.html
Baca Selengkapnya

Jembatan Rundeng Penghubung Negeri Wisata

Yang dimaksud Jembatan Rundeng adalah jembatan yang menghubungkan Kota Subulussalam dengan Kabupaten Aceh Singkil. Di bawah jembatan tersebut adalah sungai Lae Kombih. Dengan hal yang demikian, masyarakat Subulussalam menamai Jembatan tersebut dengan Jembatan Lae Bersih (lebih populer). Selain itu, masyarakat mengatakan Sungai dengan bahasa setempat adalah Lae.

Didekat Jembatan rundeng terdapat warung yang menyediakan tempat duduk disepangjang Sungai Kombih, membuat suasana istirahat anda menjadi penuh pesona. Walaupun minuman yang disediakan kebanyakan minuman kemasan, namun suasana benar menyenangkan.

sumber : http://bagusriyanto.com/wisata-aceh/tempat-wisata-kota-subulussalam.html
Baca Selengkapnya

Air Terjun Kedabuhan Yang Elok

Wisata alam lain yang dimiliki oleh Kota Subulussalam adalah Air Terjun Kedabuhan yang berada di Kecamatan Penanggalan. Lokasi wisata ini berjarak lebih kurang 7 Km dari Pusat Kota Subulussalam. Lebih tepatnya dekat desa Lae Ikan (Perbatasan NAD-Sumut). Apabila anda akan menuju Sumatra Utara melalui Jalur Barat, maka Air Terjun Kedabuhan ini akan dapat kita lihat di sebelah Kanan bahu Jalan.

sumber : http://kotasubulussalam.wordpress.com/wisata/
Baca Selengkapnya

Wisata Alam Air Terjun SKPC

Kota Subulussalam memiliki lokasi wisata yang tidak sedikit. Selain Lokasi Wisata Penuntungan, juga terdapat Lokasi Wisata Alam Air Terjun SKPC yang dari dulunya memang sudah terkenal.

Tidak berbeda jauh dengan Wisata alam Penuntungan, Ait Terjun SKPC ini juga didatangi pengunjung pada saat hari libur tiba. Bahkan, dapat dikatakan peminat masyarakat lebih tertuju pada lokasi ini daripada Wisata Penuntungan disebabkan perbedaan mendasar yaitu Air Terjun yang indah yang tidak dimiliki wisata alam Penuntungan.

sumber : http://kotasubulussalam.wordpress.com/wisata/
Baca Selengkapnya

Wisata Alam Penuntungan

Wisata alam Penuntungan ini terletak di kecamatan Penanggalan. Secara geografis berada di barat Laut Kecamatan Penanggalan. Lebih tepatnya masuk dari Gapura yang berada di Jalan Raya Subulussalam Penanggalan. Kalau anda datang dari arah barat Subulussalam (Tapaktuan, Blang Pidie dan searah dari jalan tersebut) maka Wisata alam ini berada di sebelah kiri. Namun, bila anda datang dari arah timur (Medan, Sidikalang dan searah dari jalan tersebut) maka anda Wisata alam ini berada di sebelah kanan.

Lokasi wisata ini ramai dikunjungi pada saat libur akhir pekan (Sabtu - Minggu) dan hari² libur lainnya termasuk hari besar keagamaan (Idul Fitri dan Idul Adha). Jadi kalau anda sedang berada di Kota Subulussalam tidak ada salahnya mengunjungi Penuntungan.

sumber : http://kotasubulussalam.wordpress.com/wisata/ (Visit Now)
Baca Selengkapnya

Pawai Pakaian Adat Aceh

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam atau yang lebih dikenal dengan Serambi Mekah mempunyai kekayaan budaya yang banyak dipengaruhi oleh agama Islam. Provinsi yang pusat pemerintahannya berada di Banda Aceh ini telah melahirkan beberapa Pahlawan Nasional yang jasa dan namanya masih terus dikenang hingga saat ini, seperti : Cut Nyak Dhien, Cik Ditiro, Cut Nyak Meutia, dll.

