Dalam sepekan terakhir,
sebuah seruan yang diterbitkan Walikota Lhokseumawe, Suaidi Yahya,
tentang larangan duduk mengangkang bagi perempuan yang membonceng sepeda
motor, menghangatkan atmosfer kehidupan sosial dan budaya kita.
Dampak
seruan ini tak sebatas di wilayah hukum Kota Lhokseumawe semata atau
provinsi berjulukan "Serambi Mekkah" tersebut. Seruan ini menjadi isu
bahkan diskusi hangat banyak kalangan, tak terkecuali perempuan sendiri
dan kalangan aktivis hak asasi manusia.
Walikota Suaidi Yahya baru menerbitkan larangan itu secara resmi awal Januari 2013. Seruan itu ditandatangani antara lain Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK), Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan Majelis Adat Aceh (MAA).
Menurut seruan itu, perempuan dilarang duduk mengangkang saat membonceng sepeda motor. Mereka diharuskan duduk menyamping. Argumentasi seruan ini, perempuan yang mengangkang saat membonceng tidak sejalan dengan tradisi masyarakat Aceh sendiri yang penuh dengan nilai-nilai islami. Ringkasnya, duduk mengangkang saat membonceng dinilai tidak etis.
Muncul pro dan kontra atas seruan itu. Bukan hanya dari kalangan masyarakat semata, tetapi juga kalangan ahli hukum Islam. Demikian pula kalangan masyarakat transportasi yang menilai bahwa duduk menyamping tidak lebih aman dan nyaman dibandingkan mengangkang saat membonceng sepeda motor.
Turut pula bersuara adalah Kementerian Dalam Negeri yang menyatakan akan mengkaji lebih jauh dan objektif jika akhirnya seruan itu ditingkatkan statusnya menjadi peraturan daerah (Perda) atau qanun atau peraturan walikota. Selayaknya memang kita dorong dilakukan kajian mendalam atas seruan ini agar benar-benar memberikan manfaat nyata dan luas. Bukan cuma dalam upaya membumikan tradisi islami masyarakat Aceh, melainkan juga keselamatan dalam berkendara.
Karena itu, tahap sosialisasi seruan ini selama tiga bulan sejak seruan itu diterbitkan, harus sungguh-sungguh dijadikan momentum kajian komprehensif. Misalnya, apakah seruan itu pada akhirnya mendorong kepatutan masyarakat terhadap tradisi, menurunkan tingkat kecelakaan lalulintas seperti yang pernah disampaikan Walikota Suaidi Yahya kepada salah satu televisi swasta karena lebih hati-hati berkendara, dan aspek-aspek lainnya yang terkait.
Dukungan bagi penerapan dan penguatan nilai-nilai dan tradisi masyarakat Aceh yang islami tentu patut diberikan. Sebab, ini memang menjadi ciri khas daerah istimewa tersebut meski di satu sisi munculnya seruan itu bisa dimaknai sebagai otokritik bahwa nila dan tradisi itu kini mulai memudar.
Namun demikian, layak pula bila kita renungkan dan menjadi tekad bersama bahwa penerapan dan penguatan nilai-nilai dan tradisi itu adalah secara totalitas (kaffah). Berangkat dari titik ini, kiranya kita mampu mengimplementasikan nilai-nilai dan tradisi islami yang menjadi prioritas tertinggi.
Misalnya nilai-nilai dan tradisi keadilan dan pemerataan. Nilai-nilai ini bahkan adalah nilai-nilai dan tradisi utama dalam Islam. Sejarah telah memberikan bukti paling valid atas implementasi nilai-nilai tersebut.
Dalam konteks pembangunan di "Tanah Rencong", sekarang ini, nilai-nilai dan tradisi tersebut harus mampu diwujudkan. Tata kelola pemerintahan mesti mampu dijalankan secara islami yang artinya adalah tata kelola yang baik dan bersih, bertanggung jawab, transparan, dan berkeadilan.
Pemerintah Aceh, demikian juga pemerinta kabupaten/kota, sudah seharusnya memanfaatkan setiap rupiah yang dikelolanya untuk membangun daerah dan masyarakatnya. Seperti pernah disampaikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penerapan syariat Islam di Aceh hendaknya mampu menekan serendah mungkin bahkan mengeliminir tingkat kebocoran anggaran akibat tindak pidana korupsi yang hingga kini masih memprihatinkan.
Penyelenggaraan pemerintahan yang antara lain melalui program-program pembangunan, harus pula mampu mengangkat masyarakat miskin Aceh yang saat ini jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan angka rata-rata nasional. Malahan, saat ini kesenjangan antara kalangan kaya dan miskin di Aceh ditengarai kian membesar yang ditandai dengan naiknya Indeks Gini.
