Ini Hanya Blog Biasa yang Menyediakan Informasi Hal-hal Menarik Tentang Aceh.
Kuah Pliek-U, Gulai Para Raja
Masakan atau gulai khas Aceh.
Okezine - Template
Mesjid Raya Baiturrahman
Saksi bisu sejarah Aceh.
Okezine - Template
Tari Saman
Satu ciri menarik dari tari Aceh
..
Prev 1 2 3 Next

Wednesday, 25 July 2012


di kawasan ini terdapat makam ulama ulama Aceh abad ke 16, dan dapat dilihat batu batu nisan Aceh yang unik nan indah. kini hanya bisa di kunjungi dengan menaiki boat atau sampan dan pada waktu air laut surut.

sumber : wikimapia.org (Visit This Blog Now)
Baca Selengkapnya

Tari Saman (Salah Satu Tarian Aceh)




Satu ciri menarik dari tari Aceh adalah bahwa ia dilakukan secara berkelompok. Seudati yang heroik dilakukan oleh delapan orang. Saman, sebagian menyebutnya “tari tangan seribu” alias “a thousand hand dance” yang rampak dan dinamis biasanya dilakukan oleh sepuluh orang laki-laki atau sepuluh orang perempuan. Likok Pulok juga demikian, walaupun bisa juga ditarikan delapan atau dua belas orang. Tari Ranub Lampuan yang indah untuk memuliakan tamu biasanya dilakukan oleh enam atau delapan dara Aceh. Tak ada tari Aceh yang dilakukan sendiri alias secara solo.

Apakah karena orang Aceh tidak berani menari sendiri? Rasanya bukan. Karena konon orang Aceh punya keberanian individu yang hebat. Tak kurang Sang Pramoedya mengakuinya. ”Orang Madura beraninya carok, orang Jawa kalau berantam suka tawuran, tapi orang Aceh punya keberanian individual yang luar biasa” begitu kira-kira kata Pram dalam salah satu wawancara menjelang akhir hayatnya.

Saat Perang Aceh, ketika perlawanan pasukan Aceh mulai lemah, pasukan kolonial Belanda sering diamuk pejuang Aceh secara individu sehingga dikenal "Atjehnese murder" (Atjeh-moord). Fenomena yang sama pernah muncul dimasa DOM dan aneka operasi militer serdadu Indonesia di Aceh 1980-an ke atas.

Ciri khas lainnya aneka tarian Aceh adalah adanya syekh (pemimpin) dan kadang-kadang juga aneuk syech, semacam wakil atau asisten dari syech. Ini bisa jadi ada hubungannya dengan kosep imam dan amir dalam Islam yang mempunyai wajah unik tersendiri di Aceh. Bahwa setiap kelompok lebih dari satu orang, harus memilih satu orang pemimpin. Jika dua orang melakukan perjalanan, maka salah satunya dipilih jadi amir perjalanan.

Konsep pemimpin dalam Islam juga mewujud dengan jelas dalam shalat berjamaah yang sangat demokratis dan egaliter, yang konon menjadi sumber inspirasi pencipta Likok Pulok. Siapa saja boleh menghadap Tuhan-nya di barisan terdepan di belakang imam atau bahkan menjadi imamnya. Siapa pun bisa jadi imam asal memenuhi syarat yang dapat dipenuhi siapa saja yang mau belajar dan mengamalkannya. Makmum, pengikut imam, harus ikut gerakan imam. Tapi makmum bisa mengingatkan jika imam lupa. Bila imam, maaf, kentut, siapapun di belakang imam boleh menggantikannya dan imam dengan kesadaran snediri harus mundur. Imam perlu jamaah. Sebaliknya, jamaah tidak jalan tanpa imam. Karena itu, tarian Aceh adalah tarian berjemaah!

Dalam beberapa gerakannya, seperti dalam tari Seudati dan Ranub Lampuan, ”konsep ruang berupa titik-sentral-di-tengah-lingkaran” seringkali muncul. Margaret Kartomi, profesor seni tradisional Nusantara dari Australia menuliskan:

“…the central point-in-a-circle concept of space is believed to have its parallels in Perso-Arabic thinking and points to Aceh's links with Persian, Moghul, Turkish, and Arabic cultures over the past millennium. It governs mosque-centred town planning, some visual art designs and some formations of dancers and musicians who circle around their leader at the centre point.” (Kartomi 2004)

Tak salah rasanya jika kita katakan bahwa tari Aceh adalah salah satu wujud peradaban Aceh. Bagaimana Aceh memandang dirinya di tengah peradaban Persia, Moghul, Turki, dan Arab terlihat dalam konsep ruang tari Aceh. Mewujud juga dalam perencanaan gampong dan kota dimana mesjid adalah titik pusatnya, baik secara fisik maupun mental.

Syeikh, amir, atau imam menentukan gerakan dinamis dan serempak tarian jamaahnya. Maju bersama, mundur, duduk, bersila seperti dalam Saman; berjingkrak, bahkan berlari dengan bersemangat seperti dalam Seudati. Lemah gemulai dan lembut seperti dalam Ranub Lampuan. Dibantu aneuk syeikh, seorang syeikh menentukan irama, emosi, dan gerak para penarinya.

Kerjasama dan saling percaya antara syeikh dengan para penarinya adalah keniscayaan. Tak ada tari Aceh tanpa kerjasama dan saling percaya. Tari kehilangan keindahan dan pesonanya. Coba bayangkan tangan, tubuh, kepala yang saling berbenturan di tengah kegesitan gerakan serempak Tari Saman! Taripun buyar. Taripun kehilangan eksistensinya!

Seperti tarian Aceh, orang Aceh bisa maju dan mempesona jika dia berjamaah. Kelemahannya, setiap jamaah sangat rentan terhadap ”bisikan syeitan”. Jika satu penari khianat karena kepentingan pribadi atau kena rayuan dari luar tarian—dan ini sangat mudah dalam dunia yang makin hedonistik ini, maka rusaklah seluruh tarian. Penari bisa terpengaruh atau dibeli. Kalau satu terbeli, shaf jamaah bolong. Kalau shaf jarang setan bisa lewat!

Seperti tarian Aceh, orang Aceh bisa maju dan bahagia jika syeikh-nya adalah imam yang berilmu, tegas, tapi juga demokratis dan terbuka. Banyak orang Aceh masih menderita sampai sekarang karena Aceh sudah lama kehilagan pemimpin yang bisa memimpin gerak maju rakyatnya. Seperti Tari Saman atau Likok Pulok tanpa syeikh.

Selama ini, pemimpin Aceh juga banyak yang pelupa. Adalah kewajiban rakyat yang tahu untuk mengingatkannya, seperti kewajiban makmum mengingatkan imam yang lupa dalam shalat jamaahnya. Supaya jamaah tidak perlu bubar; supaya tarian tetap rampak mempesona.

Semoga Aceh tidak (lagi) mendapat imam yang suka kentut ketika sedang berjamaah; dan tidak ada (lagi) syeikh yang kehilangan suara di tengah puncak semangat para penarinya. Jika ada, semoga sang imam tahu diri untuk mundur dan ada yang mau maju menggantikannya! (Penulis Saiful Mahdi)

Sumber : www.cangklak.blogspot.com (Visit This Blog)
Baca Selengkapnya

Sejarah Tari Seudati (Salah Satu Tarian Aceh)



Kata seudati berasal dari bahasa Arab syahadati atau syahadatain , yang berarti kesaksian atau pengakuan. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa kata seudati berasal dari kata seurasi yang berarti harmonis atau kompak. Seudati mulai dikembangkan sejak agama Islam masuk ke Aceh. Penganjur Islam memanfaatkan tarian ini sebagai media dakwah untuk mengembangkan ajaran agama Islam. Tarian ini cukup berkembang di Aceh Utara, Pidie dan Aceh Timur. Tarian ini dibawakan dengan mengisahkan pelbagai macam masalah yang terjadi agar masyarakat tahu bagaimana memecahkan suatu persoalan secara bersama. Pada mulanya tarian seudati diketahui sebagai tarian pesisir yang disebut ratoh atau ratoih, yang artinya menceritakan, diperagakan untuk mengawali permainan sabung ayam, atau diperagakan untuk bersuka ria ketika musim panen tiba pada malam bulan purnama.

Dalam ratoh, dapat diceritakan berbagai hal, dari kisah sedih, gembira, nasehat, sampai pada kisah-kisah yang membangkitkan semangat. Ulama yang mengembangkan agama Islam di Aceh umumnya berasal dari negeri Arab. Karena itu, istilah-istilah yang dipakai dalam seudati umumnya berasal dari bahasa Arab. Diantaranya istilah Syeh yang berarti pemimpin, Saman yang berarti delapan, dan Syair yang berarti nyayian.

Tari Seudati sekarang sudah berkembang ke seluruh daerah Aceh dan digemari oleh masyarakat. Selain dimanfaatkan sebagai media dakwah, Seudati juga menjadi pertunjukan hiburan untuk rakyat.

ASAL USUL TARI SEUDATI

Tari Seudati pada mulanya tumbuh di desa Gigieng, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, yang dipimpin oleh Syeh Tam. Kemudian berkembang ke desa Didoh, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie yang dipimpin oleh Syeh Ali Didoh. Tari Seudati berasal dari kabupaten Pidie. Seudati termasuk salah satu tari tradisional Aceh yang dilestarikan dan kini menjadi kesenian pembinaan hingga ke tingkat Sekolah Dasar.

