Ini Hanya Blog Biasa yang Menyediakan Informasi Hal-hal Menarik Tentang Aceh.
Kuah Pliek-U, Gulai Para Raja
Masakan atau gulai khas Aceh.
Okezine - Template
Mesjid Raya Baiturrahman
Saksi bisu sejarah Aceh.
Okezine - Template
Tari Saman
Satu ciri menarik dari tari Aceh
..
Prev 1 2 3 Next

Wednesday 30 April 2014

Romansa Banda Aceh : Rindu Yang Terbalaskan

        

        Pagi ini, kota kecil ku digujur hujan yang tak seperti biasanya, hujan kali ini sangat deras dan disertai lantunan petir-petir kecil. Saya rasa tumbuhan dan hewan-hewan sangat menikmakti Rahmat Allah ini, burung kecil berkepala ungu yang biasanya hinggap di jendela, pagi ini tidak kelihatan mungkin dia juga sedang menikmati hujan disana sama sepertiku. Badanku menggigil kedinginan sehingga harus memakai jaket berlapis. Televisi di kamarku sengaja kuhidupkan agar menambah suasana syahdu pagi ini. Kududuk di samping meja yang menghadap jendela sambil meneguk perlahan kopi susu hangat bikinanku sendiri. Saya memandangi alam yang begitu indah di luar sana, hewan dan tumbuhan seakan-akan bersenandung kebahagiaan.

 


      Benar-benar pagi yang sangat indah seindah impianku yang selalu menjadi arah tujuan kehidupan. Saya rasa setiap manusia memiliki impiannya masing-masing dan tentunya ada yang sama dan ada yang tidak. Impian itulah yang membuat semua manusia menjadi kuat, sukses dan bisa pergi kemana-mana. Sama dengan orang lainnya, saya juga memiliki impian seperti bintang-bintang yang selalu bersinar di malam hari. Dinding kamar saya selalu saya hiasi dengan gambar, tulisan, dan foto-foto tujuan dan target impian saya.

        Baiklah sebelum saya menceritakan salah satu impian sederhana itu, alangkah baiknya saya terlebih dahulu memperkenalkan diri secara singkat. Nama saya adalah Niko, saya anak terakhir dari tiga bersaudara, aktifitas sebagai mahasiswa biasa, memiliki hobi melukis sehingga dengan hobi tersebut saya bisa bekerja sampingan sebagai pelukis yang mengumpulkan uang demi membantu keluarga dan biaya kuliah. Iya Cuma itu saja, simple kan hehehehe (pake lambang senyum).

         Minggu lalu dosen memberi kami tugas untuk mengumpulkan data tentang kepariwisataan suatu daerah. Tugas kepariwisaaan ini adalah salah satu tugas untuk mengumpulkan data tentang lokasi wisata yang ada di Indonesia. Setiap individu diharuskan memiliki satu data atau bahan tentang kepariwisataan tersebut yang akan dipresentasikan. Kawan-kawan saya sudah mengatur rencana dan memilih masing-masing bahannya, ada yang memilih lokasi wisata di Djogja, Bandung, Surabaya, Bali, dan lain-lain. Tapi, diantara mereka satu pun tidak ada yang memilih wisata di Aceh. Padahal di sana terdapat banyak lokasi wisata, misalnya wisata tsunami. Tsunami merupakan musibah terbesar yang pernah terjadi di Indonesia khususnya di Aceh yaitu 10 tahun yang lalu, bahkan untuk mengingat sejarahnya pun mereka lupa. Oleh karena itu saya berkeinginan kuat dalam hati untuk mengambil bahan kepariwisaaan yang ada di Aceh dan akan mengunjungi situs-situs Wisata Tsunami di Kota Banda Aceh. Ya.. itulah impian sederhana saya tentunya itu menjadi langkah besar yang saya lakukan demi mencapai target impian tersebut. dari pada sekedar mencari bahan di internet lebih baik saya langsung mengunjunginya.

         Terkadang banyak yang bertanya kenapa harus Ke Kota Banda Aceh? kenapa tidak dengan lokasi wisata lainnya?, pertanyaan itu bertubi-tubi datang kepada saya, ada yang meremehkan bahkan menertawakannya baik dari teman, sahabat, keluarga, bahkan dosen saya sendiri. Suatu hari terjadi percakapan singkat dengan sahabat saya,

Sahabat   : “Lucu ya, elo Ko (panggilan sehari-hari saya), ngapain sih harus jauh-jauh ke Aceh untuk sekedar mencari info wisata tersebut? Ngehabisin uang saja, mendingan kasih tuk gue aja !”

Saya    : “ Bagi saya, selain mendapat informasi juga bisa berwisata langsung ke sana dan menunaikan impian kecil saya untuk melihat suasana Aceh secara langsung”

Sahabat   : “hmmm.. bagus sih, cuma aneh aja !”

Saya        : “Aneh kenapa?” (dahi saya mengkerut)

Sahabat   : “Informasi di net (internet) kan banyak, lagian lokasi wisata di sana enggak banget deh ! ”

Saya       : “Orang banyak yang bilang gitu, itu dikarenakan mereka tuh belum terjun (lihat) langsung ke sana”

Tidak kalah menariknya, dosen mata kuliah yang bersangkutan pada hari itu bertanya kepada saya,

Dosen : “Ko? kalo Bapak boleh tau kenapa sih kamu memilih Wisata Tsunami di Kota Banda Aceh?

Saya  : “Karena bencana Tsunami merupakan salah satu musibah terbesar pernah terjadi di Indonesia, kita harus mengetahuinya untuk menjadi bahan instropeksi diri” (jawab saya dengan sederhana)

Dosen : “Tapi, Kenapa kamu harus mengunjungi ke sana? Kawan-kawanmu saja mengambil bahan di internet dari sumber terpercaya?”

