Ini Hanya Blog Biasa yang Menyediakan Informasi Hal-hal Menarik Tentang Aceh.
Kuah Pliek-U, Gulai Para Raja
Masakan atau gulai khas Aceh.
Okezine - Template
Mesjid Raya Baiturrahman
Saksi bisu sejarah Aceh.
Okezine - Template
Tari Saman
Satu ciri menarik dari tari Aceh
..
Prev 1 2 3 Next

Sunday 9 September 2012

Kerajaan Pedir di Daerah Rendah Luas dan Subur

Sejarawan Aceh, M. Junus Jamil di dalam bukunya yang berjudul “Silsilah Tawarick Radja-Radja Kerajaan Aceh”, berisi tentang sejarah Negeri Pidie / Sjahir Poli. Kerajaan ini digambarkan sebagai daerah dataran rendah yang luas dengan tanah yang subur, sehingga kehidupan penduduknya makmur. Batas-batas kerajaan ini meliputi, sebelah timur dengan Kerajaan Samudra/Pasai, sebelah barat dengan Kerajaan Aceh Darussalam, sebelah selatan dengan pegunungan, serta dengan selat Malaka di sebelah utara.

Sementara dalam kisah pelayaran bangsa Portugal, Mereka menyebut Pidie sebagai Pedir, Sedangkan dalam kisah pelayaran bangsa Tiongkok disebut sebagai Poli. Asumsinya, orang Tiongkok tidak dapat menyebut kata “Pidie” seperti yang kita ucapkan. Dalam catatan pelayat Tiongkok itu disebutkan, bahwa Kerajaan Pedir luasnya sekitar seratus kali dua ratus mil, atau sekitar 50 hari perjalanan dari timur ke barat dan 20 hari perjalanan dari utara ke selatan.

Menurut M. Junus Jamil, Suku yang mendiami kerajaan ini berasal dari Mon Khmer yang datang dari Asia Tenggara yakni dari Negeri Campa. Suku Mon Khmer itu datang ke Poli beberapa abad sebelum masehi. Rombongan ini dipimpin oleh Sjahir Pauling yang kemudian dikenal sebagai Sjahir Poli. Mereka kemudian berbaur dengan masyarakat sekitar yang telah lebih dahulu mendiami kawasan tersebut.

Setelah berlabuh dan menetap di kawasan itu (Pidie-red), Sjahir Poli mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Kerajaan Sama Indra. Waktu itu mereka masih menganut agama Budha Mahayana atau Himayana. Oleh M Junus Djamil diyakini dari agama ini kemudian masuk pengaruh Hindu.

Lama kelamaan Kerajaan Sama Indra pecah mejadi beberapa kerajaan kecil. Seperti pecahnya Kerajaan Indra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra, Indrapurwa dan Indrajaya yang dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli di Lhokseudu.

Kala itu Kerajaan Sama Indra menjadi saingan Kerajaan Indrapurba (Lamuri) di sebelah barat dan kerajaan Plak Plieng (Kerajaan Panca Warna) di sebelah timur. Kerajaan Sama Indramengalami goncangan dan perubahan yang berat kala itu,

Menurut M Junus Djamil, pada pertengahan abad ke-14 masehi penduduk di Kerajaan SamaIndra beralih dari agama lama menjadi pemeluk agama Islam, setelah kerajaan itu diserang oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Mansyur Syah (1354 – 1408 M). Selanjutnya, pengaruh Islam yang dibawa oleh orang-orang dari Kerajaan Aceh Darussalam terus mengikis ajaran hindu dan budha di daerah tersebut.

Setelah kerajaan Sama Indra takluk pada Kerajaan Aceh Darussalam, makan sultan Acehselanjutnya, Sultan Mahmud II Alaiddin Johan Sjah mengangkat Raja Husein Sjah menjadi sultan muda di negeri Sama Indra yang otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Sama Indra kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Pedir, yang lama kelamaan berubah menjadi Pidie seperti yang dikenal sekarang.