Seudati ditarikan oleh delapan orang laki-laki sebagai penari utama, terdiri dari satu orang pemimpin yang disebut syeikh , satu orang pembantu syeikh, dua orang pembantu di sebelah kiri yang disebut apeetwie, satu orang pembantu di belakang yang disebut apeet bak , dan tiga orang pembantu biasa. Selain itu, ada pula dua orang penyanyi sebagai pengiring tari yang disebut aneuk syahi.

Jenis tarian ini tidak menggunakan alat musik, tetapi hanya membawakan beberapa gerakan, seperti tepukan tangan ke dada dan pinggul, hentakan kaki ke tanah dan petikan jari. Gerakan tersebut mengikuti irama dan tempo lagu yang dinyanyikan. Bebarapa gerakan tersebut cukup dinamis dan lincah dengan penuh semangat. Namun, ada beberapa gerakan yang tampak kaku, tetapi sebenarnya memperlihatkan keperkasaan dan kegagahan si penarinya. Selain itu, tepukan tangan ke dada dan perut mengesankan kesombongan sekaligus kesatria.

Busana tarian seudati terdiri dari celana panjang dan kaos oblong lengan panjang yang ketat, keduanya berwarna putih; kain songket yang dililitkan sebatas paha dan pinggang; rencong yang disisipkan di pinggang; tangkulok (ikat kepala) yang berwarna merah yang diikatkan di kepala; dan sapu tangan yang berwarna. Busana seragam ini hanya untuk pemain utamanya, sementara aneuk syahi tidak harus berbusana seragam. Bagian-bagian terpenting dalam tarian seudati terdiri dari likok (gaya; tarian), saman (melodi), irama kelincahan, serta kisah yang menceritakan tentang kisah kepahlawanan, sejarah dan tema-tema agama.

Pada umumnya, tarian ini diperagakan di atas pentas dan dibagi menjadi beberapa babak, antara lain: Babak pertama, diawali dengan saleum (salam) perkenalan yang ucapkan oleh aneuk syahi saja, yaitu:

Assalamualaikum Lon tamong lam seung,

Lon jak bri saleum keu bang syekh teuku….

Fungsi aneuk syahi untuk mengiringi seluruh rangkaian tari. Salam pertama ini dibalas oleh Syeikh dengan langgam (nada) yang berbeda:

Kru seumangat lon tamong lam seung,

lon jak bri saleum ke jamee teuku….

Syair di atas diulangi oleh kedua apeetwie dan apeet bak. Pada babak perkenalan ini, delapan penari hanya melenggokkan tubuhnya dalam gerakan gemulai, tepuk dada serta jentikan delapan jari yang mengikuti gerak irama lagu. Gerakan rancak baru terlihat ketika memasuki babak selanjutnya. Bila pementasan bersifat perntandingan, maka setelah kelompok pertama ini menyelesaikan babak pertama, akan dilanjutkan oleh kelompok kedua dengan teknik yang berbeda pula.

Biasanya, kelompok pertama akan turun dari pentas. Babak kedua, dimulai dengan bak saman , yaitu seluruh penari utama berdiri dengan membuat lingkaran di tengah-tengah pentas guna mencocokkan suara dan menentukan likok apa saja yang akan dimainkan. Syeikh berada di tengah-tengah lingkaran tersebut. Bentuk lingkaran ini menyimbolkan bahwa masyarakat Aceh selalu muepakat (bermusyawarah) dalam mengambil segala keputusan. Muepakat itu, jika dikaitkan dengan konteks tarian ini, adalah bermusyawarah untuk menentukan saman atau likok yang akan dimainkan.

Di dalam likok dipertunjukkan keseragaman gerak, kelincahan bermain dan ketangkasan yang sesuai dengan lantunan lagu yang dinyanyikan aneuk syahi . Lantunan likok tersebut diawali dengan:

Iiiiii la lah alah ya ilalah…. (secara lambat dan cepat)

Seluruh penari utama akan mengikuti irama lagu yang dinyanyikan secara cepat atau lambat tergantung dengan lantunan yang dinyanyikan oleh aneuk syahi tersebut. Fase lain adalah fase saman . Dalam fase ini beragam syair dan pantun saling disampaikan dan terdengar bersahutan antara aneuk syahi dan syeikh yang diikuti oleh semua penari. Ketika syeikh melontarkan ucapan:

walahuet seuneut apet ee kataheee, hai syam,

maka anek syahi akan menimpali dengan jawaban:

lom ka dicong bak iboih, anuek puyeh ngon cicem subang.

Untuk menghilangkan rasa jenuh para penonton, setiap babak ditutup dengan formasi lanie, yaitu memperbaiki formasi yang sebelumnya sudah tidak beraturan.

Artikel ini dikutip dari berbagai sumber yang terkait. Termasuk wawancara langung dengan salah seorang penari seudati terkemuka di Aceh, Syeh La Geunta.

sumber: http://aamovi.wordpress.com/ dan http://cangklak.blogspot.com (Visit This Blog)

Baca Selengkapnya

Macam-macam Tarian Aceh


Aceh sangat kaya dengan budaya, di antaranya adalah tarian. Berbagai jenis tarian ini dapat kita jumpai pada acara seperti pembukaan suatu acara, acara pernikahan, dan maulid nabi.
Ada beberapa tarian yang ada di Aceh :
1. Tari Seudati
 


Seudati berasal dari kata yahadatin yang mengandung mana pernyataan atau penyerahan diri memasuki agama Islam dengan mengucapkan dua kalima syahadat. Tari Seudati dimainkan oleh 8 orang laki – laki atau 2 orang aneuk syeh (Syahie) yang bertugas mengiringi tarian dengan syair dan lagu. Seluruh gerakan dari seudati berada dibawah pimpinan seorang syeh seudati.

Musik dalam tarian seudati hanya berupa bunyi yang ditimbulkan dari hentakkan kaki kritipan jari penari dan tepukan dada yang diselingi dengan irama syair lagu dari anak. syeh. Didalam tarian seudati jelas tergambar semangat perjuangan dan kepahlawanan serta sikap kebersamaan dan persatuan dengan gerakan lincah dan dinamis.

Tarian seudati pada saat ini selain berfungsi sebagai hiburan rakyat juga merupakan simbol kekayaan seni budaya Aceh Utara sekaligus sebagai media penyampaian pesan – pesan pembangunan kepada masyarakat. Tarian ini juga sering dipertandingkan dikenal dengan istilah Seudati Tunang yang kadang-kadang berlangsung sampai menjelang subuh.

2. Tari Ranup Lampuan


 


Tari Ranup Lampuan adalah salah satu tarian tradisional Aceh yang ditarikan oleh para wanita. Tarian ini biasanya ditarikan untuk penghormatan dan penyambutan tamu secara resmi. Tari Ranub Lampuan dalam bahasa Aceh, berarti sirih dalam puan. Ranub adalah sirih. Puan adalah tempat sirih khas Aceh. Karya tari yang berlatar belakang adat istiadat masyarakat Aceh, khususnya adat pada penyambutan tamu. Secara koreografi tari ini menceritakan bagaimana dara-dara Aceh menghidangkan sirih kepada tamu yang datang, yang geraknya menceritakan proses memetik, membungkus, meletakkannya daun sirih ke dalam puan, sampai menyuguhkan sirih kepada yang tamu yang datang.

3. Tari Saman
 


 


 


Tari Saman adalah sebuah tarian suku Gayo yang biasa ditampilkan untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting dalam adat. Syair dalam tarian Saman mempergunakan bahasa Arab dan bahasa Gayo. Selain itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam beberapa literatur menyebutkan tari Saman di Aceh didirikan dan dikembangkan oleh Syekh Saman, seorang ulama yang berasal dari Gayo di Aceh Tenggara.

4. Tari Guel





Tari Guel adalah salah satu khasanah budaya Gayo di NAD. Guel berarti membunyikan. Khususnya di daerah dataran tinggi gayo, tarian ini memiliki kisah panjang dan unik. Para peneliti dan koreografer tari mengatakan tarian ini bukan hanya sekedar tari. Dia merupakan gabungan dari seni sastra, seni musik dan seni tari itu sendiri.

Tari Guel adalah tarian yang  bercerita tentang Sengeda, Gajah Putih dan sang Putri Sultan, di mana Sengeda (seorang anak muda dari Tanah Gayo) bersama rombongannya menggiring seekor gajah putih yang akan dipersembahkan kepada Putri Sultan di Pusat Kerajaan Aceh Darussalam.Begitu juga dalam pertunjukan atraksi Tari Guel, yang sering kita temui pada saat upacara perkawinan, khususnya di Tanah Gayo, tetap mengambil spirit pertalian sejarah dengan bahasa dan tari yang indah: dalam Tari Guel. Reinngkarnasi kisah tersebut, dalam tari Guel, Sengeda kemudian diperankan oleh Guru Didong yakni penari yang mengajak Beyi (Aman Manya ) atau Linto Baroe untuk bangun dari tempat persandingan (Pelaminan). Sedangkan Gajah Putih diperankan oleh Linto Baroe (Pengantin Laki-laki). Pengulu Mungkur, Pengulu Bedak diperankan oleh kaum ibu yang menaburkan breuh padee (beras padi) atau dikenal dengan bertih.

