Ada
dua hal tentang ulama Aceh ini. Pertama, di Aceh dan boleh jadi di
Pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan, ada kitab yang selalu dibaca oleh
kaum santri atau siapapun yang tertarik dengan ilmu perobatan, yakni
Kitab Tajul Muluk. Kitab ini menggunakan bahasa Jawi (jawoe), maka
asalpaham siapun bisa membacanya.Kedua, di Aceh anak muda yang sudah
belajar di pesantren modern atau Madrasah ‘Aliyah, diantara impian
mereka adalah bisa belajar di Kairo, Mesir. Negeri yang sudah mencetak
ribuan ulama,bahkan tidak sedikit jiwa pembaruan di Nusantara, disemai
dari mereka yang pernah menimba ilmu di Mesir. Sehingga anak muda Aceh
yang merantau ke Mesir itu tidak sedikit. Saat ini sudah ada yang
berbakti di Darussalam, seperti Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim yang juga
pengasuh khusus
“KAI” di Harian Serambi Indonesia yang rutin setiap hari Jumat. Juga ada Prof. Dr.Tgk. Azman Ismail (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh). Di dalam era kontemporer, dunia Islâm di Aceh memang tidak dapat dilepaskan dari tradisi keilmuan Islâm yang didapatkan oleh sarjana-sarjana Aceh yang pernah menuntut ilmu di Kairo ini.Berangkat dari dua hal tersebut, saya lalu mencoba mecari apakah ada ulama Aceh yang cukup disegani di Mesir? Dalam beberapa ‘catatan tercecer’ telah dikupas beberapa nama ulama Aceh di Mekkah serta jasa mereka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Mekkah berikut Serambinya (Aceh). Tanpa sengaja saya kemudian tersentak bahwa pengarang kitab Tajul Muluk adalah ulama Aceh yang pernah menetap di Mesir. Lagi-lagi, nama beliau tidak pernah terdengar di Aceh, walaupun hanya untuk nama jalan, seperti yang terlihat sekarang, dimana ada nama-nama ulama besar hanya dijadikan sebagai nama-nama jalan di kota besar Aceh. Syeikh tersebut adalah Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib al-Asyi
Syeikh
Ismail bin Abdul Muthalib Asyi tidak banyak dikenal oleh generasi Aceh
kini. Padahal karya Tajul Muluk sering dibaca sampai sekarang. Sebelum
berangkat ke Mekkah beliau berguru pada Syeikh Ali Asyi di Aceh dan
sewaktu beliau berada di Mekkah diantara guru gurunya adalah Syeikh Daud
bin Abdullah Al Fathani dan Syeikh Ahmad al-Fathani. Kedua ulama ini
memang sangat disegani, tidak hanya di tanah Arab, tetapi juga di rantau
Melayu, seperti di Aceh, Pattani, dan Kelantan. Syeikh Ismail bin Abdul
Muthalib Asyi agaknya tidak lepas dari jaringan keilmuan Nusantara ini.
Kendati, sampai sekarang hampir tidak ada peneliti yang berani
melakukan pengkajian terhadap biografinya secara lengkap.
Selain
Tajul Muluk, ada karyanya yang masih ada sampai saat ini adalah Jam’u
Jawami’il Mushannifat. Salah satu kitab yang wajib dibaca di
dayah-dayah, tidak hanya di Aceh, melainkan juga di Pattani dan
Kelantan. Di dalam kitab tersebut, Syeikh Ismail menulis sepenggal
kalimat yang sangat puitis:
“Wahai ikhwan yang Muslimin,
orang yang yakin akan Rabbana,
Karangan ini intan ku karang,
segala manikam himpun di sana.’’
Kitab ini kumpulan kitab ulama lain yang dihimpun oleh Syeikh Ismail bin Abdulmuthalib Asyi, yaitu Hidayatul ‘Awam karya Syeikh Jalaluddin bin Kamaluddin Asyi, Faraidh al-Quran, tanpa nama pengarang. Kasyful Kiram karya Syeikh Muhammad Zain bin Jalaluddin Asyi, Talkhishul Falah karya Syeikh Muhammad Zain bin Jalaluddin Asyi, Syifaul Qulub karya ‘Arif Billah Syeikh ‘Abdullah Baid Asyi, Mawaizhul Badi’ah karya Syeikh ‘Abdur Rauf Fansuri Assingkili,. Dawaul Qulub karya Syeikh Muhammad bin Syeikh Khathib Langgien Asyi, I’lamul Muttaqin karya Syeikh Jamaluddin bin Syeikh ‘Abdullah Asyi.
orang yang yakin akan Rabbana,
Karangan ini intan ku karang,
segala manikam himpun di sana.’’