Meski sebagai kerajaan otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam, peranan raja negeri Pidie tetap dipererhitungkan. Malah, setiap keputusan Majelis Mahkamah Rakyat KerajaanAceh Darussalam, sultan tidak memberi cap geulanteu (stempel halilintar) sebelum mendapat persetujuan dari Laksamana Raja Maharaja Pidie. Maha Raja Pidie beserta uleebalang syik dalam Kerajaan Aceh Darussalam berhak mengatur daerah kekuasaannya menurut putusan balai rakyat negeri masing-masing.

Sementara Prof. D. G. E Hall dari Inggris, dalam bukunya "A History of South East Asia", mengambarkan Pidie sebagai sebuah negeri yang maju pada akhir abad ke 15. Hal itu berdasarklan catatan seorang pelawat Portugal, Ludovico di Varthema, yang pernah singgah di Pidie pada akhir abad 15.

Dalam catatan Varthema, sebagaimana dikutip Muhammad Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang Abad) dalam “Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah” pada abad tersebut Pedir, yang masih disebut sebagai negeri Pedir merupakan sebuah negeri maju yang setiap tahunnya disinggahi sekurang-kurangnya 18 sampai 20 kapal asing, untuk memuat lada yang selanjutnya diangkut ke Tiongkok, Cina.

Dari pelabuhan Pedir juga diekspor kemenyan dan sutra produksi masyarakat Pidie dalam jumlah besar. Karena itu pula, banyak pendatang dari bangsa asing yang berdagang ke pelabuhan Pedir. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi warga pelabuhan waktu itu meningkat.

Bahkan vartheme menggambarkan, disebuah jalan dekat pelabuhan Pedir, terdapat sekitar 500 orang penukar mata uang asing. “So extensive was its trade, and so great the number of merchants resorting there, that one of its street contain about 500 honderd moneychanger,” kata Varhtema.

Varthema oleh Muhammad Said disebutkan sama seperti Snouck Horgronje, yang Islam untuk sebuah tujuan penelitian tentan dunia muslim. Sebelum ke Pedir, ia juga telah mempelajari Islam di Mekkah. Sesuatu yang kemudian juga dilakukan Snouck Hourgronje dari Belanda, tapi Snouck lebih terkenal ketimbang Varthema, karena berhasil menulis sejumlah buku tentang Aceh.

Dalam catatannya Varthema mengatakan takjub terhadap negeri Pedir yang saat itu sudah menggunakan uang emas, perak, dan tembaga sebagai alat jual beli, serta aturan hukum yang sudah berjalan dengan baik, yang disebutnya “Strict Administration of Justice,”.

Selain itu Varthema juga menulis tentang kapal-kapal besar milik nelayan yang disebut tongkang, yang menggunakan dua buah kemudi. Ia juga mengupas secara terperinci tentang keahlian rakyat Pedir tentang perindustrian kala itu, yang sudah mampu membuat alat-alat peletup atau senjata api.

Dalam sebuah riwayat Tiongkok (Cina) disebutkan, pada tahun 413 Masehi, seorang musafir Tiongkok, Fa Hian melawat ke Yeep Po Ti dan singgah Poli (Pidie-red). Fa Hian menyebutkan Poli sebagai sebuah negeri yang makmur, yang rajanya berkenderaan gajah, berpakaian sutra dan bermahkota emas.

Untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Cina, Raja Poli pada tahun 518 Masehi mengirim utusannya ke Tiongkok. Hubungan itu terus berlanjut. Pada tahun 671 Masehi, I Tsing dari Tiongkok melawat ke Poli. Ia disebut tinggal selama lima tahun singgah dan tingagl di enam kerajaan di pesisir Sumatera, mulai dari Kerajaan Lamuri (Aceh Besar), Poli (Pidie), Samudra dan Pasai (Aceh Utara), Pereulak (Aceh Timur) dan kerjaan Dangroian (?).