5. Tari Rapa’i Geleng
 



Rapai adalah salah satu alat tabuh seni dari Aceh. Rapai (rebana) terbagi kepada beberapa jenis permainan, rapai geleng salah satunya. Rapai Geleng dikembangkan oleh seorang anonim Aceh Selatan. Permainan Rapai Geleng juga disertakan gerakan tarian yang melambangkan sikap keseragaman dalam hal kerjasama, kebersamaan, dan penuh kekompakan dalam lingkungan masyarakat.

Terian ini mengekspresikan dinamisasi masyarakat dalam syair (lagu-lagu) yang dinyanyikan, kustum dan gerak dasar dari unsur [tarian meuseukat.] Fungsi dari tarian ini adalah syiar agama, menanamkan nilai moral kepada masyarakat, dan juga menjelaskan tentang bagaimana hidup dalam masyarakat sosial. Rapai geleng pertama kali dikembangkan pada tahun 1965 di Pesisir Pantai Selatan. Saat itu Tarian Rapai Geleng di bawakan pada saat mengisi kekosongan waktu santri yang jenuh usai belajar. Lalu, tarian ini dijadikan sarana dakwah karena dapat membuat daya tarik penonton yang sangat banyak.

Jenis tarian ini dimaksudkan untuk laki-laki. Biasanya yang memainkan tarian ini ada 12 orang laki-laki yang sudah terlatih. Syair yang dibawakan adalah sosialisasi kepada mayarakat tentang bagaimana hidup bermasyarakat, beragama dan solidaritas yang dijunjung tinggi.
Tarian Rapai Geleng ada 3 babak yaitu:
1 Saleum(Salam)
2.Kisah(baik kisah rasul,nabi,raja,dan ajaran agama).
3.Lani (penutup).
6.Tarian Rateb Meusekat

Tari Rateb Meuseukat merupakan salah satu tarian Aceh yang berasal dari Aceh. Nama Rateb Meuseukat berasal dari bahasa Arab yaitu rateb asal kata ratib artinya ibadat dan meuseukat asal kata sakat yang berarti diam.

Diberitakan bahwa tari Rateb Meuseukat ini diciptakan gerak dan gayanya oleh anak Teungku Abdurrahim alias Habib Seunagan (Nagan Raya), sedangkan syair atau rateb-nya diciptakan oleh Teungku Chik di Kala, seorang ulama di Seunagan, yang hidup pada abad ke XIX. Isi dan kandungan syairnya terdiri dari sanjungan dan puji-pujian kepada Allah dan sanjungan kepada Nabi, dimainkan oleh sejumlah perempuan dengan pakaian adat Aceh. Tari ini banyak berkembang di Meudang Ara Rumoh Baro di kabupaten Aceh Barat Daya.

Pada mulanya Rateb Meuseukat dimainkan sesudah selesai mengaji pelajaran agama malam hari, dan juga hal ini tidak terlepas sebagai media dakwah. Permainannya dilakukan dalam posisi duduk dan berdiri. Pada akhirnya juga permainan Ratéb Meuseukat itu dipertunjukkan juga pada upacara agama dan hari-hari besar, upacara perkawinan dan lain-lainnya yang tidak bertentangan dengan agama.

7. Tari Didong
 



Sebuah kesenian rakyat Gayo yang dikenal dengan nama Didong, yaitu suatu kesenian yang memadukan unsur tari, vokal, dan sastra. Didong dimulai sejak zaman Reje Linge XIII. Kesenian ini diperkenalkan pertama kali oleh Abdul Kadir To`et. Kesenian didong lebih digemari oleh masyarakat Takengon dan Bener Meriah.
Sumber : http://dumalana.com (Visit This Blog)
Baca Selengkapnya

Alat Musik Tradisional Aceh

sebagai bagian dari masyarakat Aceh , kita harus mengetahui sejarah termasuk alat-alat musik yang ada di Aceh yang sudah ada sejak dari jaman Kerajaan Jeumpa Aceh,Kerajaan Aceh Darussalam hingga jaman Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Adapun sampai saat ini alat musik yang sudah diketahui yang berlaku dalam masyarakat Aceh dari zaman endatu sampai sekarang ada 10 macam :

Arbab

Instrumen ini terdiri dari 2 bagian yaitu Arbabnya sendiri (instrumen induknya) dan penggeseknya (stryk stock) dalam bahasa daerah disebut : Go Arab. Instrumen ini memakai bahan : tempurung kelapa, kulit kambing, kayu dan dawai


Musik Arbab pernah berkembang di daerah Pidie, Aceh Besar dan Aceh Barat. Arbab ini dipertunjukkan pada acara-acara keramaian rakyat, seperti hiburan rakyat, pasar malam dsb. Sekarang ini tidak pernah dijumpai kesenian ini, diperkirakan sudah mulai punah. Terakhir kesenian ini dapat dilihat pada zaman pemerintahan Belanda dan pendudukan Jepang.

Bangsi Alas

Bangsi Alas adalah sejenis isntrumen tiup dari bambu yang dijumpai di daerah Alas, Kabupeten Aceh Tenggara. Secara tradisional pembuatan Bangsi dikaitkan dengan adanya orang meninggal dunia di kampung/desa tempat Bangsi dibuat. Apabila diketahui ada seorang meninggal dunia, Bangsi yang telah siap dibuat sengaja dihanyutkan disungai. Setelah diikuti terus sampai Bangsi tersebut diambil oleh anak-anak, kemudian Bangsi yang telah di ambil anak-anak tadi dirampas lagi oleh pembuatnya dari tangan anak-anak yang mengambilnya. Bangsi inilah nantinya yang akan dipakai sebagai Bangsi yang merdu suaranya. Ada juga Bangsi kepunyaan orang kaya yang sering dibungkus dengan perak atau suasa.

Serune Kalee (Serunai)

Serune Kalee merupakan isntrumen tradisional Aceh yang telah lama berkembang dan dihayati oleh masyarakat Aceh. Musik ini populer di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar dan Aceh Barat. Biasanya alat musik ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan. Bahan dasar Serune Kalee ini berupa kayu, kuningan dan tembaga. Bentuk menyerupai seruling bambu. Warna dasarnya hitam yang fungsi sebagai pemanis atau penghias musik tradisional Aceh.

Serune Kalee bersama-sama dengan geundrang dan Rapai merupakan suatau perangkatan musik yang dari semenjak jayanya kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap menghiasi/mewarnai kebudayaan tradisional Aceh disektor musik.

Rapai

Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda. Sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi pengiring kesenian tradisional.


Rapai ini banyak jenisnya : Rapai Pasee (Rapai gantung), Rapai Daboih, Rapai Geurimpheng (rapai macam), Rapai Pulot dan Rapai Anak.

Geundrang (Gendang)

Geundrang merupakan unit instrumen dari perangkatan musik Serune Kalee. Geundrang termasuk jenis alat musik pukul dan memainkannya dengan memukul dengan tangan atau memakai kayu pemukul. Geundrang dijumpai di daerah Aceh Besar dan juga dijumpai di daerah pesisir Aceh seperti Pidie dan Aceh Utara. Fungsi Geundrang nerupakan alat pelengkap tempo dari musik tradisional etnik Aceh.


Tambo

Sejenis tambur yang termasuk alat pukul. Tambo ini dibuat dari bahan Bak Iboh (batang iboh), kulit sapi dan rotan sebagai alat peregang kulit. Tambo ini dimasa lalu berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menentukan waktu shalat/sembahyang dan untuk mengumpulkan masyarakat ke Meunasah guna membicarakan masalah-masalah kampung.

Sekarang jarang digunakan (hampir punah) karena fungsinya telah terdesak olah alat teknologi microphone.

Taktok Trieng

Taktok Trieng juga sejenis alat pukul yang terbuat dari bambu. Alat ini dijumpai di daerah kabupaten Pidie, Aceh Besar dan beberapa kabupaten lainnya. Taktok Trieng dikenal ada 2 jenis :

Yang dipergunakan di Meunasah (langgar-langgar), dibalai-balai pertemuan dan ditempat-tempat lain yang dipandang wajar untuk diletakkan alat ini.
jenis yang dipergunakan disawah-sawah berfungsi untuk mengusir burung ataupun serangga lain yang mengancam tanaman padi. Jenis ini biasanya diletakkan ditengah sawah dan dihubungkan dengan tali sampai ke dangau (gubuk tempat menunggu padi di sawah).


Bereguh

Bereguh nama sejenis alat tiup terbuat dari tanduk kerbau. Bereguh pada masa silam dijumpai didaerah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan terdapat juga dibeberapa tempat di Aceh. Bereguh mempunyai nada yang terbatas, banyakanya nada yang yang dapat dihasilkan Bereguh tergantung dari teknik meniupnya.
Fungsi dari Bereguh hanya sebagai alat komunikasi terutama apabila berada dihutan/berjauhan tempat antara seorang dengan orang lainnya. Sekarang ini Bereguh telah jarang dipergunakan orang, diperkirakan telah mulai punah penggunaannya.

Canang

Perkataan Canang dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Dari beberapa alat kesenian tradisional Aceh, Canang secara sepintas lalu ditafsirkan sebagai alat musik yang dipukul, terbuat dari kuningan menyerupai gong. Hampir semua daerah di Aceh terdapat alat musik Canang dan memiliki pengertian dan fungsi yang berbeda-beda.

Fungsi Canang secara umum sebagai penggiring tarian-tarian tradisional serta Canang juga sebagai hiburan bagi anak-anak gadis yang sedang berkumpul. Biasanya dimainkan setelah menyelesaikan pekerjaan di sawah ataupun pengisi waktu senggang.