Penting bagi kita untuk mengetahui beberapa hal yang berhubungan dengan Provisni Nanggroe Aceh Darussalam ini termasuk baju adat daerahnya. Foto di bawah ini pada saat Pawai Pakaian Adat di Aceh yang dikutip dari www.fokusaceh.blogspot.com















sumber : http://fokusaceh.blogspot.com/2012/09/foto-pawai-dengan-pakaian-adat-aceh.html
Baca Selengkapnya

Sejarah Berkembangnya Islam di Aceh

Hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa dearah Indonesia yang mula-mula di masuki Islam ialah daerah Aceh.(Taufik Abdullah, 1983: 4). Berdasarkan kesimpulan seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di Medan pada tanggal 17 – 20 Maret 1963, yaitu: 
  1. Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, dan langsung dari Arab. 
  2. Daerah yang pertama kali didatangi oleh Islam adalah pesisir Sumatera, adapun kerajaan Islam yang pertama adalah di Pasai. 
  3. Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Islam Indonesia ikut aktif mengambil peranan dan proses penyiaran Islam dilakukan secara damai.  
  4. Keterangan Islam di Indonesia, ikut mencerdaskan rakyat dan membawa peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.(Taufik Abdullah, 1983: 5)
Masuknya Islam ke Indonesia ada yang mengatakan dari India, dari Persia, atau dari Arab. (Musrifah, 2005: 10-11). Dan jalur yang digunakan adalah: 
  1. Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran  
  2. Dakwah, yang dilakukan oleh mubaligh yang berdatangan bersama para pedagang, para mubaligh itu bisa dikatakan sebagai sufi pengembara.  
  3. Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim, mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia, yang menyebabkan terbentuknya inti sosial yaitu keluarga muslim dan masyarakat muslim. 
  4. Pendidikan. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam. 
  5. Kesenian. Jalur yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni. 
Bentuk agama Islam itu sendiri mempercepat penyebaran Islam, apalagi sebelum masuk ke Indonesia telah tersebar terlebih dahulu ke daerah-daerah Persia dan India, dimana kedua daerah ini banyak memberi pengaruh kepada perkembangan kebudayaan Indonesia. Dalam perkembangan agama Islam di daerah Aceh, peranan mubaligh sangat besar, karena mubaligh tersebut tidak hanya berasal dari Arab, tetapi juga Persia, India, juga dari Negeri sendiri. 

   Ada dua faktor penting yang menyebabkan masyarakat Islam mudah berkembang di Aceh, yaitu: 
  1. Letaknya sangat strategis dalam hubungannya dengan jalur Timur Tengah dan Tiongkok.  
  2. Pengaruh Hindu – Budha dari Kerajaan Sriwijaya di Palembang tidak begitu berakar kuat dikalangan rakyat Aceh, karena jarak antara Palembang dan Aceh cukup jauh.(A.Mustofa, Abdullah, 1999: 53) 
Sedangkan Hasbullah mengutip pendapat Prof. Mahmud Yunus, memperinci faktor-faktor yang menyebabkan Islam dapat cepat tersebar di seluruh Indonesia (Hasbullah, 2001: 19-20), antara lain:
  1. Agama Islam tidak sempit dan berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah ditiru oleh segala golongan umat manusia, bahkan untuk masuk agama Islam saja cukup dengan mengucap dua kalimah syahadat saja.  
  2. Sedikit tugas dan kewajiban Islam 
  3. Penyiaran Islam itu dilakukan dengan cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit. 
  4. Penyiaran Islam dilakukan dengan cara bijaksana.  
  5. Penyiaran Islam dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami umum, dapat dimengerti oleh golongan bawah dan golongan atas. 
Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena beberapa sebab (Musrifah, 2005: 20-21), yaitu:
  1. Portilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam. 
  2. Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan orang muslim pendatang di pelabuhan, mereka adalah pedagang yang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonomi, mereka bisa memainkan peranan penting dalam bidang politik dan diplomatik.  
  3. Kejayaan militer. Orang muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan. 
  4. Memperkenalkan tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara yang sebagian besar belum mengenal tulisan.  
  5. Mengajarkan penghapalan Al-Qur’an. Hapalan menjadi sangat penting bagi penganut baru, khususnya untuk kepentingan ibadah, seperti sholat.  
  6. Kepandaian dalam penyembuhan. Tradisi tentang konversi kepada Islam berhubungan dengan kepercayaan bahwa tokoh-tokoh Islam pandai menyembuhkan. Sebagai contoh, Raja Patani menjadi muslim setelah disembuhkan dari penyakitnya oleh seorang Syaikh dari Pasai. 
  7. Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat dan kebahagiaan di akhirat kelak. 
Melalui faktor-faktor dan sebab-sebab tersebut, Islam cepat tersebar di seluruh Nusantara sehingga pada gilirannya nanti, menjadi agama utama dan mayoritas negeri ini. 