Poli sebagai Pidie yang dikenal sekarang, menurut H. M Zainuddin dalam bukunya “Tarikh Aceh dan Nusantara” disebutkan oleh ahli sejarawan kuno, Winster, sebagai sebuah negeri yang makmur dan jaya. Menurutnya, setelah Sriwijaya dan Pasai, Poli lah Bandar pelabuhan yang terkenal. Pelabuhan Poli disebut-sebut berbentu genting, yang oleh H M Zainuddin kemudian diduga sebagai sebuah muara yang kini dikenal sebagai Kuala Batee.

Menurut Varthema sumber Portugis mengatakan bahwa Sultan Ma’ruf Syah Raja Pidie (Pedir, Sjir, Duli) itu pernah menaklukkan Aceh Besar dalam tahun 1479. Masa itu diangkat dua orang wakil di Aceh, seorang di Aceh sendiri dan seorang di Daya. Mula-mula Pidie dikalahkan oleh Raja Aceh Besar dan di dudukkan oleh Wali Negara (Gubernur) di Pidie, yaitu Raja Ali dan adiknya, Ibrahim.

Kemudian Raja Ibrahim yang menjadi Wali Negara Raja Aceh di Pidie atas Perintah abangnya menyerbu Benteng Portugis yang baru didirikan di Kuala Gigieng. Cerita lain menyebutkan bahwa, Kuta Asan, Pidie, merupakan bekas kota yang didirikan Portugis.

Selanjutnya dengan sejata yang dirampas dari Portugis, Raja Pidie menyerang Raja Aceh Besar pada tahun 1514 dan Sultan Salahuddin Ibnu Muzaffar Syah diturunkan dari tahkta. Raja Ali naik menjadi raja dengan Gelar Sultan Ali Mughayat Syah, sedang adiknya Raja Ibrahim menjadi Laksamana.

Adapun Silsilah Raja-Raja / Pemimpin Pemerintahan Pidier saat itu adalah Sebagai berikut :

1.Maharaja Sulaiman Noer: Anak Sultan Husein Syah.
2.Maharaha Sjamsu Syah: Kemudian menjadi Sultan Aceh.
3.Maharaja Malik Ma’roef Syah: Putra dari Maharaja Sulaiman Noer. Mangkat pada tahun 1511 M, dikuburkan di Klibeut di sisi kuburan ayahnya.
4.Maharaja Ahmad Sjah: Putra Maharaja Ma’roef Syah. Pernah berperang melawan Sulthan Ali Mughayat Syah, tapi kalah. Mangkat pada tahun 1520 M, dikuburkan di Klibeut di sisi kuburan ayahnya.
5.Maharaja Husain Syah: Putra Sultan Riayat Syah II (Meureuhom Khaa), kemuian menggantikan ayahnya menjadi Sulthan Aceh.
6.Maharaja Saidil Mukamil: Putra dari Maharaja Firman Syah, kemudian menjadi Sulthan Aceh dari 1589 sampai 1604 M. Ayah dari ibu Sulthan Iskandar Muda.
7.Maharaja Husain Syah: Putra dari Sulthan Saidil Mukamil
8.Maharaja Meurah Poli: Meurah Poli Negri Keumangan dikenal sebagai Laksamana Panglima Pidie yang terkenal dalam perang Malaka (Pran Raja Siujud).
9.Maharaja Po Meurah: Syahir Poli, Bentara IX Mukim Keumangan yang bergelar Pang Ulee Peunaroe. Pengatur negeri Pidie.
10.Meurah Po Itam : Bentara Kumangan bergelar Pang Ulee Peunaroe.
11.Meurah Po Puan : Bentara keumangan bergelar Pang Ulee peunaroe
12.Meurah Po Thahir : Bentara Keumangan yang terkenal dalam perang Pocut Muhammad dengan Potue Djemaloiy (Sulthan Djamalul Alam Badrul Munir) pada tahun 1740 M. Ia mempunyai dua orang saudara: Meurah Po Doom dan Meurah Po Djoho.
13.Meurah Po Seuman: Pang Ulee Peunaroe dengan nama asli Usman.
14.Meurah Po Lateh: Pang Ule peunaroe dengan nama asli Abdul Latif, terkenal dengan sebutan Keumangan Teungeut.
15.Teuku Keumangan Yusuf: Sudah masuk masa perang Aceh dengan Belanda.
16.Teuku Keumangan Umar: Uleebalang IX Mukim, Pidie.