Saya : “Bagi saya sumber terpercayanya dengan mengunjungi langsung situs-situs tsunami di sana. Ya.. saya yakin dengan mengunjungi situs-situs Tsunami di sana kita akan mendapatkan informasi lebih baik daripada sekedar mencari informasi di Internet. Terkadang sumber informasi yang ada di internet tidak begitu akurat”

         Seiring dengan tujuan saya untuk mengunjungi Kota Banda Aceh, ada yang menganggap sinis dan terkesan meremehkan. Terkadang teman, sahabat, orang tua memberikan input negatif tentang Aceh khususnya Kota Banda Aceh sebagai ibukotanya, seperti:

  1. Banda Aceh itu kota tidak aman. Mereka berpendapat bahwa konflik yang berkepanjangan antara RI-GAM membuat masyarakat cenderung menyukai kekerasan. 
  2. Syari’at Islamnya masih kental. Mereka berpendapat bahwa hukum di sana sangat ketat dan harus mengikuti hukum Syari’at Islam.
  3. Anti terhadap orang asing dan budaya ke-barat-baratan. Mereka berpendapat bahwa Masyarakat Aceh tidak suka terhadap orang-orang non-muslim dan budaya barat dapat merusak generasi muda.

         Semua itu masih dalam tanda tanya, sebelum kita membenarkan pernyataan tersebut ada kala baiknya kita harus membuktikannya, dan semua pernyataan tersebut tidak akan mengundurkan semangat saya untuk mengunjungi Kota Banda Aceh dan saya ingin membuktikan bahwa itu semua tidak benar. Saya yakin masyarakat Aceh sangat menyukai toleransi dan saling menghargai. Semua menjadi motivasi tersendiri yang tanpa harus saya bayar dari motivator dunia hehehehe. Saya akan menyanggah semua pernyataan di atas.

        Kembali lagi ke kamarku, jam di dinding kamar sudah menunjukkan pukul 08.12 WIB, hujan perlahan-lahan mulai mereda, yang tadinya deras kini tingal rintik-rintik kecil. Suasana masih mendung, kopi susu hangat tinggal sedikit lagi, perut mulai lapar. Enggak terasa padahal mama dari tadi sudah menyiapkan nasi goreng di meja makan. Saya turun ke bawah mengambil nasi goreng dan membawanya masuk ke kamar, entah kenapa pagi ini rasanya pingin di kamar saja entah karena suasananya yang sejuk dan nyaman. Biasanya hujan-hujan begini orang pinginnya bermalas-malasan atau tidur-tiduran, tapi bagi saya tidak saya tetap melakukan aktifitas. Kini laptop kecil saya berukuran 10 Inc bermerek Axioo mulai kuhidupkan, Microsoft word yang pertama saya buka agar bisa menulis, sesekali ku buka album foto untuk melihat foto-foto kenangan.

        Oia.. saya ceritakan sedikit tentang kota banda aceh. Kota Banda Aceh adalah salah satu kota sekaligus ibu kota provinsi Aceh, Indonesia. Sebagai pusat pemerintahan, Banda Aceh menjadi pusat segala kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Banda Aceh dikembangkan sebagai wisata bandar kota bernuansa Islam juga sekaligus untuk menelusuri sisa dari bencana Tsunami 2004 yang amat memilukan sekaligus sarat hikmah. Sekira enam puluh persen infrastruktur kota Banda Aceh hancur akibat Tsunami 2004 lalu namun berkat keteguhan masyarakatnya, upaya pemerintah dan dukungan dunia internasional maka kota ini dibangun kembali. Ada ratusan cerita luar biasa dan menggugah perasaan tentang bencana Tsunami ketika Anda berkeliling di sekitar kota.

        Batas terakhir pengumpulan tugas 2 (dua) minggu lagi. Dalam dua minggu tersebut saya harus siap mengumpulkan informasi tentang wisata Tsunami, dan planning-planning pun mulai berterbangan dalam otak saya, Ku coba mencari secarik kertas agar planing-planing tersebut tertulis dengan pasti dan tidak hilang begitu saja. Diantaranya lokasi wisata yang akan saya kunjungi, tempat makan, penginapan, transportasi, dan lain sebagainya.

       Saya berencana pergi ke Banda Aceh dengan uang hasil tabungan dan uang hasil kerja. Uang tabungan saya pribadi sudah saya kumpulkan selama 3 tahun dan uang hasil kerja sebagai pelukis selama ini. tepatnya jasa lukis wajah. Saya mematok harga Rp. 30 ribu per wajah yang saya lukis, dalam sebulan saya bisa menghasilkan uang sebesar Rp. 900 ribu. Tentunya itu bukanlah hal sedikit bagi saya, kelak nantinya uang tersebut saya pergunakan untuk hal yang bermanfaat.

         Hujan sedang memperlihatkan gerimisnya saja, suasana tetap masih dingin. Kulihat lagi ke luar jendela ternyata sudah banyak orang yang beraktifitas, ada yang memakai jas hujan berwarna kuning sambil bersepeda, ada yang memakai payung sambil jalan kaki dengan anak perempuannya, dan ada juga berjalan biasa tanpa memperdulikan gerimis yang menerjang badannya.

       Oia… Mengunjungi Kota Banda Aceh tentunya saya harus ada seseorang yang mendampingi atau pemandu agar saya bisa dengan mudah menuju ke titik-titik lokasi wisata tsunami yang ada di sana. Oleh karena itu saya tidak kehilangan akal, dengan bermodalkan koneksi internet kartu “XL” yang ada di modem, saya membuka aplikasi social media “Facebook” di laptop. Facebook merupakan media berselancar saya selama ini, di situ saya mendapatkan banyak kawan baik yang satu daerah, maupun luar daerah di Indonesia, ada juga di luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Arab Saudi, Pakistan dan lain-lain. Namun saya tidak mencari kawan-kawan yang berasal dari luar negeri, tetapi saya mencari kawan yang ada di Indonesia tepatnya di Aceh sesuai dengan rencana saya. Alhamdulillah pencarian saya tidak sia-sia, saya menemukan salah satu kawan Facebook yang berasal dari Aceh namanya Ridha dan ternyata kami sudah berkawan di facebook tersebut dua tahun yang lalu. Langsung saja, saya mulai mengirim pesan pribadi kepadanya sambil memperkenalkan diri, maksud dan tujuan saya mengunjungi Kota Banda Aceh. Saya menjelaskan lagi secara terperinci kapan, dimana, dan berapa hari di sana. Alhamdulillah dia menanggapinya dengan sangat positif, ternyata dia orangnya ramah, baik, dan mau menjadi kawan di sana.. Saya merasa sangat tersanjung dengan percakapan tadi, dari sini saja sudah membuktikan bahwa orang Aceh itu ramah dan baik. Saya merasakan inilah gunanya kita berkawan dengan siapa saja tanpa melihat asalnya dari mana.