Celempong

Celempong adalah alat kesenian tradisional yang terdapat di daerah Kabupaten Tamiang. Alat ini terdiri dari beberapa potongan kayu dan cara memainkannya disusun diantara kedua kaki pemainnya.

Celempong dimainkan oleh kaum wanita terutama gadis-gadis, tapi sekarang hanya orang tua (wanita) saja yang dapat memainkannnya dengan sempurna. Celempong juga digunakan sebagai iringan tari Inai. Diperkirakan Celempong ini telah berusia lebih dari 100 tahun berada di daerah Tamiang.


Sumber : http://acehdalamsejarah.blogspot.com (Visit This Blog)
Baca Selengkapnya

Hubungan Sejarah Aceh dengan Tiongkok

Pembangunan Masjid Raya Baiturrahman dilaksanakan oleh seorang pemborong atau kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A Sie



Catatan sejarah tertua dan yang pertama mengenai kerajaan-kerajaan di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatra Utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama Budha. Pada abad ke-13 teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282, diketahui bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsuddin) utusan ke Tiongkok.

Didalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai kota-kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li (Lamuri). Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah catatan terperinci mengenai Aceh modern.

Kerajaan Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah, dimana para pedagang dari berbagai negara mampir dahulu /transit sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok atau Timur Tengah, India.

Kota Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad 13) dan Ibnu Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari Tiongkok. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai ini adalah lada dan banyak diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak barang-barang Tiongkok seperti Sutera, Keramik, dll. diimpor ke Pasai ini. Pada abad ke 15, armada Cheng Ho juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang tertanggal 1409 (Cakra Donya) kepada raja Pasai pada waktu itu .Lonceng Cakra Donya ini telah menjadi benda sejarah kebanggaan orang Aceh hingga sekarang. Lonceng ini juga juga merupakan bukti dan simbol hubungan bersejarah antara Tiongkok dan Aceh sejak abad ke-15.

Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Islam (dan Perlak) yang pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam keseluruh Nusantara pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur Tengah) atau Gujarat (India), yang singgah atau menetap di Pasai.

Dikota Samudra Pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti adanya "kampung Cina", seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri,komunitas Tionghoa telah berada di Aceh sejak abad ke-13. Karena Samudra Pasai ini terletak dalam jalur perdagangan dan pelayaran internasional serta menjadi pusat perniagaan internasional, maka berbagai bangsa asing lainnya menetap dan tinggal disana yang berkarakter kosmopolitan dan multietnis.

Tome Pires menyebutkan bahwa kota Pasai adalah kota penting yang berpenduduk 20.000 orang. Pada tahun 1524 Samudra Pasai ditaklukan oleh Sultan Ali Mughayat Syah dari kerajaan Aceh Darussalam dan sejak itu Samudra Pasai merosot dan pudar pamornya untuk selamanya.

Puncak kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam adalah ketika pada jaman Sultan Iskandar Muda (1607-36), Aceh pada waktu jaman Iskandar Muda ini adalah negara yang paling kuat diseluruh Nusantara. Ia meluaskan wilayah kekuasaannya dan memerangi Portugis, Kesultanan Johor, Pahang dll. Aceh juga merupakan sebuah negara maritim dan sebagai salah satu pusat perdagangan internasional. Banyak pedagang asing singgah dan menetap di Aceh, seperti dari Arab, Persia, Pegu, Gujarat, Jawa, Turki, Bengali, Tionghoa, Siam,Eropah dll.

Di kota kerajaan ini (Banda Aceh sekarang), banyak dijumpai perkampungan- perkampungan dari berbagai bangsa, seperti kampung Cina, Portugis, Gujarat,Arab, Pegu, Benggali dan Eropah lainnya. Kota Aceh ini benar-benar sebuah kota kosmopolitan yang berkarakter internasional dan multietnis. Seperti di Samudra Pasai, Aceh juga banyak menghasilkan Lada yang diekspor ke Tiongkok.

Pada waktu itu orang Aceh juga telah menguasai pembuatan dan pengecoran meriam, oleh karena itu tidak semua meriam yang ada di Aceh adalah buatan luar negeri (seperti meriam buatan Turki atau Portugis). Orang Aceh mendapatkan ilmu pembuatan meriam ini dari orang Tionghoa (Kerajaan Aceh, Denys Lombard). Demikian juga dengan pertenakan sutera yang sudah dikuasai oleh orang Aceh yang kemungkinan besar diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa.

Pengganti Sultan Iskandar Muda adalah mantunya sendiri yang bernama Sultan Iskandar Thani (1636-41). Periode pemerintahan Iskandar Thani ini adalah awal dari kemerosotan Kerajaan Aceh Darussalam, periode pemerintahannya juga sangat singkat. Iskandar Thani tidak melakukan politik ekspansi wilayah lagi seperti mertuanya dan lebih memusatkan kepada pengetahuan dan ajaran Islam.

Pernah pada jaman Sultan Iskandar Thani ini orang Tionghoa dikenakan larangan untuk tinggal di wilayahnya, karena dianggap memelihara babi. Pada jaman Iskandar Thani ini di ibukota kerajaan telah dibangun sebuah taman yang dinamakan "Taman Ghairah", seperti yang dikisahkan dalam buku Bustan us-Salatin karangan Nuruddin ar-Raniry (orang Gujarat, penasihat Sultan, ahli tasawuf). Diceritakan bahwa didalam taman itu telah dibangun sebuah "Balai Cina" (paviliun) yang dibuat oleh para pekerja orang Tionghoa.

Peranan orang Tionghoa dibidang perdagangan di Aceh diperkirakan bertambah besar pada paruh kedua abad ke-17. Selain ada yang tinggal dan berdagang secara permanen di ibukota Aceh ini, ada juga pedagang musiman yang datang dengan kapal layar (10-12 kapal sekali datang) pada bulan-bulan tertentu seperti pada bulan Juli. Kapal- kapal (Jung) Tionghoa tersebut juga membawa beras ke Aceh (impor beras dari Tiongkok). Mereka tinggal dalam perkampungan Cina dekat pelabuhan, yang sekarang mungkin lokasinya disekitar "Peunayong" (Pecinan Banda Aceh).

Bersama dengan kapal itu juga datang para pengrajin bangsa Tionghoa seperti tukang kayu, mebel, cat dll. Begitu tiba mereka mulai membuat koper, peti uang, lemari dan segala macam lainnya. Setelah selesai mereka pamerkan dan jual didepan pintu rumah. Maka selama dua atau dua bulan setengah berlangsunglah "pasar (basar) Cina" yang meriah. Toko-toko penuh sesak dengan barang dan seperti biasanya orang-orang Tionghoa ini tidak lupa juga untuk bermain judi seperti kebiasaannya. Pada akhir september, mereka berlayar kembali ke Tiongkok dan baru kembali lagi tahun depannya. Barang-barang dari Tiongkok ini ada beberapa diantaranya diekspor ke India.(Kerajaan Aceh, Denys Lombard)

Cakra Donya

Lonceng atau genta yang terkenal dan termasyhur (icon kota Banda Aceh) ini sekarang diletakkan di Musium Aceh, Banda Aceh. Lonceng yang dibawa oleh Cheng Ho ini adalah pemberian Kaisar Tiongkok, pada abad ke-15 kepada Raja Pasai. Ketika Pasai ditaklukkan oleh Aceh Darussalam pada tahun 1524, lonceng ini dibawa ke Kerajaan Aceh. Pada awalnya lonceng ini ditaruh diatas kapal Sultan Iskandar Muda yang bernama "Cakra Donya" (Cakra Dunia) waktu melawan Portugis, maka itu lonceng ini dinamakan Cakra Donya.



Kapal Cakra Donya ini bagaikan kapal induk armada Aceh pada waktu itu dan berukuran sangat besar, sehingga Portugis menamakannya "Espanto del Mundo" (teror dunia). Kemudian Lonceng yang bertuliskan aksara Tionghoa dan Arab (sudah tak dapat dibaca lagi aksaranya sekarang) ini diletakkan dekat mesjid Baiturrahman yang berada dikompleks Istana Sultan. Namun sejak tahun 1915 lonceng ini dipindahkan ke Musium Aceh dan ditempatkan didalam kubah hingga sekarang (halaman Musium). Lonceng Cakra Donya ini telah menjadi benda sejarah kebanggaan orang Aceh hingga sekarang. Lonceng ini juga juga merupakan bukti dan simbol hubungan sejarah antara Tiongkok dan Aceh sejak abad ke-15.

Masjid Raya Baiturrahman

Masjid Baiturrahman dibangun oleh pemerintah Belanda sebagai pengganti masjid yang sama namanya yang dihancurkan oleh Belanda sebelumnya pada tahun 1874.Jadi dalam rangka mengambil hati rakyat Aceh, masjid ini dibangun kembali. Peletakan batu pertamanya pada bulan Oktober 1879 dan selesai pada Desember 1881. Arsiteknya adalah seorang Belanda yang bernama Bruins dari Departemen PU.Bahan bangunannya banyak yang di impor dari luar negeri seperti batu pualam dari Tiongkok dan besi jendela dari Belgia.



Pembangunan Masjid Baiturrahman ini dilaksanakan oleh seorang pemborong atau kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A Sie. Bukan saja kontraktornya seorang Tionghoa, para pekerjanya pun hampir sebagian besar terdiri dari pekerja orang Tionghoa yang memiliki ketrampilan khusus, karena bangunan konstruksi dan detailnya cukup rumit. Orang Aceh yang diharapkan dapat bekerja disana ternyata sangat mengecewakan bouwherrnya. (Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Depdikbud, 1991). Pada peristiwa tsunami tahun 2004, bangunan masjid ini berdiri dengan ajaib, kokoh dan tidak mengalami kerusakan yang berarti, walaupun diterjang oleh pasang air laut yang dahsyat.