Referensi :
•http://iskandarnorman.blogspot.com
•http://harian-aceh.com
•http://aweaceh.blogspot.com
•http://www.lintasberita.us

Sumber : http://www.atjehcyber.tk
Baca Selengkapnya

Kerajaan Samudra Pasai

Kerajaan Samudra Pasai terletak di pesisir timur laut aceh, saat ini menjadi kabupaten Lhokseumawe atau Aceh Utara. Kerajaan ini merupakan kerajaan islam kedua di Indonesia setelah Perlak. Untuk waktu yang lama, Pasai dianggap oleh kerajaan islam lain di Nusantara sebagai pusat Islam.

Lahirnya samudra pasai sebagai kerajaan islam diperkirakan dimulai dari awal atau pertengahan abad ke 13, sebagai hasil proses islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi ulama-ulama muslim sejak abad ke 7. fakta tentang berdirinya Kerajaan islam Samudra Pasai pada abad ke 13 ini didukung oleh data-data sejarah yang nyata. Yang terpenting di antaranya adalah batu nisan yang memuat nama sultan Malik Al-saleh, rajanya yang pertama, berangka tahun 696 H atau 1297 M. Di jawa, pada saat itu sedang berdiri Kerajaan Majapahit yang sangat berpengaruh (1293 – 1478 M).

Data ini dikuatkan oleh kitab Hikayat raja-raja pasai. Hikayat ini menyebutkan bahwa raja pertama dan sultan pendiri kerajaan Samudra Pasai adalah malik Al-Shaleh. Adapun namanya sebelum menjadi raja adalah Marah Sile atau Marah Selu. Ia masuk islam atas bimbingan Syekh Ismail, seorang ulama utusan Syarif Mekkah yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik Al-Shaleh.

Marah Selu adalah putra Marah Gajah. Nama marah adalah gelar bangsawan yang lazim di Sumatra utara, setingkat dengan raden di jawa. Kata Selu berasal dari sungkala yang artinya berasal dari bahasa sansekerta. Kepemimpinan marah selu yang menonjol telah menempatkan dirinya menjadi raja, setelah sebelumnya selalu ditolak dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain.

Sultan Malik Al-shaleh adalah raja pertama dan pendiri kerajaan Samudra Pasai. Fakta ini dapat diketahui melalui Hikayat Melayu. Dalam hikayat itu disebutkan juga bahwa Marah Selu mengembara dari satu tempat ke tempat lain dengan penolakan dari daerah-daerah yang bersangkutan, akan tetapi kemudian ia menjadi raja di suatu daerah.
Hikayat itu menyebutkan,
“Suatu hari Marah Selu Pergi berburu. Maka ada seekor anjing dibawanya, bernama pasai. Maka dilepaskannya anjing it. Maka dilihatnya ada seekor semut besarnya seperti kucing , maka ditangkapnya oleh Marah Selu itu lalu dimakannya. Maka orang yang menyertainya berburu itu disuruh untuk membersihkan tanah tinggi untuk dibuat istana.