Membumikan nilai-nilai dan tradisi islami seperti inilah yang harus pula kita bangun bersama. Harapan dari masyarakat sudah membubung tinggi. Pemerintah juga berulangkali menyampaikan janji atau komitmennya. Betapa indahnya jika nilai dan tradisi elementer ini hidup dan berkembang di "Serambi Mekkah". Itu benar-benar istimewa dan teladan di Nusantara ini!
Walikota Suaidi Yahya baru menerbitkan larangan itu secara resmi awal Januari 2013. Seruan itu ditandatangani antara lain Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK), Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan Majelis Adat Aceh (MAA).
Menurut seruan itu, perempuan dilarang duduk mengangkang saat membonceng sepeda motor. Mereka diharuskan duduk menyamping. Argumentasi seruan ini, perempuan yang mengangkang saat membonceng tidak sejalan dengan tradisi masyarakat Aceh sendiri yang penuh dengan nilai-nilai islami. Ringkasnya, duduk mengangkang saat membonceng dinilai tidak etis.
Muncul pro dan kontra atas seruan itu. Bukan hanya dari kalangan masyarakat semata, tetapi juga kalangan ahli hukum Islam. Demikian pula kalangan masyarakat transportasi yang menilai bahwa duduk menyamping tidak lebih aman dan nyaman dibandingkan mengangkang saat membonceng sepeda motor.
Turut pula bersuara adalah Kementerian Dalam Negeri yang menyatakan akan mengkaji lebih jauh dan objektif jika akhirnya seruan itu ditingkatkan statusnya menjadi peraturan daerah (Perda) atau qanun atau peraturan walikota. Selayaknya memang kita dorong dilakukan kajian mendalam atas seruan ini agar benar-benar memberikan manfaat nyata dan luas. Bukan cuma dalam upaya membumikan tradisi islami masyarakat Aceh, melainkan juga keselamatan dalam berkendara.
Karena itu, tahap sosialisasi seruan ini selama tiga bulan sejak seruan itu diterbitkan, harus sungguh-sungguh dijadikan momentum kajian komprehensif. Misalnya, apakah seruan itu pada akhirnya mendorong kepatutan masyarakat terhadap tradisi, menurunkan tingkat kecelakaan lalulintas seperti yang pernah disampaikan Walikota Suaidi Yahya kepada salah satu televisi swasta karena lebih hati-hati berkendara, dan aspek-aspek lainnya yang terkait.
Dukungan bagi penerapan dan penguatan nilai-nilai dan tradisi masyarakat Aceh yang islami tentu patut diberikan. Sebab, ini memang menjadi ciri khas daerah istimewa tersebut meski di satu sisi munculnya seruan itu bisa dimaknai sebagai otokritik bahwa nila dan tradisi itu kini mulai memudar.
Namun demikian, layak pula bila kita renungkan dan menjadi tekad bersama bahwa penerapan dan penguatan nilai-nilai dan tradisi itu adalah secara totalitas (kaffah). Berangkat dari titik ini, kiranya kita mampu mengimplementasikan nilai-nilai dan tradisi islami yang menjadi prioritas tertinggi.
Misalnya nilai-nilai dan tradisi keadilan dan pemerataan. Nilai-nilai ini bahkan adalah nilai-nilai dan tradisi utama dalam Islam. Sejarah telah memberikan bukti paling valid atas implementasi nilai-nilai tersebut.
Dalam konteks pembangunan di "Tanah Rencong", sekarang ini, nilai-nilai dan tradisi tersebut harus mampu diwujudkan. Tata kelola pemerintahan mesti mampu dijalankan secara islami yang artinya adalah tata kelola yang baik dan bersih, bertanggung jawab, transparan, dan berkeadilan.
Pemerintah Aceh, demikian juga pemerinta kabupaten/kota, sudah seharusnya memanfaatkan setiap rupiah yang dikelolanya untuk membangun daerah dan masyarakatnya. Seperti pernah disampaikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penerapan syariat Islam di Aceh hendaknya mampu menekan serendah mungkin bahkan mengeliminir tingkat kebocoran anggaran akibat tindak pidana korupsi yang hingga kini masih memprihatinkan.
Penyelenggaraan pemerintahan yang antara lain melalui program-program pembangunan, harus pula mampu mengangkat masyarakat miskin Aceh yang saat ini jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan angka rata-rata nasional. Malahan, saat ini kesenjangan antara kalangan kaya dan miskin di Aceh ditengarai kian membesar yang ditandai dengan naiknya Indeks Gini.
Membumikan nilai-nilai dan tradisi islami seperti inilah yang harus pula kita bangun bersama. Harapan dari masyarakat sudah membubung tinggi. Pemerintah juga berulangkali menyampaikan janji atau komitmennya. Betapa indahnya jika nilai dan tradisi elementer ini hidup dan berkembang di "Serambi Mekkah". Itu benar-benar istimewa dan teladan di Nusantara ini!
sumber : http://www.analisadaily.com