Sebuah
sumber mengatakan bahwa masjid ini didirikan pada tahun 1915 oleh Teungku
Fakinah dan dibantu oleh santriwan dan santriwati yang mengaji di dayahnya.
Luas masjid Teungku Fakinah adalah 15 x 15 meter. Bangunan ini terletak di Desa
Blang Miro Kecamatan Simpang Tiga Kabupaten Aceh Besar. Masjid ini telah
dimasukkan sebagai salah satu cagar budaya oleh Pemerintah Daerah setempat.
Baca
Sejarahnya di (aceh.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=bukumasjid)
Baca Selengkapnya
Bila
kita melakukan perjalanan dari Banda Aceh kearah Meulaboh, setelah
melewati puncak tertinggi di daerah tersebut yaitu puncak gunung Geurute
maka kita akan memasuki sebuah kota yang terkenal dengan kota Lamno
atau Peukan Lamno. Di daerah Lamno inilah dulu pernah berdiri kerajaan
Daya yang pernah mengalahkan pasukan Portugis dan mengislamkan mereka
serta mendirikan perkampungan etnis Portugis, sehingga daerah ini juga
dikenal dengan perkampungan Si Mata Biru. Diatas puncak bukit di daerah
Kuala Daya terdapat perkuburan raja – raja Daya yang terkenal dengan
Almarhum Daya atau dalam bahasa Aceh biasa disebut dengan Meureuhom
Daya, karena itulah daerah ini dikenal juga dengan negeri Meureuhom
Daya.
Setelah peleburan kerajaan Daya menjadi kerajaan Aceh Darussalam di
tahun 1520 M oleh Sultan Ali Mughayat Syah nama Daya terasa hilang
seiring perjalanan waktu. Kemudian semenjak didirikan pesantren BUDI di
tahun 1967 oleh Teungku Haji Ibrahim Ishak, nama daerah Meureuhom Daya
atau Lamno kembali mencuat kepermukaan, terutama bagi yang ingin
mengecap pendidikan agama.A. Silsilah
Teungku Haji Ibrahim Ishak atau lebih dikenal dengan panggilan Abu Budi
Lamno lahir di Mukhan, Lamno, Aceh Barat (sekarang Aceh Jaya) pada tahun
1936. Beliau berumah tangga dengan seorang perempuan bernama Hajjah
Sunainiyah. Dari perkawinan itu beliau dikarunia empat orang anak yaitu
Nabhani, Chairiati, Afifuddin dan Nurhidayati.
B. Pendidikan
Ketika umurnya telah sampai usia menuntut ilmu, Teungku Ibrahim
dimasukkan oleh orang tuanya untuk mengecap pendidikan dasar pada
Sekolah Rakyat (SR). Dengan ketekunan dan kedisiplinannya, beliau
menyelesaikan pendidikan di sekolah ini pada tahun 1949. Walaupun
pendidikan dasarnya pada lembaga pendidikan umum, namun orang tuanya
melihat putranya ini memiliki bakat dan minat pada pendidikan agama.
Karenanya Teungku Ibrahim Ishak selanjutnya dikirim ke Labuhan Haji
untuk belajar di Dayah Darussalam yang dipimpin oleh Abuya Muda Waly.
Lama beliau belajar di dayah ini hingga tahun 1958.
Seiring dengan kepulangan guru beliau Teungku Abdul Aziz (Abon
Samalanga) dari Labuhan Haji ke Samalanga pada tahun 1958 untuk memimpin
Dayah MUDI MESRA (Ma'hadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya), maka
Teungku Ibrahim Ishak ikut serta ke Samalanga guna untuk menambah ilmu
yang dirasakan belum cukup serta untuk membantu Abon Samalanga mengajar
di MUDI MESRA. Teungku Ibrahim Ishak mengabdi di Samalanga hingga tahun
1963. Kehausan terhadap ilmu agama tidak pernah membuat Teungku Ibrahim
Ishak merasa puas sehingga dari Samalanga beliau berangkat ke Sumatera
Barat untuk belajar di sana hingga tahun 1966.