“setelah selesai maka marah selu pun dudukalh di sana dengan segala hulu-balangnya dan segala rakyatnya. Tempat itu dinamai oleh Marah Selu Negeri Samudera, artinya semut yang amat besar”
Tentang Nama pasai, Hikayat melayu menyebutkan,
“setelah sudah jadi negeri itu, maka anjing perburuan yang bernama si Pasai itu pun matilah pada tempat itu. Maka disuruh tanamkan dia di sana juga. Maka dinamai baginda dengan nama anjing itu”. Nama Samudera lama kelamaan disebut sebagai Sumatra, dan menjai nama pulau itu.
Hikayat itu juga menceritakan,

“Suatu ketika Marah Selu bermimpi seseorang memegang dagunya dengan kuat dan matanya ditutup dengan empat jarinya, lalu berkata. ‘hai Marah Selu, katakana olehmu dua kalimat syahadat’. Maka sahut Marah Selu, ‘Tiada hamba tahu mengucap akan hal itu.’ Maka ujarnya, ‘bukakan mulutmu.’ Maka dibukakan mulut Marah Selu, maka diludahinya mulut Marah Selu itu, rasanya lemak manis. Maka ujarnya akan Marah Selu, ‘hai Marah Selu, engkaulah sultan Malik al-Shaleh namamu sekarang. Islamlah engkau dengan mengucapkan dua kalimat itu…”

Sejak itulah, Marah Selu menjadi sultan sebuah kerajaan islam yang bernama Samudera Pasai, dengan gelar sultan malik Al Shaleh. Apa yang terdapat dalam hikayat raja-raja pasai dan Hikayat melayu sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje, Moquccte, Moens, Hushoff Poll, Rouffacr dan Cowan, yang menyebutkan bahwa kerajaan islam Samudera pasai berdiri pada pertengahan abad ke 13, dan pendirinya adalah sultan Malik al-Shaleh. Tempat yang pertama menjadi pusat kerajaan Samudra Pasai adalah muara sungai pasangan. Sungai pasangan adalah sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar sepanjang rute pantai, yang memudahkan perahu-perahu dan kapal-kapal mengayuhkan dayungnya ke pedalaman.