Pusat Keunggulan Pengkajian Islam Pada Tiga Kerajaan Islam di Aceh. 

A. Zaman  Kerajaan Samudra Pasai

Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H). (Mustofa Abdullah, 1999: 54)
   
Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana. (Zuhairini,et.al, 2000: 135)

Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut:

a.   Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i
b.   Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh
c.   Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama
d.   Biaya pendidikan bersumber dari negara.(Zuhairini, et.al., 2000: 136)

Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan”.(M.Ibrahim, et.al, 1991: 61)

Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru.

B. Kerajaan Perlak
   
Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak. Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu.(Hasbullah, 2001: 29)

Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama.

Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i.(A.Mustofa, Abdullah, 1999: 54). Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup baik.

C. Kerajaan Aceh Darussalam
   
Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M).

Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di sebuah masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim.(M. Ibrahim, et.al., 1991: 75). Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:

  1. Sebagai tempat belajar Al-Qur’an 
  2. Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam.
   Fungsi lainnya adalah sebagai berikut:
  1. Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu. 
  2. Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca Al-Qur’an di bulan puasa.
  3. Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.
  4. Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri atau bulan puasa
  5. Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung.
  6. Tempat bermusyawarah dalam segala urusan
  7. Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat sholat. (M. Ibrahim, 1991: 76)
Selanjutnya sistem pendidikan di Dayah (Pesantren) seperti di Meunasah tetapi materi yang diajarkan adalah kitab Nahu, yang diartikan kitab yang dalam Bahasa Arab, meskipun arti Nahu sendiri adalah tata bahasa (Arab). Dayah biasanya dekat masjid, meskipun ada juga di dekat Teungku yang memiliki dayah itu sendiri, terutama dayah yang tingkat pelajarannya sudah tinggi. Oleh karena itu orang yang ingin belajar nahu itu tidak dapat belajar sambilan, untuk itu mereka harus memilih dayah yang agak jauh sedikit dari kampungnya dan tinggal di dayah tersebut yang disebut Meudagang. Di dayah telah disediakan pondok-pondok kecil mamuat dua orang tiap rumah. Dalam buku karangan Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, istilah Rangkang merupakan madrasah seringkat Tsanawiyah, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung, dan akhlak. Rangkang juga diselenggarakan disetiap mukim. (Hasbullah, 2001: 32)
   
Bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan yaitu:
  1. Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan. 
  2. Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
  3. Balai Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar fikiran membahas persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.
Aceh pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjanaya yang terkenal di dalam dan luar negeri. Sehingga banyak orang luar datang ke Aceh untuk menuntut ilmu, bahkan ibukota Aceh Darussalam berkembang menjadi kota Internasional dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan.

Kerajaan Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam terkemuka di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula ulama dan pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para ulama dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan berbagai ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam kitab berisi ajaran agama. Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi penting dan Aceh menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama dan pijangga yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang pogmatic dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh Muhammad Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika. (M.Ibrahim,et.al., 1991: 88)

Tokoh pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan ajaran tasawuf yang beraliran wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai seorang pujangga ia menghasilkan karya-karya, Syair si burung pungguk, syair perahu.
   
Ulama penting lainnnya adalah Syamsuddin As-Samathrani atau lebih dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan paham wujudiyah di Aceh. Kitab yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin dan lainnya.
   
Ulama dan pujangga lain yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Ia menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu dalam kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah kitab Bustanul Salatin.
   
Pada masa kejayaan  kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daars (fakultas).
   
Dengan melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat
studi Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam.(M.Ibrahim,et.al., 1991: 89)
KESIMPULAN
Pendidikan merupakan suatu proses belajar engajar yang membiasakan kepada warga masyarakat sedini mungkin untuk menggali, memahami dan mengamalkan semua nilai yang disepakati sebagai nilai yang terpujikan dan dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan ciri pribadi, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan Islam sendiri adalah proses bimbingan terhadap peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (insan kamil)

Keberhasilan dan kemajuan pendidikan di masa kerajaan Islam di Aceh, tidak terlepas dari pengaruh Sultan yang berkuasa dan peran para ulama serta pujangga, baik dari luar maupun setempat, seperti peran Tokoh pendidikan Hazah Fansuri, Syamsudin As-Sumatrani, dan Syaeh Nuruddin A-Raniri, yang menghasilkan karya-karya besar sehingga menjadikan Aceh sebagai pusat pengkajian Islam.  

sumber : http://acehislamiccentre.blogspot.com/2010/08/sejarah-islam-di-aceh.html
Baca Selengkapnya