Tsunami

Pada peristiwa tsunami tahun 2004, banyak warga Tionghoa Aceh yang menjadi korban dan meninggal. Sekitar 6000 orang Tionghoa telah mengungsi ke Medan dan ditampung di kamp Metal. Di kamp pengungsian Medan ini bukan hanya warga Tionghoa saja yang ditampung untuk mendapatkan akomodasi dan perawatan, warga dari etnis lainpun ditampung di kamp-kamp pengungsian tersebut, tanpa perbedaan..



Diperkirakan sekitar 1000 warga Tionghoa meninggal pada waktu peristiwa tsunami itu yang kebanyakan bermukim di "Peunayong" atau pusat perniagaan, perdagangan atau pecinan di Banda Aceh. Mereka juga banyak yang mengeluh, bahwa toko-tokonya ada yang dijarah ketika itu (sekitar 60% pertokoan di Banda Aceh milik warga Tionghoa). Tidak semua warga Tionghoa itu ekonominya berkecukupan atau kaya di Banda Aceh, warga Tionghoa yang miskin pun dapat
dijumpai disana seperti mereka yang tinggal di Kampung Mulia dan Kampung Laksana, yang tak jauh dari Peunayong. Dan tidak semuanya warga Tionghoa dari Banda Aceh ini mengungsi ke Medan, beberapa diantaranya tetap bertahan di Banda Aceh, seperti sepasang suami istri pemilik toko kaca mata "Joy Optikal", dimana separuh pelanggannya telah meninggal dunia. Pemilik toko Jay Optikal, Maria Herawati berkata "Hidup atau Mati, saya akan tetap tinggal di Aceh" (The Christian Science Monitor, February 18, 2005).

Kepedulian komunitas Tionghoa terhadap Aceh dapat dilihat juga dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh berbagai organisasi dan individu Tionghoa pada waktu pasca bencana tsunami dengan memberikan bantuan yang dibutuhkan, termasuk juga warga Tionghoa Indonesia yang bermukim di Amerika Serikat seperti ICCA (Indonesian Chinese American Association) yang berkedudukan di Monterey Park, California serta Organisasai- organisasi Tionghoa lainnya dari Singapore, Malaysia dan Taiwan juga datang memberikan bantuan.

Pemerintah Tiongkok-pun telah mengirimkan 353 kontainer berisi bahan bangunan untuk membangun sekolah di Aceh. Bantuan dengan berat total 7000 ton itu akan dipakai untuk membangun 60 sekolah yang masing-masingnya terdiri dari 15 kelas. Bantuan ini diberikan sesuai dengan permintaan pemerintah Indonesia. Selain itu Dubes Tiongkok untuk Indonesia , Lan Li Jun, mengatasnamakan sumbangan dari rakyat Tiongkok, memberikan sumbangan 12 juta dolar lebih untuk membangun pemukiman baru dengan 660 unit rumah tipe 42 di Desa Neuheuen, kabupaten Aceh Besar. Selain perumahan yang dibangun diatas lahan seluas 22,4 ha itu, akan dibangun juga gedung TK, SD, pertokoan, Puskesmas, balai pertemuan, tempat bermain dan lapangan sepakbola. Perumahan ini nantinya akan dinamakan Kampung Persahabatan Indonesia-Tiongkok.

Pasca tsunami dan rekonstruksi Aceh

Berdasarkan pengalaman yang lalu, seperti pada pasca kerusuhan di Maluku (Ambon, Ternate dan Halmahera), pembangunan kembali atau rehabilitasi suatu daerah pasca bencana, dibutuhkan suatu kegiatan ekonomi untuk benar-benar dapat kembali seperti sedia kala. Adalah tidak cukup hanya terbatas pada rehabilitasi tempat tinggal, prasarana teknis dan sosial lainnya. Memiliki tempat tinggal tetapi tidak ada kegiatan ekonomi, berarti juga tidak memecahkan masalah

Tanpa adanya kegiatan ekonomi atau aktivitas perdagangan, sulit kiranya untuk berjalan normal kembali, seperti kemana rakyat nantinya menjual hasil buminya atau tangkapan ikannya. Secara tradisionil dan sederhana, seorang nelayan misalnya dapat berhutang dahulu kepada seorang pedagang atau Taoke setempat sebelum melaut (untuk mendapatkan bahan bakar, es batu untuk mengawetkan ikan, makanan, sewa perahu, perlengkapan menangkap ikan, dll).

Hasil tangkapannya atau hasil bumi ini biasanya ditampung dan dibeli oleh para pedagang setempat dan sebagian dipergunakan untuk membayar hutang atau uang mukanya kembali. Selebihnya dipergunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari yang disalurkan oleh para pedagang sebagai distributornya, dengan demikian kegiatan ekonomi dapat berjalan lagi. Suka atau tidak suka, model atau interaksi perdagangan inilah yang telah berfungsi sampai sekarang.

Metode canggih dan modern seperti mendapatkan kredit dari Bank Perkreditan Rakyat setempat, relatif sukar untuk dilaksanakan bagi nelayan atau petani kebanyakan, karena prosedur dan birokrasinya berbelit serta makan waktu dan biaya, pada umumnya mereka tidak memiliki aset yang dapat dijadikan agunan atau kolateral, kecuali tenaga kerjanya sendiri. Karenanya Gubernur Maluku telah menghimbau kepada warga Tionghoa yang berasal dari Ambon dan Ternate, untuk kembali kesana untuk menjalankan roda perekonomiannya kembali.

Demikian juga dengan di Aceh, warga Tionghoa dapat berperan menjalankan roda ekonominya kembali di Aceh. Berbeda dengan di Maluku, Aceh banyak menerima bantuan-bantuan dari lembaga Internasional. Tetapi inipun harus dilanjuti dengan suatu kegiatan ekonomi.

Kedudukan Geo-Strategis Aceh

Aceh dikenal sebagai salah satu provinsi yang kaya akan sumber alamnya di Indonesia dan kelebihan Aceh dibandingkan dengan propinsi lainnya di Indonesia adalah lokasinya yang strategis sama seperti pada abad-abad yang lalu. Aceh terletak di jalur lalu lintas pelayaran Internasional atau disebut SLOC (Sea Lines of Communication) yaitu di selat Malaka yang sangat strategis dan merupakan pintu gerbang yang menghubungi lautan Pasifik dengan lautan Hindia.

Selat Malaka yang panjangnya sekitar 900 km itu diliwati sekitar 50.000 kapal setiap tahunnya serta 11 juta barel minyak diangkut oleh kapal tanker melintas selat ini setiap harinya, serta seperempat perdagangan dunia dan 80% kebutuhan minyak Jepang dan Tiongkok diangkut melalui selat ini.

Dari segi geografis, Aceh terletak berdekatan dengan pusat-pusat pertumbuhan baru di abad 21 yaitu Tiongkok dan India. Dengan kedua negara ini, Aceh telah memiliki hubungan perdagangan yang bersejarah sejak beberapa abad yang lalu. Jadi Aceh terletak dipersimpangan jalur perdagangan internasional dan budaya. Karena posisinya yang strategis ini maka Aceh menjadi pusat pertemuan, perhatian dan kepentingan pihak-pihak nasional dan internasional serta negara lainnya. Maka tidak heran kalau negara EU dan negara lainnya berkepentingan menjadi mediator perdamaian di Aceh dan beberapa orang-orang penting seperti Clinton, mantan presiden AS juga datang berkunjung ke Aceh lebih dari satu kali..

Pada perang kemerdekaan 1945, menjelang persetujuan Renville, Belanda meningkatkan blokade ekonominya terhadap Republik Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera. Sejak itu pemerintahan RI melakukan berbagai usaha untuk menembus blokade ini dari Aceh keluar negeri (Malaya, Singapura, Thailand). Selama perang kemerdekaan, Aceh tidak pernah dikuasai Belanda. Dengan demikian Aceh merupakan daerah aman atau basis untuk menampung senjata yang didatangkan dari luar negeri. Dalam hubungan ini seorang Tionghoa, Mayor John Lie beserta kawan-kawannya berhasil menerobos blokade Belanda melalui Aceh dengan mempergunakan speed boat, dan salah satu speed boatnya terkenal dengan nama " The Outlaw".

Sumber : http://www.acehbesarkab.go.id (Visit This Blog)
Baca Selengkapnya

"Inong Balee", Sepanjang Catatan Sejarah Aceh


Kerajaan Aceh Darussalam adalah kerajaan Islam yang berdiri setelah beberapa kerajaan kecil seperti kerajaan Samudra Pasai, kerajaan Pereulak, kerajaan Pedir yang bergabung dibawah Kerajaan Aceh Darussalam. Keberadaan kerajaaan Aceh Darussalam dimulai oleh Sultan Ali Mughayat Syah sebagai pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.

Setelah berdirinya kerajaan ini maka sultan Alaidin Mughayat Syah mulai memperkuat dan memperluas kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam dengan menyerang Portugis di kerajaan Daya (Aceh Jaya sekarang), berikut menyerang Portugis yang ada di kerajaan Pedir (Kabupaten Pidie sekarang), dan setelah itu menyerang Portugis yang ada di kerajaan Samudra Pasai (Geudong Aceh Utara sekarang), berikutnya ke kerajaan Pereulak, kerajaan Beuna, dan kerajan Aru di Sumatra Timur serta malaka di Semenajung Malaysia.