Ada dua kota besar yang berada bersebarangan di muara sungai pasangan itu, yakni kota Pasai dan Samudra. Kota samudra terletak agak lebih ke pedalaman, sedangkan kota Pasai terletak agak lebih ke muara sungai. Sultan Malik al-Shaleh memimpin dan menyatukan kedua wilayah itu.
Kerajaan samudra pasai adalah sebuah kerajaan maritime. Sumber-sumber cina menyatakan bahwa pada awal tahun 1290, kerajaan itu telah mengirim kepada raja Cina duta-duta yang disebut dengan nama-nama muslim, yaknik Husein dan Sulaiman. Dalam kehidupan perekonomiannya, samudra pasai pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia tidak mempunyai basis agrarian, melainkan perniagaan dan pelayaran.
Pengawasan terhadap perniagaan dan pelayaran merupakan sendi-sendi kekuasaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan yang besar dari pajak. Hal itu dibenarkan oleh Tome Pires, wartawan portugis. Ia melaporkan, di pasai pada tahun 1513, setiap kapal yang membawa barang-barang dari barat dikenakan pajak. Ia juga menceritakan bahwa pasai memiliki mata uang drama atau dirham yang berukuran kecil. Adanya mata uang tersebut membuktikan bahwa pada saat itu Samudra Pasai merupakan kerajaan yang makmur.
Ditinjau dari segi geografi dan social ekonomi, Samudra Pasai memang merupakan suatu daerah yang penting, sebagai penghubung antara pusat-pusat perniagaan yang terdapat di kepulauan nusantara, Malaya, India, Cina dan Arab. Posisi yang strategis tersebut menjadikan kerajaan ini pusat perniagaan yang sangat penting.
Mata uang dirham dari Samudera Pasai itu menjadi bukti yang menunjukkan sejarah raja-raja pasai. Sebab, mata uang tersebut menerangkan nama-nama Sultan Alauddin, Sultan Manshur Malik al-Zahir, Sultan Abu Zaid, dan Sultan Abdullah. Pada tahun 1973, ditemukan lagi sebelas mata uang dirham, di antaranya ada yang memuat nama Sultan Muhammad Malik al-Zahir, Sultan Ahmad, dan Sultan Abdullah. Semuanya adalah raja-raja Samudera Pasai pada abad ke 14 dan ke 15. Atas dasar mata uang emas yang pernah ditemukan itu, dapat diketahui nama-nama raja SAmudera Pasai. Berikut nam-nama mereka :
- Sultan Malik al-Saleh (1292 – 1297)
- Sultan Muhammad Malik al-Zahir (1297 – 1326)
- Sultan Mahmud Malik al-Zahir (1326 – 1345)
- Sultan Manshur Malik al-Zahir (1345 – 1346)
- Sultan Ahmad Malik al-Zahir (1346 – 1383)
- Sultan Zainal Abidin Malik al-Zahir (1383 – 1405)
- Sultanah Nahrasiyah (1405 – 1420)
- Sultan Abu Zaid Malik al-Zahir (1420 – 1455)
- Sultan Mahmud Malik al-Zahir (1455 – 1477)
- Sultan Zain al-Abidin (1477 – 1500)
- Sultan Abudullah Malik al-Zahir (1501 – 1513)
- Sultan Zain al-Abidin (1513 – 1524)
Pada tahun 746 H atau 1345 Masehi, Ibnu Batuttah, pengembara asal Maroko, mengunjungi Samudra Pasai dalam perjalanannya dari Delhi ke Cina. Ia menggambarkan bahwa penduduk kota di sana berjumlah sekitar 20 ribu jiwa. Di kesultanan tersebut terdapat istana yang ramai, dengan ratusan ilmuwan dan ulama yang menghidupkan aktivitas pengembangan ilmu pengetahuan. Pada masa itu, sultan yang berkuasa adalah Ahmad Malik al-Zahir (1326 – 1371). Ia mewarisi kekuasaan dari Sultan Muhammad Malik al-Zahir (1297 – 1326)
Berdasarkan berita Ubnu batuttah, juga diketahui bahwa kerajaan samudra pasai ketika itu merupakan pusat studi agama islam dan juga tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negeri islam. Para ulama tersebut berkumpul untuk mendiskusikan masalah-masalah keagamaan dan keduniawian sekaligus. Ibnu Batuttah menyatakan bahwa islam sudah hampir satu abad lamanya disiarkan di sana, sedangkan kaum muslim di sana mengikuti Mazhab Syafi’i.

Namun demikian, ada sumber lain berisi berita yang cenderung berbeda. Ada dua buah naskah lokal yang ditemukan di Aceh, yaitu idah Haqq fi Mantakat Peureula karya Abu Ishaq Makarani dan Tawarikh Raja-raja pasai. Menurut sumber-sumber ini, kerajaan Samudra Pasai sudah berdiri pada tahun 433 H atau 1042 Masehi. Kerajaan yang dikuasi oleh Dinasti Marah Khair ini terus berjaya hingga tahun 607 H atau 1210 masehi. Pada tahun tersebut baginda raja meninggal dunia dan tidak meninggalkan putra. Setelah itu, negeri Samudra pasai menjadi rebutan antara pembesar-pembesar istana.

Keadaan politik yang tidak stabil itu berlangsung kurang lebih 50 tahun. Kondisi itu membaik setelah naiknya Marah Selu, yang kemudian bergelar Malik al-Shaleh. Berbeda dengan Hikayat Raja-raja pasai yang mengatakan bahwa pada mulanya Mara Selu beragama Hindu kemudian baru masuk islam atas bimbingan syekh Ismail, sumber ini menyebutkan bahwa Marah Selu berasal dari keturunan Raja Islam Perlak. Marah Selu juga dikatakan sebagai anak Makhdum Malik Abdullah Marah Seulangan anak Makhdum Malik Ibrahim Marah Silo anak Makhdum malik Mesir Marah Mersa anak Makhdum Malik Ishak marah Ishak anak Sultan Makhdum Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat, Sultan Kerajaan Perlak yang memerintah pada tahun 365 – 402 H atau 976 – 1012 M. Pendukung pendapat ini berpendapat bahwa kerajaan islam pertama nusantara bukanlah Samudera Pasai, melainkan kerajaan Perlak.