       Sebelum keberangkatan ke sana, saya jauh-jauh hari sudah meminta izin kepada orang tua perihal tujuan saya menuju ke Kota Banda Aceh. Sebenarnya orang tua sudah memberikan recomendasi (izin), namun dibalik itu ada rasa pesimistis dari mereka termasuk salah satunya keamanan di sana. Saya meyakinkan mereka bahwa saya akan baik-baik saja di sana dan Kota Banda Aceh merupakan salah satu kota teraman di dunia.

Saya   : “Mama jangan khawatir, Niko akan baik-baik saja di sana. Mama juga jangan terpengaruh dengan gosip dan input yang gak baik tentang Aceh. Masyarakat di sana baik-baik kok”

Mama : “Mama cuma takut aja nantinya kamu terjadi apa-apa di sana, apalagi akhir-akhir ini berita keamanan di Aceh selalu di sorot media”

Saya   : “Gak apa-apa Mama, Niko akan baik-baik aja koq di sana. Berita itu cuma akibat ulah oknum yang tidak bertanggung jawab aja yang ingin memperkeruh, merusak kedamaian dan ketrentraman Aceh”

Mama : “Mama, doain semoga kamu baik-baik di sana”

          Kira-kira begitulah hasil percakapan singkat saya dengan orang tua. Setidaknya izin dari orang tua merupakan sebuah doa juga bagi saya pribadi kemanapun saya pergi. Saya berangkat pada hari Rabu dan pulangnya pada hari Senin, berarti saya ada 6 (enam) hari kurang lebih di Kota Banda Aceh.

       Persiapan untuk keberangkatan sudah saya persiapkan dengan matang. Tiket Bus sudah saya pesan dan berangkatnya pukul 09.00 WIB Ada hal unik terjadi pada saat keberangkatan, saya hambir ketinggalah bus, namun untung saja ada tukang ojek yang mau menolong untuk mengejar bus dan menyetopnya. Alhamdulillah saya pun menaiki bus dan berangkat (benar-benar pengalaman yang sangat berharga)

        Waktupun terus berlalu, beberapa daerah sudah terlewati, aku pun terhempak dari tidurku, saya duduk di barisan kedua dekat dengan jendela bus. Matahari memancarkan sinar terik, namun tidak dapat mengalahkan kesejukan alam pegunungan., saya melihat keluar pemandangan yang sangat indah. Supir bus mengatakan bahwa posisi kami sekarang ini berada di pegunungan Seulawah. Pemandangan sangat indah, pohon-pohon rindang bergoyang-goyang beriringan di pinggir jalan. Terlihat banyak monyet yang duduk di pinggir jalan menanti orang-orang yang lewat. Sepanjang jalan banyak terlihat pemandangan yang sangat menakjubkan tak lama kemudian setelah melewati jalan yang berliku-liku, lurus dan tanjakan sampailah ke Kota Banda Aceh yang selama ini kuimpi-impikan, feeling saya menyatakan bahwa saya akan memasuki salah satu kota yang sangat bersejarah dalam peradaban dunia.

       Suasana hatiku sangat senang dan berbunga-bunga, bagaikan seseorang kekasih yang bertemu dengan pujaan hatinya yang setelah bertahun-tahun tidak berjumpa. Hatiku tak kuasa menahan rindu, ku terus melihat ke luar melalui jendela bus, jantungku terus berdegup kencang, entah kenapa perasaan kegiranganku ini muncul tiba-tiba, kakiku gemetaran dan tak sabar lagi ingin menginjakkan langkah pertama di Kota Banda Aceh. Handphone selalu kupegang erat sembari sesekali ku mengirim pesan singkat ke keluarga dan teman-teman di mana posisiku berada, dan tak lupa pula saya memberi kabar kepada Ridha melalui Black Berry Messenger bahwa saya sudah sampai ke Kota Banda Aceh.

       Naaah.. Alhamdulillah akhirnya saya sampai juga ke terminal bus Batoh, terlihat bus-bus kecil maupun besar berjejeran rapi. Sebelum turun saya mengecek terlebih dahulu barang bawaan seperti tas, handphone, dan dompet agar tidak ketinggalan. Masih dengan perasaan sebelumnya kaki ini tidak sabar untuk segera turun. Treng…..treeeeennggg…. kaki kananku duluan menyentuh tanah bersejarah. Kuingin beberapa menit menikmati udara pertama Kota Banda Aceh.

       Handphone dalam saku kantong saya berbunyi, ternyata si Ridha menelpon, dia menanyakan keberadaan saya, selang beberapa menit kemudian terlihat dari kejauhan seseorang dengan kemeja biru muda dengan mengendarai motor dan menghampiri saya. Kamipun membuka bicara dan saling menanyakan kabar. Terlihat kepribadiannya sangat ramah, baik, dan santun. Itulah pertama kali saya berjumpa dengannya yang selama ini hanya bercengkrama di dunia maya dan melihat dia di foto profil.

       Cuaca di Banda Aceh memang berbeda dengan daerah tempat saya tinggal, terasa hangat dan terik namun itu semua tidak berpangaruh bagi saya. Pukul sudah menunjukkan 16.12 WIB, Ridha mengajak saya berkeliling Kota Banda Aceh sambil sekilas melihat beberapa tempat objek wisata tsunami seperti Museum Tsunami, PLTD Apung, kapal di atas rumah Lampulo, dan monumen “Thanks To World” Blang Padang. Terlihat keindahan dan pesan moral dari itu semua. Walaupun sore ini cuma berputar-putar namun hati belum sepenuhnya puas dan pingin rasanya masuk dan melihat langsung lokasi wisata tersebut.