Kerajaan Aceh Darussalam mencapai masa kejayaannya pada masa kepemimpinan sultan Iskandar Muda, namun demikian ada peristiwa menarik pada masa sultan Alauddin Riayat syah Al-Mukammil (yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam mulai 997-1011 H atau 1589-1604 M) dimana pada masa sultan Alauddin Riayat syah Al-Mukammil terjadi pertempuran antara armada selat malaka Aceh dengan armada Portugis. Didalam pertempuran tersebut sultan Alauddin Riayat syah Al-Mukammil memimpin sendiri armadanya dengan dikawal oleh dua orang laksamana.

Pertempuran teluk Haru berakhir dengan hancurnya armada Portugis, sementara dua orang laksamana Aceh bersama seribu prajuritnya syahid, Kemenangan armada Selat Malaka Aceh atas armada Portugis disambut gembira oleh seluruh masyarakat Kerajaan Aceh Darussalam, namun demikian laksamana Malahayati merasa geram dan marah kepada Portugis mestipun peperangan dimenangkan oleh armada Aceh. Laksaman Malahayati adalah istri salah satu laksamana yang syahid dalam perang laut Haru tersebut. Laksamana Malahayati diangkat oleh sultan Alauddin Riayat syah Al-Mukammil menjadi komandan protokol istana Darud Dunia.

Karena geram dan tidak senang terhadap Portugis kemudian Malahayati memohon kepada sultan Alauddin Riayat syah Al-Mukammil agar membentuk sebuah armada Aceh yang prajurit–prajuritnya adalah para wanita janda, dimana suami mereka telah syahid dalam perang teluk haru, permohonan Laksamana Malahayati dikabulkan oleh sultan Alauddin Riayat syah Al-Mukammil dan laksamana Malahayati diangkat sebagai panglima armada tersebut. Armada ini kemudian disebut dengan sebutan armada Inong Balee (armada wanita janda) dengan mengambil teluk Krueng Raya sebagai pangkalan armada.

Bila ditelusuri Keumala Hayati (Laksamana Malahayati), sewaktu muda pernah mendapat pendidikan militer pada pusat pendidikan tentara Aceh yang bernama pusat pendidikan Asykar Baital Makdis. Para instrukturnya, antara lain terdiri dari para perwira Turki Usmani dalam rangka kerja sama dengan kerajaan Aceh Darussalam.

Malahayati memilih pendidikan angkatan laut, karena dalam tubuhnya telah mengalir darah prajurit laut. Ayah dan kakek laksamana Malahayati adalah para prajurit armada perang laut Aceh. Semangat dan kecintaan laksamana Malahayati terhadap laut Aceh dan kebenciannya terhadap Portugis serta kematian suaminya dimedan perang Haru menjadi latar belakang terbentuknya pasukan Inong Balee pada kerajaan Aceh Darussalam yang dibentuk pada masa sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil melalui izin yang diberikan kepada laksaman Malahayati untuk membentuk armada perang yang terdiri dari janda-janda yang telah ditinggalkan oleh suami mereka yang gugur dimedan perang dalam mempertahankan wilayah kerajaan Aceh Darussalam.

Sebelum armada Inong Balee turun Ke arena Perang Para pasukan Inong Balee Ini Diberikan Pelatihan Militer, yang dilatih oleh laksamana Malahayati agar kemudian para Inong Balee ini menjadi mahir dalam mengunakan senjata dan mampu mengendalikan kapal-kapal serta memiliki kemampuan fisik yang kuat sehingga menjadikan pasukan ini menjadi pasukan yang tangguh.

Latihan militer tersebut diberikan di benteng Inong Balee yang sekarang terletak di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar untuk mencapai tempat tersebut kita harus melintas 1 kilo meter dari jalan krueng raya. Keberadaan benteng Inong Balee di tepi jurang dan dibawahnya terdapat pantai dengan batuan karang.

Benteng Inong Balee ini juga berfungsi sebagai benteng pertahanan sekaligus sebagai asrama penampungan para janda yang suaminya telah gugur dalam pertempuran. Selain itu juga digunakan sebagai tempat penempatan logistik perang. Dari posisi dan letak benteng Inong Balee sangatlah strategis sebagai wilayah pertahanan.

Pasukan Inong Balee yang dibentuk oleh sultan Alauddin Riayat syah Al- Mukammil merupakan armada perang yang semua personilnya terdiri dari para janda–janda yang ditinggalkan oleh suaminya, pasukan Inong Balee ini di pimpin oleh laksamana Malahayati.

Nama armada Inong Balee inilah juga yang kemudian menjadi nama sebuah kesatuan dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh yang seluruh anggotanya terdiri dari para perempuan-perempuan Aceh, Baik yang sudah menikah maupun yang masih gadis.

Setelah terbentuknya armada Inong Balee yang terdiri dari para janda, maka berikutnya adalah peran armada ini dalam mempertahankan Kerajaan Aceh Darussalam, armada ini sangat berjasa dalam menjaga laut Aceh dari penjajahan Portugis yang ingin menguasai wilayah Aceh dan mengambil kekayaan Aceh dengan langkah pertama yang coba dirintis yaitu menguasai laut sebagai jalur transportasi pada saat itu.

Salah satu peristiwa yang mengangkat nama Malahayati adalah peristiwa Houtman bersaudara, Ketangguhan armada yang dipimpin oleh laksamana Malahayati membuat portugis dan negara Eropa lainnya risih, karena armada Inong Balee Aceh telah memiliki seratus buah kapal perang, yang setiap kapal dilengkapi dengan meriam-meriam dan lila-lila.



Kapal terbesar dilengkapi dengan lima meriam. Untuk ukuran zaman itu, armada Inong Balee dipandang sebagai armada yang kuat di selat malaka bahkan di samudra Asia Tenggara, seperti yang di jelaskan oleh Deny Lembard dalam bukunya kerajaan Aceh dizaman Iskandar Muda.

Laksamana Malahayati adalah anak dari laksamana Mahmud Syah Bin-Laksamana Muhammad Said Syah, bin Sultan Salahuddin Syah (memerintah Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 936 sampai dengan 945 H atau 1530 sampai dengan 1539 M).

Kegagahan dan ketangguhan Malahayati dan armada nya telah terbukti dimana pada tanggal 21 juni 1599 M pasukan Belanda yang dikepalai oleh Cornelis de houtman dan Frederijk de houtman, diserbu oleh pasukan Inong Balee karena kedua bersaudara yang memimpin pasukannya berkhianat terhadap pemerintahan kerajaan Aceh yaitu dengan menyamarkan kapal perang menjadikannya kapal dagang, oleh sebab itu maka atas kejelian armada Aceh diketahuilah niat Cornelis de houtman dan Frederijk de houtman, sehingga armada Inong Balee menyerang pasukan Belanda tersebut.

Akhirnya Cornelis de houtman mati ditikam oleh laksamana Malahayati dengan rencongnya sedangkan saudaranya Frederijk de houtman ditawan oleh armada Inong Balee dan diserahkan Kerajaan Aceh Darussalam. Seorang penulis wanita, Marie van zeggelen, dalam bukunya: Oud Glorie, antara lain menulis yang diterjemahkan sebagai berikut:

” Dikapal van leeuw telah dibunuh cornelis de houtman dan anak buahnya oleh laksamana malahayati sendiri, sementara sekretaris rahasianya menyerang frederijk de houtman dan ditawan nya serta dibawa kedarat. Davis dan tomkins menderita luka...”

Selain itu di Kerajaan Aceh Darussalam dikenal juga dengan nama sukey Inong kaway istana atau resimen wanita pengawal istana yang dibentuk oleh Sultan Muda Ali Riayatsyah V (Memerintah dalam tahun 1011 sampai dengan tahun 1015 H atau 1604 sampai dengan tahun 607 M). Semuanya terdiri dari wanita, baik yang masih gadis maupun wanita muda yang telah bersuami dan sukey ini dipercaya oleh sultan untuk mengawal kerajaan Darud Dunia.

Hal ini membuktikan bahwa di Aceh telah adanya suatu penghargaan terhadap perempuan, sehingga perempuan selalu mengambil andil di dalam perpolitikan Aceh sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam hingga sekarang. Tidak ada perbedaan yang mendasar antara laki-laki dan perempuan yang ada hanyalah perbedaan bentuk jenis kelamin yang kemudian membedakan fungsi perempuan dalam kehidupan biologis.

Di dalam rentetan sejarah sering terdengar nama-nama besar para wanita Aceh sebagai orang yang berperan secara langsung maupun tidak langsung dalam berbagi upaya perjuangan hak-hak Aceh, misalkan Tengku Fatimah, Pocut Baren, Tengku Fakinah, Pocut Meurah Intan, yang oleh kita perlu mengabadikan semangat perlawanan mereka, Mereka adalah beberapa wanita Aceh yang memperjuangkan Aceh dan masih banyak perempuan lainnya yang setia akan kemerdekaan Aceh dan kejayaan Aceh sebagai negara yang berdaulat.

Tradisi militer perempuan Aceh kemudian terus berkembang hingga sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan Aceh Darussalam Aceh (1607-1636 M), sehingga sampai pada tahun 1873 Belanda memaklumatkan perang dengan kerajan Aceh Darussalam, patriotisme perempuan Aceh yang begitu besar juga terlihat pada masa perang dengan Belanda.