Nasib kesultanan Samudera Pasai akhirnya hanya berlangsung hingga tahun 1524. pada tahun 1521, kerajaan tersebut ditaklukkan oleh bangsa Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun. Setelah itu, pada tahun 1524 dan seterusnya, kesulitanan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Mughayat Syah merebut kerajaan ini dan mengusir orang-orang portugis. Samudera pasai kemudian berada di bawah pengaruh kesultanan Islam Aceh yang berpusat di Banda Aceh Darussalam

sumber : Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, M. Hariwijaya, S. S., M.S.i.
Baca Selengkapnya

Situs Sejarah dan Objek Wisata Perlu Dilestarikan

Untuk pengembangan sektor pariwisata di Kabupaten Bireuen, Pemda Bireuen perlu melakukan pendataan berbagai lokasi yang akan dikembangkan dan dilestarikan agar tidak punah nilai-nilai sejarah di Aceh.
Dalam kaitan itu seluruh elemen masyarakat mendukungnya dan menyadari akan pentingnya nilai sejarah, dan memang harus dikembangkan dan masyarakat di Bireuen tidak ada kekeliruan dalam menafsirkan tentang tempat objek wisata itu sendiri.
Masyarakat tidak perlu keliru dalam memahami menyangkut masalah wisata yang akan dikembangkan, sebab seluruh lokasi pariwisata yang akan ditata Pemkab Bireuen, seluruhnya diusahakan bernuansa Islami karena sesuai dengan daerah yang sangat kental memperlakukan syariat Islam, terlebih wilayah Kabupaten Bireuen.
Dalam catatan andalas, salah seorang peneliti dan Pengembangan Wilayah, Aceh Landscape Development Center (Aldec) Ir A Farhan Abus, ketika berkunjung ke Bireuen beberapa waktu lalu kepada andalas menyebutkan, terkait pemahanam masyarakat Bireuen tentang objek wisata yang sering memvonis negative thinking.
“Selama saya melakukan pengkajian dan penilitian di Bireuen, sebagian masyarakat mengartikan tempat wisata itu identik dengan tempat maksiat. Padahal objek wisata itu tidak demikian kenyataannya,” kata Farhan seraya menyebutkan, pemerintah melalui dinas terkait perlu melakukan penyuluhan kepada masyarakat, terutama kepada warga di sekitar lokasi objek wisata yang ingin dikembangkan.
Dijelaskan Ir A Farhan Abus, sesuai dengan kultur dan norma-norma agama, objek wisata di Bireuen dapat dikembangkan melalui objek wisata yang bernuansa islami. Di mana pengelola objek wisata dapat melibatkan masyarakat setempat dengan membuat aturan, serta melibatkan unsur terkait dari pemerintahan untuk pengunjung ke lokasi tempat wisata.
Kabupaten Bireuen kata Farhan, selain memiliki kekayaan alamnya, juga mempunyai objek wisata pantai yang indah serta memiliki beragam objek wisata sejarah dan budaya di sejumlah kecamatan yang belum dikembangkan secara optimal.
“Banyak objek wisata yang seharusnya dapat dikembangkan kembali, seperti Pantai Ujong Blang, Kuala Raja, Pantai Kuala Jangka, Krueng Simpo, Cot Panglima, Situs sejarah Awe Getah, Situs Raja Jeumpa, air terjun di pedalaman Simpang Mamplam dan beberapa objek wisata lainnya,” terang Farhan.
Diakuinya, dengan adanya sarana objek wisata, hal itu akan mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar lokasi, dan dengan adanya wisatawan ke sana berarti akan menambah putaran perekonomian warga di sana.
Farhan Abus yang merupakan sarjana jebolan teknik Pertamanan IPB Bogor itu menambahkan, pemerintah Bireuen tetap komit mngupayakan meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Namun, akibat keterbatasan penyuluhan apa yang akan dilakukan memupunyai kendala dari masyarakat itu sendiri.
Sementara Kepala Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda Olahraga Drs Jamaluddin SE MPd menyebutkan,  sebelumnya semasa Kepala Disdikbudpora masih dijabat Drs Asnawi MPd pihak Disdikbudpora sudah melakukan survey terhadap Barang Cagar Budaya (BCB), situs sejarah dan potensi objek wisata yang akan dikembangkan.
Menurutnya, ke depan pihaknya berupaya terus menggali potensi situs sejarah yang saat ini barangkali nyaris punah dan tidak diketahui oleh generasi penerus bangsa dan pada bulan Oktober 2012 mendatang Bireuen sebagai tuan rumah Festifal Seudati yang menunjukan khas heroisme Aceh.
Disebutkan, pihaknya prihatin dan ke depan terus berupaya mendata seluruh situs sejarah baik ulama kharismatik maupun pahlawan–pahlawan yang berjasa baik daerah maupun nasional seperti Kuburan Raja Jeumpa, Kuburan Tgk Dilapan, Tgk Chiek Peusangan dan berbagai situs sejarah lainnya yang harus diketahui oleh generasi penerus bangsa terutama yang ada di wilayah Kabupaten Bireuen.