       Hari semakin senja, matahari di ufuk barat mulai tenggelam dan menampakkan cahaya kemerah-merahannya. Ridha menawarkan saya untuk menginap di rumahnya saja untuk beberapa malam, sembari mempermudahkan saya berkomunikasi dengannya dan menyusun agenda besok. Saya pun menerima tawarannya, kami langsung menuju ke lokasi Darussalam, sesampainya di rumah dia pun menunjukkan kamar untuk saya beristirahat, kamar yang sederhana namun tetap dengan rasa nyaman yang sangat tinggi. Rasa lelah sangat saya rasakan hari ini, mata saya mulai memerah dan meminta saya untuk segera tidur. Namun sebelumnya saya mengambil selembar kertas terlebih dahulu dan menulis beberapa agenda yang akan saya lakukan besok hari. Agenda yang pertama yang saya lakukan untuk besok adalah mengunjungi Museum Tsunami Banda Aceh yang katanya sih (kata si Ridha) di situ banyak terdapat informasi tentang Tsunami. Welcome tomorrow !!

        Suara azan sudah menggema di seluruh mesjid, termasuk di samping rumah kami, suasana fajar yang sangat syahdu, udara sangat dingin, suara ayam berlantunan berkokok sesamanya dan saya langsung bersegera mengambil wudhu untuk segera melaksanakan ibadah shalat subuh berjamaah di mesjid. Setelah itu kami bersiap-siap untuk melakukan akifitas, saya tidak sabar lagi menantinya. Kamera, buku tulis, dan catatan lainnya sudah saya persiapkan, oke guys.. next mission.

       Ridha menghidupkan sepeda motornya untuk memanaskan mesinnya, terlihat rona gembira dan senang di wajahnya. Kemudian kami memakai helm yang merupakan salah satu alat keamanan diri dari kecelakaan. Di Banda Aceh kedisiplinan lalu lintas sangat dibutuhkan, kemanapun kita pergi keselamatan lalu lintas harus kita jaga selalu. Setelah mengitari kota Banda Aceh dalam beberapa menit, akhirnya saya sampailah di lokasi.
                                 (Kapal di atas rumah Lampulo)


       Langit yang indah mewarnai hari ini, terlihat awan di langit begitu lugu dan memukau. Pandangan saya terhenti sejenak, nafas saya pun ikut terhenti, tangan saya begitu kuat menggenggam kamera. Sejenak hati saya berucap “Subhanallah, subhanallah, subhanallah”, pandangan saya tidak terlepas dari sebuah “Kapal Nabi Nuh” yang berdiri tegap dan bertengger di atas sebuah rumah. Sebuah kapal nelayan berukuran sedang di atas rumah warga. Kapal itu bertengger di sisi kanan lantai dua rumah tersebut. belakangnya menghadap arah barat (kiblat). Di sisi bawah, tertopang beton-beton rumah yang telah ambruk, diperkuat dengan beberapa batang pohon kelapa sebagai penopang. Kapal yang bertengger di atas rumah ini merupakan saksi bisu sekaligus penyelamat warga saat peristiwa Tsunami yang meluluh lantakkan Banda Aceh pada 26 Desember 2004 silam. Konon katanya berdasarkan cerita si Ridha 59 Warga berhasil menyelamatkan diri ke atas kapal tersebut saat gelombang tsunami menerjang kawasan Kota Banda Aceh. Kapal ini terhempas dari pinggir pantai dengan kencang bersama gelombang, menghempas pepohonan, rumah warga, hinga kandas di atas rumah.

        Polpen saya terus menari-nari dan mencatat kisah-kisah tersebut di buku catatan. Seolah-olah saya berada di tempat itu dan merasakan dahsyatnya gelombang tsunami. Inilah bukti sejarah saat tsunami melanda bumi Serambi Makkah tersebut. Mata saya tidak bisa menahan haru sehingga meneteskan air mata.



Ridha : Kenapa anda meneteskan air mata?

Niko : saya terharu, dan benar-benar terharu. Seolah-olah saya merasakan betapa dahsyatnya musibah tsunami yang menerjang desa ini.

        Ridha mengajak saya berputar-putar keliling lokasi, di tempat itu saya sangat merasakan panggilan-panggilan bathin untuk selalu berdoa dan menjaga agar keimanan tetap kuat. Di tempat itu saya berbincang dengan warga Aceh asli tentang sejarah kapal tersebut, warga tersebut sangat ramah dan baik, logat dan kesantunan bicaranya membuat saya sekali lagi membuktikan bahwa warga Aceh sangat ramah, sopan, dan menyukai kedamaian. Saya pun member kabari melalui sms ke Mama, “Ma.. niko udah sampe ke lokasi Wisata Tsunami Aceh yaitu kapal di atas rumah lampulo, oia warga Aceh di sini sangat ramah Ma.. (pake lambang senyum)”

                                          (Kapal PLTD Apung)





       Siang semakin panas, keringat menetes di wajahku, namun setelah memasuki area wisata tsunami Kapal PLTD Apung langsung terasa adem dan sejuk, enggak percaya? coba datang aja. Oia salah satu bukti kuat adanya tsunami dahsyat yang menerjang Kota Banda Aceh adalah sebuah kapal berukuran besar yang berdiri kokoh di depan mata saya yang beralamat di Kampung Punge Blang Cut, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh atau dekat dengan Pantai Ulee Lheue. Konon katanya kapal tersebut adalah Kapal Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung I milik Perusahaan Listri Negara (PLN) memiliki berat 2.600 ton. Kedahsyatan tsunami yang menerjang terlukis dengan jelas dengan melihat bangkai kapal ini.

       Ridha menjelaskan bahwa saat tsunami menerjang, kapal besar ini pertamanya berada di laut, ketika terjadinya tsunami kapal ini terbawa arus kurang lebih 3 kilometer dari laut hingga akhirnya terdampar di tengah perkampungan di Kota Banda Aceh. Saya merenung sejenak dan membayangkan betapa kuatnya dan dahsyatkanya gelombang tersebut.