Demikian rindangnya sejarah Aceh, dan peran perempuan Aceh dalam lingkaran sejarah khususnya pasukan inong balee yang telah menyisakan monumen sejarahnya di Aceh. Jika boleh kiranya pemerintah memperhatikan hal ini semua.

***

Mukhsin Rizal, S.Hum adalah alumni Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry
Sumber : www.atjehcyber.net (Visit This Blog)
Baca Selengkapnya

Sejarah Lahirnya GAM (Gerakan Aceh Merdeka)

Bicara GAM (Gerakan Aceh Merdeka), mau tak mau, harus bicara kelahiran negara Republik Indonesia. Sebab, dari situlah kisah gerakan menuntut kemerdekaan dimulai. Lima hari setelah RI diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Dibawah Residen Aceh, yang juga tokoh terkemuka, Tengku Nyak Arief, Aceh menyatakan janji kesetiaan, mendukung kemerdekaan RI dan Aceh sebagai bagian tak terpisahkan. Pada 23 Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan sumpah. ”Demi Allah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya yang terakhir.” Kecuali Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh dan ulama Aceh mengucapkan janji itu. Pukul 10.00, Husein Naim dan M Amin Bugeh mengibarkan bendera di gedung Shu Chokan (kini, kantor gubernur). Teuku Nyak Arief Gubernur di bumi Serambi Mekkah.
Tetapi, ternyata tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka para hulubalang, prajurit di medan laga. Prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI, mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok. Markasnya di daerah Bireuen. Tokoh-tokoh ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M. Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan tak kurang 1.500 orang selama setahun hingga 1946. Tahun 1948, ketika pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh.
Oleh karena kondisi negara terus labil dan Belanda merajalela kembali, muncul gagasan melepaskan diri dari RI. Ide datang dari dr. Mansur. Wilayahnya tak cuma Aceh. Tetapi, meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud Beureueh menentang ide ini. Dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian RI. Sebagai tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana rakyat. Setahun kemudian, 1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia. Uang itu diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.
Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi. Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam. Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo. Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi daerah istimewa.
Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001).
GAM lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin. Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan. Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai tanpa senjata. Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM. Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto.
Miliki Pabrik Senjata dan Berlatih di Libia
Setelah didirikan, GAM mendapat dukungan rakyat. Hubungan dengan dunia internasional terus dibangun. Kekuatan bersenjata pun disusun. Berapa anggota GAM, bagaimana kekuatannya, jaringan internasionalnya, dan dananya?
Masih ingat deadline maklumat pemerintah 12 Mei 2003 lalu. Hingga batas waktu ultimatum, pemerintah tak juga mengeluarkan keputusan sebagai tanda awal operasi militer ke Aceh. Konon, saat itu pemerintah menghitung kekuatan TNI di sana. Ada kekhawatiran, TNI bakal dilibas GAM melalui perang gerilya. Secara tidak langsung, kabar ini menyiratkan ketangguhan kekuatan bersenjata GAM. Sesungguhnya jumlah anggota GAM itu sebagian besar rakyat Aceh. Filosofinya begini. Jika rakyat terus ditindas, maka seluruh rakyat itu akan bangkit melawan. Dan, hal seperti inilah yang terjadi di bumi Serambi Mekah itu. Perlawanan GAM mendapat simpati luar biasa dari rakyat Aceh. Rakyat yang lama ternista dan teraniaya. Sambil berkelakar, Panglima Tertinggi GAM dan Wakil Wali Negara Aceh Tengku Abdullah Syafei (alm) sempat mengatakan, bayi-bayi warga Aceh telah disediakan senjata AK-47 oleh GAM. Mereka akan dididik dan dilatih sebagai tentara GAM dan segera pergi berperang melawan TNI.
Sejatinya, basis perjuangan GAM dilakukan dalam dua sisi, diplomatik dan bersenjata. Jalur diplomasi langsung dipimpin Hasan Tiro dari Swedia. Opini dunia dikendalikan dari sini. Sementara basis militer dikendalikan dari markasnya di perbatasan Aceh Utara-Pidie. Seluruh kekuatan GAM dioperasikan dari tempat ini. Termasuk, seluruh komando di sejumlah wilayah di Aceh dan di beberapa negara seperti Malaysia, Pattani (Thailand), Moro (Filipina), Afghanistan, dan Kazakhstan. Tetapi, kerap GAM menipu TNI dengan cara mengubah-ubah tempat markas utamanya. Di seluruh Aceh, GAM membuka tujuh komando, yaitu komando wilayah Pase Pantebahagia, Peurulak, Tamiang, Bateelik, Pidie, Aceh Darussalam, dan Meureum. Masing-masing komando dibawahi panglima wilayah.
Sejak berdiri tahun 1977, GAM dengan cepat melakukan pendidikan militer bagi anggota-anggotanya. Setidaknya tahun 1980-an, ribuan anak muda dilatih di camp militer di Libia. Saat itu, Presiden Libia Mohammar Khadafi mengadakan pelatihan militer bagi gerakan separatis dan teroris di seluruh dunia. Hasan Tiro berhasil memasukkan nama GAM sebagai salah satu peserta pelatihan. Pemuda kader GAM juga berhasil masuk dalam latihan di camp militer di Kandahar, Afghanistan pimpinan Osama bin Laden. Gelombang pertama masuk tahun 1986, selanjutnya terus dilakukan hingga akhir 1990. Selama DOM, pengiriman tersendat. Tetapi, angkatan 1995-1998 sudah mendapat latihan intensif. Ketika DOM dicabut, prajurit dari Libia ini ditarik ke Aceh. Jumlahnya sekitar 5.000 personel dan dijadikan pasukan elite GAM (semacam Kopassus). Jalur ke Libia memang agak mudah. Dari Aceh, para pemuda Aceh itu dikirim melalui Malaysia lalu menuju Libia. Jalur lainnya dari Aceh lalu ke Thailand menuju Afghanistan dan melanjutkan ke Libia. Dari jalur ketiga, yakni melalui Aceh menuju Filipina Selatan dan ke Libia. Tiga jalur penting ini hampir selalu lolos dari jangkauan petugas imigrasi, polisi, dan patroli TNI-AL. Di era Syafei hingga sekarang dipegang Muzakkir Manaf, personel GAM terdiri atas pasukan tempur, intelijen, polisi, pasukan inong baleh (pasukan janda korban DOM) dan karades (pasukan khusus) serta Lasykar Tjut Nyak Dien (tentara wanita). Wakil Panglima GAM Wilayah Pase Akhmad Kandang (alm) pernah mengklaim, jumlah personel GAM 70 ribu. Anggota GAM 490 ribu. Jumlah itu termasuk jumlah korban DOM 6.169 orang.
Sumber resmi Mabes TNI cuma menyebut sekitar enam ribu orang. Mantan Menhan Machfud MD menyebut 4.869 personel. Dari jumlah itu, 804 di antaranya dididik di Libia dan 115 dilatih di Filipina — Moro. Persediaan senjatanya terdiri atas pistol, senapan, GLM, mortir, granat, pelontar granat, pelontar roket, RPG, dan bom rakitan. Jenis senapan di antaranya AK-47, M-16, FN, Colt, dan SS-1. Dari mana persenjataan itu diperoleh? Ada jalur internasional yang menyuplainya. Sejumlah negara disebut antara lain, gerakan separatis Pattani Thailand, Malaysia, gerakan Islam Moro Filipina, eks pejuang Kamboja, gerakan separatis Sikh India, gerakan Elan Tamil, dan Kazhakstan serta Libia dan Afghanistan. GAM juga membuat pabrik senjata. Di antaranya, di Kreung Sabe, Teunom — Aceh Barat — dan di Lhokseumawe dan Nisau-Aceh Utara serta di Aceh Timur. Jenis senjata yang diproduksi seperti bom, amunisi, senjata laras panjang dan pendek, pabrik senjata ini bisa dibongkar pasang sesuai dengan kondisi medan. Jika akan diserbu TNI, pabrik senjata telah dipindahkan ke daerah lain. Para ahli senjata disekolahkan ke Afghanistan dan Libia.
Senjata-Senjata GAM juga berasal dari Jakarta dan Bandung. Pasar gelap senjata ini dilakukan oleh oknum TNI dan Polri yang haus kekayaan. Bagi GAM, asal ada senjata, uang tidak masalah. Sebab, faktanya GAM ternyata memiliki sumber dana yang sangat besar. Jumlah pembelian ke oknum TNI/Polri ini bisa trilyunan rupiah. Sebuah penggerebekan tahun 2000 oleh Polda Metro Jaya sempat menemukan kuitansi Rp 3 milyar untuk pembelian senjata GAM di pasar gelap dari oknum TNI. Kini, senjata yang dimiliki TNI juga dimiliki GAM. Yang tak dimiliki GAM adalah senjata berat. Sebab, sifatnya yang lamban. Prinsip GAM, senjata itu harus memiliki mobilitas tinggi, mudah dibawa ke mana-mana. Sebab, strategi perangnya yang hit and run. GAM bahkan mengaku memiliki senjata yang lebih modern daripada TNI. Misalnya, senjata otomatis yang dimiliki para karades. Senjata otomatis, berbentuk kecil mungil itu bisa tahan berhari-hari dalam air. Anggota karades inilah yang biasa menyusup ke kota-kota dan menyergap anggota TNI/Polri yang teledor.
Membeli senjata tentu dengan uang melimpah. Sebab, harganya yang tak murah. Lantas, dari mana mereka mendapatkan dana? GAM memiliki donatur tetap dari pengusaha-pengusaha Aceh yang sukses di luar negeri. Di antaranya, di Thailand, Malaysia, Singapura, Amerika, dan Eropa. Dana juga didapatkan dari sumbangan wajib yang diambil dari perusahaan-perusahaan lokal dan multinasional di Aceh. Sebagai gambaran, tahun 2000 lalu, GAM meminta sumbangan wajib kepada seorang pengusaha lokal bernama Tengku Abu Bakar sebesar Rp 100 juta. Abu Bakar diberi surat berkop Neugara Atjeh-Sumatera tertanggal 15 Februari 2000 yang ditandatangani oleh Panglima GAM Wilayah Aceh Rajek Tengku Tarzura. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyebut Pupuk Iskandar Muda pernah menyetor Rp 10 milyar ke GAM untuk biaya keamanan. GAM kerap melakukan gangguan bila tidak mendapatkan sumbangan wajib tersebut. Makanya, setiap bulan, GAM mendapat upeti dari para pengusaha ”sahabat GAM” itu. Sistem komunikasi GAM juga sangat canggih. Sistem komunikasi berlapis dilakukan GAM sebagai benteng pertahanan dan propaganda. Selain handytalky, GAM juga memiliki radio tranking, radar dan telepon satelit. GAM juga memiliki penyadap telepon. Acap kali gerakan TNI/Polri dimentahkan aksi-aksi penyadapan ini. Penggerebekan sering kali gagal total.
Sistem organisasinya yang disusun dengan sistem sel juga membantu GAM survive. Tidak mudah menemukan markas GAM. Meski, ada sebagian anggota GAM yang ditangkap. Antara anggota dan pejabat satu dengan yang lain kadang tidak berhubungan, tidak saling mengenal. Ketua Umum Forum Perjuangan dan Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA) Shalahuddin Al Fatah menuturkan, sejak zaman Belanda, rakyat Aceh memang tidak pernah menang. Tetapi, rakyat Aceh tidak pernah ditaklukkan. Fakta sejarah pula, gerakan rakyat Aceh menentang pusat tidak pernah menang. Tetapi, TNI tidak pernah bisa menaklukkan mereka.