sumber : seputaraceh.com (visit this website now)
Baca Selengkapnya

Disbudpar Pamerkan 30 Karya Fotografer

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Banda Aceh, sejak kemarin, memamerkan 30 foto karya 19 fotografer dari seluruh Indonesia, di Taman Putroe Phang Banda Aceh. Kadisbudpar Banda Aceh, Reza Fahlevi mengatakan, ke 30 foto itu adalah nominasi pada Lomba Foto Wisata 2012 dengan tema “Charming Banda Aceh”.

Pameran foto selama dua hari itu dibuka Wakil Wali Kota Banda Aceh yang diwakili Asisten Keistimewaan, Ekonomi dan Pembangunan, Drs Ramli Rasyid MSi. Sementara lomba foto tersebut merupakan agenda tahuan yang dilaksanakan Pemko Banda Aceh dalam tiga tahun terakhir.

Lomba foto tahun ini terlaksana atas kerja sama Pemko Banda Aceh melalui Disbudpar, 5Productions, dan Bomsky Organizer. Kegiatan tersebut juga salah satu upaya mempromosikan wisata Banda Aceh menuju visi Banda Aceh sebagai kota Bandar Wisata Islami dan kota Madani.

“Banda Aceh sebagai ibu kota Provinsi Aceh menjadi barometer terhadap kemajuan wisata di daerah ini. Lomba foto ini salah satu upaya memperkenalkan wisata Aceh melalui fotografi,” kata Reza.

Ketua panitia lomba, Iranda Novandi mengatakan, foto yang dipamerkan itu merupakan hasil seleksi 160 karya yang dikirim 69 fotografer pada Lomba Foto Wisata 2012. Karya foto peserta lomba itu diseleksi oleh tiga fotografer profesional, yakni Tarmizi Harva (fotogarfer Reuters), Bedu Saini (Serambi Indonesia) dan Yo Fauzan (freelance).

Menurutnya, Lomba Foto Wisata Kota Banda Aceh 2012 diikuti para fotografer dari berbaga daerah di seluruh Indonesia seperti Pekan Baru, Jakarta, Malang, Bandung, Bogor dan Medan. “Peserta yang mengikuti lomba foto wisata tahun ini lebih banyak dari tahun lalu, ini berarti event ini telah menjadi perhatian fotografer di luar Aceh,” katanya.


sumber ; aceh.tribunnews.com (visit this website now)
Baca Selengkapnya