Kitab ini kumpulan kitab ulama lain yang dihimpun oleh Syeikh Ismail bin Abdulmuthalib Asyi, yaitu Hidayatul ‘Awam karya Syeikh Jalaluddin bin Kamaluddin Asyi, Faraidh al-Quran, tanpa nama pengarang. Kasyful Kiram karya Syeikh Muhammad Zain bin Jalaluddin Asyi, Talkhishul Falah karya Syeikh Muhammad Zain bin Jalaluddin Asyi, Syifaul Qulub karya ‘Arif Billah Syeikh ‘Abdullah Baid Asyi, Mawaizhul Badi’ah karya Syeikh ‘Abdur Rauf Fansuri Assingkili,. Dawaul Qulub karya Syeikh Muhammad bin Syeikh Khathib Langgien Asyi, I’lamul Muttaqin karya Syeikh Jamaluddin bin Syeikh ‘Abdullah Asyi.
Cetakan
awal kitab tersebut diusahakan oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah,
Mekah. Halaman terakhir cetakan ke lapan, 1320 H/1902 M. Jadi, tidak
dapat disangsingkan bagaimana keilmuan yang dikuasai oleh Syeikh Ismail
bin Abdulmuthalib Asyi. Sebab, dalam tradisi Syarah dah Hasyiyah,
seorang ulama yang berani menghimpun kitab-kitab ulama adalah mereka
yang sudah pernah mendapatkan ijazah ilmu, baik secara lahir maupun
batin. Hal ini disebabkan dalam tradisi keilmuan Islâm, model ijazah
adalah salah satu syarat untuk menjadi murid atau punya hubungan batin
dengan ulama sebelumnya.
Sedangkan
kitab Tajul Muluk, Syeikh Ismail al-Asyi memulakannya dengan karya
Syeikh ‘Abbas al-Asyi yang berjudul Sirajuz Zhulam, yang membicarakan
ilmu hisab dan falakiyah. Pada akhir kitab Sirajuz Zhalam karya Syeikh
‘Abbas al-Asyi, Syeikh Ismail al-Asyi mencatat, “Maka telah selesai
hamba salin kitab ini dalam negeri Mekah yang Musyarrafah pada hari
Sabtu, pada 28 hari bulan Rabiulawal 1306H.” Kitab terakhir dalam Tajul
Muluk ialah yang berjudul Hidayatul Mukhtar karya Syeikh Wan Hasan bin
Wan Ishaq al-Fathani. Cetakan awal yang telah ditemui ialah yang
diusahakan oleh Mathba’ah al- Miriyah al-Kainah, Mekah, 1311 Hijrah/1893
Masehi. Jadi, perlu diupayakan oleh para sarjana Aceh untuk membuka
kembali bagaimana tradisi tulisan ulama, seperti yang dilakukan oleh
Syeikh Ismail bin Abdulmuthalib Asyi ini.
Di
dalam hal ini, Syeikh Ismail selain mentashihkan kitab kitab ulama Aceh
pada saat itu agar mudah dibaca umum juga mengarang kitab sendiri
seperti Muqaddimatul Mubtadi-in, yang dicetak oleh Mathba’ah al-Miriyah,
Mekah, 1307 Hijrah/1889 Masehi. Tuhfatul Ikhwan fi Tajwidil Quran,
diselesaikan pada waktu Dhuha hari Jumaat dua likur Jamadilawal 1311
Hijrah/1893 Masehi. Cetakan pertama Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah,
Mekah, 1311 Hijrah/1893 Masehi. Terdapat lagi cetakan Mathba’ah
al-Miriyah, Mekah, 1324 Hijrah/1906 Masehi, Fat-hul Mannan fi Bayani
Ma’na Asma-illahil Mannan, diselesaikan tahun 1311 Hijrah/1893 Masehi.