       Kemudian Ridha menjelaskan kembali bahwa ketika tsunami menerjang tercatat ada 11 anak buah kapal (ABK) yang berada di PLTD Apung I saat tsunami. Sayangnya, dari jumlah itu hanya satu orang saja yang selamat. Satu orang ABK yang selamat ini tetap berada di atas kapal saat kapal terbawa ombak hingga ke daratan. Tidak lama setelah kapal terseret, air bah mulai surut, kemudian 10 orang ABK turun dari kapal, sedangkan satu orang lagi tidak ikut turun. Nahas, air laut kembali naik dan 10 orang yang turun ini terhempas tsunami sementara satu orang yang tetap berada di atas kapal dalam kondisi selamat. Subhanallah, inilah bukti kekuasaan Allah.

      Saya menaiki lantai tiga kapal untuk menikmati pemandangan Kota Banda Aceh dari atas. Subhanallah, saya sangat merasa takjub dengan pemandangan yang indah Kota Banda Aceh dan terlihat juga beberapa situs wisata dan pusat pemerintahan dengan pemandangan yang memukau.

                                          (Museum Tsunami Aceh)




       Ridha memacu pelan sepeda motornya, kami berbincang-bincang sederhana sambil mengitari Kota Banda Aceh. Sesekali saya melihat jam dan tak sabar ingin segera sampai ke lokasi Museum Tsunami Aceh. Tak lama kemudian akhirnya saya sampailah di Lokasi. Mata ini meliuk-liuk melihat sisi bangunan museum yang indah itu Yang saya ketahui Museum Tsunami adalah ikon Aceh kedua setelah Mesjid Raya Baiturrahman. Museum ini di rancang oleh seorang arsitek yang berasal kota saya (Bandung) yaitu Ridwan M. Kamil.

       Kaki saya terus melangkah perlahan masuk ke dalam pekarangan museum, terlihat keramaian pengunjung yang bercengkrama dan gembira sambil menikmati seluk beluk musemu. Museum Tsunami memang dibangun sebagai tempat perenungan, di mana setiap seluk beluk bangunannya memiliki filosofi sendiri. Bentuk bangunannya yang lonjong mengingatkan kita akan pusaran air maha besar.

        Catatan saya terus dilapisi tinta polpen dari jemari tangan saya, setiap informasi yang dijelaskan Ridha selalu saya catat. Modifikasi bangunan Museum terinspirasi dari Rumoh panggung Aceh sedangkan dididingnya dilapisi pahatan yang melambangkan tari saman. Seperti mengingatkan akan kejadian di masa lalu, memberikan pelajaran di masa kini, dan menjanjikan perlindungan di masa depan jika dibutuhkan, itulah kata yang cocok untuk Museum Tsunami ini.

       Kemudian langkah kaki kami selanjutnya ialah masuk ke dalam museum, tetapi sebelumnya saya harus menyimpan tas terlebih dahulu di tempat penitipan tas, menurut peraturan di situ pengunjung tidak boleh membawa masuk tas ke dalam lokasi. Setelah itu saya pun melanjutkan perjalanan, dalam perjalanan menikmati bangunan ini saya harus melalui fase demi fase, setiap fase yang saya lalui memiliki filosofi sendiri. Saat menginjakkan kaki di pintu masuk saya di hadapkan dengan lorong gelap sempit dengan ketinggian kira-kira 30 meter lebih yang di beri efek air jatuh, hal ini merefleksikan bahwa tingginya gelombang tsunami yang dialami korban tsunami waktu itu. Efeknya sangat bermakna dan memberi kesan dan seolah-olah saya merasakan gelombang tsunami trsebut.

         Setelah saya melalui lorong gelap tersebut sampai di ruang remang-remang yang terdapat benda seperti meja yang tingginya kira-kira setangah pinggang orang dewasa, menurut Ridha itu dinamakan standing screen yang memperlihatkan foto-foto pascatsunami, korban, bangunan yang porak-poranda maupun situasi dan kondisi pascatsunami. Ruangan ini kiranya mampu sebagai tempat perenungan atas musibah dahsyat yang diderita warga Aceh sekaligus kepasrahan dan pengakuan atas kekuatan dan kekuasaan Allah dalam mengatasi sesuatu.

         Langkah kaki saya selanjutnya ialah menuju ke sebuah ruang yang bertuliskan nama-nama dari korban tsunami, menurut Ridha ruang ini dinamakan ruang penentuan nasib atau fight room. Ruang ini berbentuk cerobong dengan nama tulisan “Allah” dipuncaknya dalam kaligrafi arab, hal ini merefleksikan para pejuang korban tsunami berada antara hidup dan mati hanyalah ketentuan dari Allah Sang Maha Pencipta.

        Selanjutnya saya tiba di sebuah perjalanan memutar hampir membuat saya kebingungan hehehe, ternyata tanjakan itu menuju ke jembatan harapan, perjalanan ini seperti menggambarkan bahwa para korban tsunami dipaksakan berlari untuk menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi hingga sampai kesebuah jembatan final. Diatas jembatan terlihat 27 bendera negara-negara yang siap mengadu nasib. Gambaran ke 27 bendera tersebut seakan mereka siap mengulurkan bantuan kepada para korban tsunami.

      Filosofi fase demi fase seakan mengingatkan kita pada korban yang pernah merasakan kedahsyatan gelombang 26 desember 2004 lalu itu. Karena siapa yang siap dengan musibah sebesar itu yang memakan korban lebih dari seratus ribu jiwa.