C. Kiprah terhadap masyarakat
Pada tahun 1967 atau sekembali dari memperdalam ilmu agama di Sumatera
Barat, Teungku Ibrahim Ishak membuka lembaga pengajian di kampung
halamannya. Lembaga pengajian ini bernama Dayah Bahrul Ulum Diniyah
Islamiyah, dayah ini disingkat dan lebih dikenal oleh masyarakat dengan
dayah BUDI, maka terkenallah beliau dengan panggilan Abu Budi. Semenjak
beliau dirikan pesantren ini hingga akhir hayatnya, beliau selalu
memimpin lembaga pendidikan ini dan membina santri – santri yang
berdatangan dari seluruh wilayah Aceh serta ada beberapa santri dari
luar propinsi Aceh. Beliau seolah – olah tidak mempunyai perasaan bosan
dan jenuh untuk membina dan memberi semangat kepada para guru dan santri
untuk selalu giat belajar. Abu Budi berpandangan bahwa ilmu akan mudah
didapat apabila para pelajar agresif, maka Abu Budi menganjurkan agar
dihidupkan Munazharah (berdebat Hukum agama) di setiap pengajian. Oleh
karena itu dayah BUDI Lamno terkenal dengan ciri khasnya yaitu
diadakannya munazharah disetiap pengajian.
Kepiawan Abu Budi dalam mengupas hukum – hukum agama dengan menggunakan
dalil aqli dan naqli dalam setiap pengajian dan acara mubahasah agama
dengan gaya beliau yang khas membuat beliau sangat terkenal, sehingga
ada yang menjuluki beliau sebagai ulama Mantiq dan juga terasa hambar
acara mubahasah agama tanpa kehadiran beliau. Lokasi dayah yang tidak
begitu strategis karena berada di muara sungai Lamno yang membuat air di
situ menjadi payau dan krisis air bersih, tapi karena karisma Abu Budi
yang terkenal membuat santri dari berbagai daerah bahkan yang sudah
menjadi guru di pesantren yang lain berdatangan ke dayah BUDI karena
ingin menimba ilmu di dayah tersebut. Dayah ini dikenal oleh masyarakat
umum, ada 800 orang santri pria dan 700 orang santri perempuan belajar
di dayah ini pada tahun 1997, tercatat ada yang berasal dari Jambi,
Lampung, Padang, Sulawesi dan Malaysia.
Pada tahun 1990 Abu Budi menjabat sebagai ketua MUI (sekarang MPU)
kecamatan Jaya dan pengurus Persatuan Dayah Inshafuddin. Jabatan lain
yang dijabatnya hingga akhir hayat adalah ketua IPHI Kecamatan Jaya,
ketua DPC PERTI Aceh Barat, wakil ketua MPW PPP Aceh dan ketua DPC PPP
Aceh Barat. Semenjak usia muda, Teungku Haji Ibrahim Ishak sangat aktif
di bidang pendidikan agama dan sangat berperan dalam bidang sosial
kemasyarakatan dalam upaya membantu berbagai program pemerintah. Setiap
pemilu Teungku Haji Ibrahim Ishak aktif berkampanye untuk PPP.
D. Akhir hayat
Teungku Haji Ibrahim Ishak atau Abu Budi Lamno salah seorang ulama
karismatik Aceh meninggal dunia pada tanggal 14 Mei 1997 dalam usia 61
tahun. Pimpinan dayah BUDI Lamno itu menghembus nafas terakhir
dirumahnya desa Jangeut Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Barat (sekarang
Aceh Jaya).
Menjelang detik – detik ajalnya , Abu Budi sempat menitip sebuah amanah
kepada keluarga, santri dan dewan guru "jagalah dayah ini baik – baik",
demikian pesan Abu Budi yang diulang sebanyak tiga kali. Berita
meninggalnya Abu Budi begitu cepat menyebar. Gelombang masyarakat tak
pernah henti berdatangan hingga berlangsungnya pemakaman di desa
Jangeut, Kecamatan Jaya, Aceh Jaya.#
Ditulis oleh : Tgk
Zulfahmi MR; staf pengajar di Dayah Raudhatul Ma'arif, Cot Trueng.
Tulisan ini merupakan nukilan dari buku "Biografi Ulama Aceh Abad XX
Jilid II".
Baca Selengkapnya