Cetakan kedua oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Makkah, 1311
Hijrah/1893 Masehi, Fat-hul Mannan fi Hadits Afdhal Waladi ‘Adnan,
diselesaikan tahun 1311 Hijrah/1893 Masehi.
Ditugaskan ke Mesir
Wan Muhammad Sangir Abdullah, pengumpul manuskrip kasrya karya ulama Nusantara, mengatakan bahwa Syeikh Ismail Abdul Muthalib Asyi, setelah lama belajar dan mengajar di Mekkah oleh gurunya Syeikh Ahmad Fathani mengirim beliau ke Mesir untuk mengurus dan membina kader kader muda Islam Nusantara yang lagi belajar di Al Azhar Kairo bersama Syeikh Muhammad Thahir Jalaluddin, Syeikh Ahmad Thahir Khatib, Syeikh Abdurrazak bin Muhammad Rais, dan Syeikh Muhammad Nur Fathani. . Sesampainya di sana beliau mendirikan wadah pemersatu pelajar pelajar Nusantara disana dan beliau diangkat menjadi ketua pertama persatuan pelajar pelajar Melayu di Mesir oleh gurunya Syeikh Ahmad Fathani. Syeikh Ismail Asyi meninggal dunia di Mesir dan sedangkan keturunannya ramai menetap di Makkah. Sampai sekarang belum diketahui dimana pusaranya. Namun, jasa dan embrio keilmuan yang ditiupkan oleh Syeikh Ahmad Fathani kepada Syeikah Ismail Abdulmuthalib Asyi sudah berhasil. Buah dari hijrah ini sudah dapat kita rasakan sampai hari ini, tidak hanya bagi orang Aceh, tetapi juga bagi umat Islâm di Indonesia, Malaysia, dan Thailand Selatan.
Wan Muhammad Sangir Abdullah, pengumpul manuskrip kasrya karya ulama Nusantara, mengatakan bahwa Syeikh Ismail Abdul Muthalib Asyi, setelah lama belajar dan mengajar di Mekkah oleh gurunya Syeikh Ahmad Fathani mengirim beliau ke Mesir untuk mengurus dan membina kader kader muda Islam Nusantara yang lagi belajar di Al Azhar Kairo bersama Syeikh Muhammad Thahir Jalaluddin, Syeikh Ahmad Thahir Khatib, Syeikh Abdurrazak bin Muhammad Rais, dan Syeikh Muhammad Nur Fathani. . Sesampainya di sana beliau mendirikan wadah pemersatu pelajar pelajar Nusantara disana dan beliau diangkat menjadi ketua pertama persatuan pelajar pelajar Melayu di Mesir oleh gurunya Syeikh Ahmad Fathani. Syeikh Ismail Asyi meninggal dunia di Mesir dan sedangkan keturunannya ramai menetap di Makkah. Sampai sekarang belum diketahui dimana pusaranya. Namun, jasa dan embrio keilmuan yang ditiupkan oleh Syeikh Ahmad Fathani kepada Syeikah Ismail Abdulmuthalib Asyi sudah berhasil. Buah dari hijrah ini sudah dapat kita rasakan sampai hari ini, tidak hanya bagi orang Aceh, tetapi juga bagi umat Islâm di Indonesia, Malaysia, dan Thailand Selatan.
Inilah
secuil kisah dan peran Syeikh Ismail bin Abdulmuthalib Asyi. Ada banyak
hal yang perlu ditelaah lebih lanjut. Perlu dilacak lagi bagaimana
jaringan keilmuannya di Mesir. Sehingga ada ‘alasan sejarah’ mengapa
generasi Aceh selalu bermimpi untuk menuntut ilmu ke negeri itu. Ruh ini
ternyata sudah dilakukan oleh Syeikh Ismail Abdulmuthalib Asyi melalui
dorongan dari gurunya yang berasal dari Pattani. Untuk itu, kita
berharap nama ulama ini bisa mendapat tempat yang terhormat di Aceh,
tidak lantas kemudian menjadi nama-nama jalan di kota besar.
sumber : Klick Disini