         Kemudian saya memasuki ruangan-ruangan yang penuh dengan informasi-informasi tentang Tsunami, lengkap banget deh ! puas banget dan wawasan saya terus diisi dengan informasi-informasi tersebut. Ruang pameran tersebut berisi foto-foto tsunami yang melanda Aceh sebelum dan sesudahnya, peta kawasan Aceh, miniature atau monument yang dibuat dalam kaca seperti sebuah mesjid yang selamat dari tsunami, ketinggian air saat tsunami menerjang, kapal yang berhasil menyelamatkan korban dari musibah tsunami, dan suasana masyarakat ketika terjadinya gempa, serta sebuah sepeda motor dan sepeda dayung yang disumbangkan oleh warga. Ruangan lainnya juga meperlihatkan bola dunia yang sangat besar, alat peraga tsunami, konsep miniature rumah yang tahan gempa dan masih banyak lagi deh semua itu terangkum dalam catatan saya.

                                 (Monumen Aceh Thanks To The World)



          Masih dengan perasaan semangat dan senang, badan ini langsung menuju ke sebuah tempat yang berhadapan langsung dengan Museum Tsunami Aceh yaitu Blang Padang. Di Lapangan Blang Padang ini terdapat sebuah monumen simbol dari rasa syukur Aceh kepada para relawan , LSM , institusi negara yang lebih tinggi , perusahaan , sipil , dan militer baik nasional maupun internasional yang telah berpartisipasi dalam pembangunan Aceh setelah bencana Tsunami ., monument ini dinamakan dengan “Aceh Thanks To The World”. Selain monumen, ternyata di lapangan banyak terdapat prasasti mirip seperti perahu yang hampir tenggelam, simbolis ini merupakan bentuk ungkapan terima kasih masyarakat kepada negara-negara yang memberikan kontribusi untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh melalui prasasti persahabatan. Pada prasasti tersebut tertulis nama negara , bendera negara , dan ekspresi syukur ‘ Thank You dan Perdamaian ‘ dalam bahasa masing-masing negara. Ternyata seelah saya hitung-hitung ada 53 prasasti di lapangan ini. Menurut cerita si Ridha, kawasan ini terbuka untuk umum. Ada jogging track, lapangan sepak bola, basket, dan pilar untuk melakukan fitness ringan.

          Cuaca makin sejuk dan nyaman, mata saya kemudian teralihkan dengan sebuah pesawat yang ada di lapangan ini, ada apa ya? Koq bisa ada pesawat di sini? Ternyata pesawat tersebut merupakan monumen Pesawat RI. Pesawat ini merupakan symbol nyata dukungan yang diberikan masyarakat Aceh dalam proses perjalanan Republik Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Pesawat ini kemudian adalah perintis kepada Garuda Indoensia Airways disumbangkan melalui pengumpulan harta peribadi dan saudagar Aceh sehingga Presiden Soekarno menyebut ‘Daerah Aceh adalah daerah modal bagi republik Indonesia, dan melalui perjuangan rakyat aceh seluruh wilayah Republik Indonesia dapat direbut kembali’.

                                        (Mesjid Raya Baiturrahaman)



         Batin ini terasa rindu yang teramat dalam sejak dulu, akhirnya sampai juga ke tempat yang menakjubkan di dunia yaitu Mesjid Raya Baiturrahman. Ya.. belum sempurna rasanya ke kota Banda Aceh jika saya belum melangkahkan kaki mengunjungi Masjid raya Baiturrahman. Inilah masjid yang menjadi ikon dan kebangaan orang Aceh. Ridha menceritakan bahwa mesjid ini merupakan mesjid yang bersejarah, karena masjid ini sudah beberapa kali dibakar oleh Belanda, oleh karena itu masjid ini menjadi simbol perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah Belanda. Oia dan tak lupa juga, Masjid Baiturrahman juga menjadi saksi sejarah peristiwa tsunami yang menerjang kawasan Banda Aceh, walaupun disekilingnya di sapu tsunami namun masjid ini tetap berdiri kokoh meskipun dihantam gelombang tsunami.

         Rasa rindu saya selama ini akhirnya terbayar tuntas, ketika saya mencium sajadah mesjid ini untuk melakukan ibadah sholat. Rasanya sangaaaaaaaaaaaaaaaaat adem dan mempesona, angin yang masuk melalui dinding-dinding mesjid begitu sejuk. Suara burung-burung bernyanyian di atas sangat enak di dengar namun tidak mengganggu orang yang beribadah, arsitekturnya sangat indah.

                                   (Mesjid Baiturrahman Ule Lheu)



           Perjalanan saya selanjutnya ialah menuju ke sebuah mesjid yang berada di pinggir pantai Ule Lheu, konon katanya mesjid ini menjadi saksi bisu musibah tsunami menerjang Kota Banda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004, nyaris semua bangunan di wilayah dekat dengan mesjid ini rata dengan tanah atau hanyut terhempas gelombang ke arah pusat Kota Banda Aceh – beserta ribuan jiwa yang menjadi korban, namun subhanallah ketika bencana tsunami itu terjadi, masjid ini tetap kokoh berdiri di tengah hamparan puing bangunan sekitarnya yang telah hancur. Hanya sebagian kecil bagian bangunan yang mengalami kerusakan akibat bencana tersebut.

           Alhamdulillah perjalanan saya ke Kota Banda Aceh untuk berwisata dan melepaskan rasa rindu saya terhadapnya sekaligus mencari informasi tentang musibah tsunami yang melanda Kota Banda Aceh akhirnya “terbalaskan”.
 
         Banyak pengalaman dan pelajaran yang sangat berharga yang saya temukan di Kota Banda Aceh, bahkan banyak sekali. Saya di sini membuktikan bahwa Kota Banda Aceh merupakan kota yang sangat indah serta memiliki lokasi wisata yang sangat menarik untuk dikunjungi, tsunami yang dulunya menggoreskan luka bagi sebagian besar warga Kota Banda Aceh namun akhirnya sembuh sendiri seiring dengan waktu. Kota Banda Aceh yang dulunya porak-poranda di hantam oleh tsunami kini berubah menjadi kota yang rapi dan indah, keteguhan keimanan masyarakat Aceh terhadap sang Maha Kuasa juga sangat tinggi, kedamaain dan kecintaan terhadap sesama juga membuktikan bahwa masyarakat Aceh selalu menghargai dan menghormati sesama lainnya.

Selain itu saya juga ingin membuktikan bahwasanya

  1. Salah banget kalo ada orang mengatakan bahwa Banda Aceh itu kota tidak aman karena pada kenyataan yang saya alami sendiri masyarakat Aceh sangat ramah dan mencintai kedamaian dan keamanan. 
  2. Oke kalau ada orang yang menyatakan bahwa syari’at Islam di Banda Aceh masih kental, namun pada sejatinya mereka juga memberikan toleransi dan rasa tenggang rasa terhadap masayarakat non muslim yang ingin datang ke Kota Banda Aceh. 
  3. Salah juga jika ada yang mengatakan bahwa warga Aceh anti terhadap orang asing karena pada kenyataannya warga selalu menyambut baik dan hangat jika ada orang asing yang datang ke Kota Banda Aceh, untuk budaya ke barat-baratan itu tergantung terhadap generasi pemuda Aceh sendiri bagaimana cara mengatasinya

Pokoknya, fine fine aja…


           Semua catatan tentang tsunami sudah saya himpun, tidak terasa ternyata saya sudah ada bebera hari di Kota Banda Aceh, tentunya banyak kegiatan yang sudah saya lakukan, ada yang saya tuliskan dalam cerita ini dan ada juga yang tidak, namun semua itu akan menjadi hari-hari yang indah dalam hidup saya karena bisa mengobati rasa rindu saya terhadap Kota Banda Aceh.

         Suasa hari ini kebetulan mendung, angin sesekali berhembus. Hari ini hari terakhir saya di Kota Banda Aceh, dan saya harus segera pulang ke daerah asal saya, air mata saya turun menetes mengingat kembali kebersamaan, rasanya saya tak ingin berpisah, ingin menetap di sini berlama-lama, namun saya harus mengumpulkan tugas segera sebelum deadline habis. Semua kenangan di Kota Banda Aceh akan selalu saya kenang. Terlihat mata Ridha berkaca-kaca dengan senyuman di wajahnya…. Sampai juga lagi Kota Banda Aceh dan sampai jumpa lagi sobat….. Semua tentangmu Banda Aceh akan selalu ke kenang di dalam hati............
Baca Selengkapnya

Friday 7 March 2014

Lokasi Wisata Museum Tsunami Aceh

Museum tsutami Aceh yang dibangun oleh beberapa lembaga yang sekaligus merangkap panitia. Diantaranya Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias sebagai penyandang anggaran bangunan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) sebagai penyandang anggaran perencanaan, studi isi dan penyediaan koleksi museum dan pedoman pengelolaan museum), Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)sebagai penyedia lahan dan pengelola museum, Pemerintah Kotamadya Banda Aceh sebagai penyedia sarana dan prasarana lingkungan museum dan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) untuk mengenang peristiwa tsunami yang menimpa Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004 yang menelan korban lebih kurang 240,000. Museum ini dibangun pada tahun 2006 diatas lahan lebih kurang 10,000 persegi yang terletak di Ibukota provinsi Nanggroes Aceh Darussalam yaitu Kotamadaya Banda Aceh dengan anggaran dana sebesar kitar Rp 140 milyar.  Menurut Eddy Purwanto sebagai Penggagas Museum Tsunami Aceh dari BRR Aceh, Museum ini dibangun dengan 3 alasan:
1. untuk mengenang korban bencana Tsunami
2. Sebagai pusat pendidikan bagi generasi muda tentang keselamatan
3. Sebagai pusat evakuasi jika bencana tsunami datang lagi.
Pembangunan museum ini bertujuan  tidak hanya menjadi sebuah bangunan monumen, tetapi juga sebagai objek sejarah, dimana bangunan ini menjadi tempat pusat penelitian dan pembelajaran tentang bencana tsunami sebagai simbol kekuatan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami. Selain itu bangunan ini diharapkan menjadi warisan untuk generasi Aceh di masa mendatang sebagai pesan dan pelajaran bahwa tsunami pernah melanda Aceh yang telah menelan banyak korban. Bangunan museum ini terdiri dari 4 tingkat dengan hiasan dekorasi bernuansa islam. Dari arah luar dapat terlihat bangunan ini berbentuk seperti kapal, dengan sebuah mencu suar berdiri tegak di atasnya. Tampilan eksterior yang luar biasa yang mengekspresikan keberagaman budaya Aceh terlihat dari ornamen dekoratif unsur transparansi elemen kulit luar bangunan. Ornamen ini melambangkan tarian saman sebagai cerminan Hablumminannas, yaitu konsep hubungan antar manusia dalam Islam.
Pada lantai 3 Museum Tsunami Aceh, terdapat beberapa fasilitas seperti ruang geologi, perpustakaan, musalla, dan souvenir. Pada ruang geologi, pengunjung dapat memperoleh informasi mengenai kebencanaan, bagaimana gempa dan tsunami terjadi, melalui penjelasan dari beberapa display dan alat simulasi yang terdapat dalam ruangan tersebut.
Di tingkat akhir gedung Museum Tsunami Aceh, difungsikan sebagai escape building atau penyelamatan diri ketika tsunami terjadi lagi di masa yang akan datang. Tingkat atap ini tidak dibuka untuk umum karena mengingat konsep keselamatan dan keamanan. Dari tingkat atap ini, hampir keseluruhan daerah kota Banda Aceh dapat terlihat dari atas gedung.
 Museum Tsunami Aceh terletak di lokasi tamana sari  kota Banda Aceh kira-kira 500 meter  dari Masjid Raya Biturahman  Banda Aceh.
 Fungsi Museum Tsunami Aceh  adalah :
1. Sebagai objek sejarah, dimana museum tsunami akan menjadi pusat penelitian dan pembelajaran   tentang bencana tsunami.
2. Sebagai simbol kekuatan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami.
3. Sebagai warisan kepada generasi mendatang di Aceh dalam bentuk pesan bahwa di daerahnya pernah terjadi tsunami.
4. Untuk mengingatkan bahaya bencana gempa bumi dan tsunami yang mengancam wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia terletak di “Cincin Api” Pasifik, sabuk gunung berapi, dan jalur yang mengelilingi Basin Pasifik. Wilayah cincin api merupakan daerah yang sering diterjang gempa bumi yang dapat memicu tsunami.
Museum tsunami Aceh hingga  saat ini masih sangat ramai dikunjungi oleh wisata / pelancong domistik dan manca Negara. Menurut data Statistik  Aceh mulai tahun 2010 sampai tahun 2012   peningkatan pengunjung  sangat tinggi namun pada tahun 2013 sudah agak menurun. Museum Tsunami Aceh yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Februari 2009. Dan dibuka untuk umum pada 8 Mei 2011 yang di isi dengan  55 koleksi  terdiri dari :  7 unit maket, 22 unit alat peraga, dan 26 unit foto ataupun lukisan yang menggambarkan keadaan tsunami di Aceh.  dan  ketika memasuki ruang koleksi, suasana mengenang tsunami terusik oleh kondisi koleksi yang tak sempurna. Sejumlah koleksi, seperti ruang simulasi gempa, alat peraga rumah tahan gempa dan rumah tak tahan gempa, serta alat peraga gelombang tsunami. Desain dan pembangunan Museum Aceh dengan konsep ‘Rumoh Aceh as Escape Building’ mempunyai beragam filosofi. Pada lantai dasar museum ini menceritakan bagaimana tsunami terjadi melalui arsitektur yang didesain secara unik. Pada masing-masing ruangan memiliki filosofi tersendiri yang mendeskripsikan gambaran tentang tsunami sebagai memorial dari bencana besar yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 silam yang menelan ribuan korban jiwa.
 Filosofi dari design Museum Tsunami Aceh segagai berikut:
1.     1. Space of Fear (Lorong Tsunami)
Akses awal lorong Tsunami untuk  pengunjung  memasuki Museum Tsunami yang memiliki panjang 30 m dan tinggi hingga 19-23 m melambangkan tingginya gelombang tsunami yang terjadi pada tahun 2004 silam.  Air mengalir di kedua sisi dinding museum,  dengan suara gemuruh air dan cahaya yang remang-remang agak gelap, lembab dan lorong yang sempit, mendeskripsikan perasaan rasa takut masyarakat Aceh pada saat tsunami terjadi, yang disebut space of fear.
2.Space of Memory (Ruang Kenangan)
Setelah berjalan melewati Lorong Tsunami yang panjang 30 m, pengunjung memasuki Ruang Kenangan (Memorial Hall). Ruangan ini memiliki 26 monitor sebagai lambang dari kejadian tsunami yang melanda Aceh. Setiap monitor menampilkan gambar dan foto para korban dan lokasi bencana yang melanda Aceh pada saat tsunami sebanyak 40 gambar yang ditampilkan dalam bentuk slide. Gambar dan foto ini seakan mengingatkan kembali kejadian tsunami yang melanda Aceh atau disebut space of memory yang sulit di lupakan dan dapat dipetik hikmah dari kejadian tersebut. Ruang dengan dinding kaca ini memiliki filosofi keberadaan di dalam laut (gelombang tsunami). Ketika memasuki ruangan ini, pengunjung seolah-olah tengah berada di dalam laut, dilambangkan dengan dinding-dinding kaca yang menggambarkan luasnya dasar laut, monitor-monitor yang ada di dalam ruangan dilambangkan sebagai bebatuan yang ada di dalam air, dan lampu-lampu remang yang ada di atap ruangan dilambangkan sebagai cahaya dari atas permukaan air yang masuk ke dasar laut.
 3.3.       Space of Sorrow (Ruang Sumur Doa)
Melalui Ruang Kenangan (Memorial Hall), pengunjung akan memasuki Ruang Sumur Doa (Chamber of Blessing). Ruangan berbentuk silinder dengan cahaya remang dan ketinggian 30 meter ini memiliki kurang lebih 2.000 nama-nama koban tsunami yang tertera disetiap dindingnya. Ruangan ini difilosofikan sebagai kuburan massal tsunami dan pengunjung yang memasuki ruanga ini dianjurkan untuk mendoakan para korban menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Ruangan ini juga menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhannya (hablumminallah) yang dilambangkan dengan tulisan kaligrafi Allah yang tertera di atas cerobong dengan cahaya yang mengarah ke atas dan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an. melambangkan bahwa setiap manusia pasti akan kembali kepada Allah (penciptanya).

4.    4.   Space of Confuse (Lorong Cerobong)
Setelah Sumur Doa, pengunjung akan melewati Lorong Cerobong (Romp Cerobong) menuju Jembatan Harapan. Lorong ini didesain dengan lantai yang bekelok dan tidak rata sebagai bentuk filosofi dari kebingungan dan keputusasaan masyarakat Aceh saat didera tsunami pada tahun 2004 silam, kebingungan akan arah tujuan, kebingungan mencari sanak saudara yang hilang, dan kebingungan karena kehilangan harta dan benda, maka filosofi lorong ini disebut Space of Confuse. Lorong gelap yang membawa pengunjung menuju cahaya alami melambangkan sebuah harapan bahwa masyarakat Aceh pada saat itu masih memiki harapan dari adanya bantuan dunia untuk Aceh guna membantu memulihkan kondisi fisik dan psikologis masyarakat Aceh yang pada saat usai bencana mengalami trauma dan kehilangan yang besar.
      5. Space of Hope (Jembatan Harapan)
Lorong cerobong membawa pengunjung ke arah Jembatan Harapan (space of hope). Disebut jembatan harapan karena melalui jembatan ini pengunjung dapat melihat 54 bendera dari 54 negara yang ikut membantu Aceh pasca tsunami, jumlah bendera sama denga jumlah batu yang tersusun di pinggiran kolam. Di setiap bendera dan batu bertuliskan kata ‘Damai’ dengan bahasa dari masing-masing negara sebagai refleksi perdamaian Aceh dari peperangan dan konflik sebelum tsunami terjadi. dunia melihat secara langsung kondisi Aceh, mendukung dan membantu perdamaian Aceh, serta turut andil dalam membangun (merekontruksi) Aceh setelah bencana terjadi.

Baca Selengkapnya