Sumber : http://officialwaru.wordpress.com (Visit This Wordpreess)
Baca Selengkapnya

Sejarah Aceh

Pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang hancur pada abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. Sultan Aceh merupakan penguasa/raja dari Kesultanan Aceh, tidak hanya sultan, di Aceh juga terdapat sultanah (sultan perempuan).
Gelar-Gelar yang Digunakan dalam Kerajaan Aceh
* Tengku
* Tuanku
* Pocut
* Teuku
* Laksamana
* Uleebalang
* Cut
* Panglima Sagoe
* Meurah
Segala Hal Tentang Kerajaan Aceh
* Dalam
* Istana Darut Donya
* Cap Sikureung (cap sembilan)
* Meuligoe
* Gajah Putih
* Pasukan Gajah
Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Dr. Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendricus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.
Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Saat itu, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.
Bangkitnya nasionalisme
Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Moehammad Hasan).
Saat Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari Asia, tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang Jepang untuk membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh. Negosiasi dimulai di tahun 1940. Setelah beberapa rencana pendaratan dibatalkan, akhirnya pada 9 Februari 1942 kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya Jepang ke Aceh membuat Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh.
Awalnya Jepang bersikap baik dan hormat kepada masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh, dan menghormati kepercayaan dan adat istiadat Aceh yang bernafaskan Islam. Rakyat pun tidak segan untuk membantu dan ikut serta dalam program-program pembangunan Jepang. Namun ketika keadaan sudah membaik, pelecehan terhadap masyarakat Aceh khususnya kaum perempuan mulai dilakukan oleh personil tentara Jepang. Rakyat Aceh yang beragama Islam pun mulai diperintahkan untuk membungkuk ke arah matahari terbit di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang di seluruh daerah Aceh. contoh yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu, dekat Lhokseumawe.
Masa Republik Indonesia
Sejak tahun 1976, organisasi pembebasan bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah berusaha untuk memisahkan Aceh dari Indonesia melalui upaya militer. Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun.
Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.
Pasca Gempa dan Tsunami 2004, yaitu pada 2005, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sepakat mengakhiri konflik di Aceh. Perjanjian ini ditandatangani di Finlandia, dengan peran besar daripada mantan petinggi Finlandia, Marti Ahtisaari.

Sumber : wikipedia.com (Visit This Blog)
Baca Selengkapnya

Jejak Sejarah Aceh di Kota Salem, Amerika Serikat (1653 M)


"...Seperti tersembunyi dibalik debu sejarah, tidak banyak yang tahu bahwa Aceh dan Kota Salem, Massachusetts, Amerika Serikat mempunyai hubungan yang sangat erat di masa lampau..."

Oleh Abdul Razak M.H. Pulo (*

Terkhusus dalam hal perdagangan lada. Sanking eratnya, hingga logo Kota Salem pun menggunakan simbol-simbol Aceh. Benarlah Aceh punya sejarah gilang gemilang di masa lalu.

Berawal dari sebuah tag di Facebook oleh teman saya, Safar Manaf, saya tertarik menelusuri lebih lanjut bagaimana hubungan antara Aceh dengan Salem. Atau lebih layak dikatakan hubungan Aceh dengan Amerika Serikat pada waktu itu, mengingat hal-hal yang terjadi di kemudian hari melibatkan Pemerintah Amerika Serikat dibawah pimpinan Presiden Jackson.

Safar Manaf dalam blognya menulis secara singkat mengenai sejarah Kota Salem. Uraian sejarah tersebut bisa diakses dengan mengklik tab “City Seal” (lambang kota) - *disni] pada website kota Salem. Berikut adalah terjemahan versi Safar Manaf terhadap teks tersebut:

“Pada tahun 1654 (Masa pemerintahan Sultanah Safiatu'ddin), Elihu Yale mengirim dua karyawannya ke Atjeh, kerajaan merdeka termegah di Sumatera, untuk menjalankan perdagangan lada. Muatan lada terakhir memasuki Salem, Massachusetts dari Sumatera pada 6 November 1846 (Masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syah), diangkut oleh kapal Lucilla. Salem telah memegang peranan utama dalam perdagangan lada sejak Pemimpin Salem memulai bisnis ini. Begitu pentingnya posisi Salem saat itu, seratus tahun (se-abad) kemudian, orang-orang di Australia masih menyebut biji merica dengan panggilan “lada Salem”.

Lambang Kota Salem, Massachusetts
Kenyataannya, Jika kita menelisik kembali lambang kota Salem, kita akan menemukan gambaran seorang Atjeh.

Pada puncak perdagangan lada, Dewan Kota memerintahkan untuk menciptakan sebuah segel yang menggambarkan “Sebuah kapal yang sedang berlayar, mendekati pantai yang digambarkan dengan seseorang yang berdiri di antara pepohonan di mana kostumnya menunjukkan wilayah tersebut adalah bagian dari Hindia Timur", motto ‘Divitis Indiae usque ad ultimum sinum’ … yang berarti “Menuju pelabuhan terjauh di Timur yang kaya…

George Peabody, anak dari pedagang lada yang disegani, dan dia sendiri juga memiliki kapal pengangkut lada, melukis desain seorang pria memakai serban merah rata, celana panjang merah dan ikat pinggang merah, jubah kuning sebatas lutut dan baju luar warna biru. Tidak ada masyarakat lain di Hindia Timur yang memiliki pakaian semirip ini yang lebih mendekati selain masyarakat Atjeh, dan mungkin itulah maksudnya.

Hanya dokumen resmi kota Salem yang dibenarkan memakai Lambang kota tersebut. Adalah termasuk pelanggaran hukum Negara dan Peraturan Lokal, jika memakai lambang ini pada hal-hal yang tidak berhubungan dengan urusan resmi Kota Salem. Pegawai Kota adalah penjaga Emblem Kota.

Perdagangan, bisnis, di manapun dan kapanpun ternyata menyimpan intrik-intrik yang bisa menghancurkan hubungan yang terbina baik sejak lama. Keinginan untuk mengeruk keuntungan pribadi dan politik dagang telah membuat hubungan Aceh dan Amerika Serikat retak.

Salem Harboroil on canvasFitz Hugh Lane, 1853.Museum of Fine Arts, Boston. 

Aceh pernah digempur Amerika Serikat akibat politik dagang dan provokasi Belanda. Pelabuhan Kuala Batu di Susoh, Aceh Selatan rata dengan tanah. Menurut M Nur El Ibrahimy dalam buku Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh, setiap tahun diangkut sekitar 42.000 pikul atau sekitar 3.000 ton. Pusat perdagangan itu di Pelabuhan Kuala Batu, Susoh.

Dudley L. Pickman (1779–1846)
Sejak tahun 1829, karena harga lada di pasaran internasional merosot, jumlah kapal Amerika yang datang ke pelabuhan Aceh mulai menurun. Di antara kapal yang datang dalam masa kemerosotan ekonomi itu adalah kapal Friendship milik Silsbee, Pickman, dan Stone di bawah pimpinan nakhoda Charles Moore Endicot, seorang mualim yang sering membawa kapalnya ke Aceh.

Pada 7 Februari 1831 kapal Friendship milik Silsbee, Pickman, dan Stone di bawah pimpinan nakhoda Charles Moore Endicot, seorang mualim yang sering membawa kapalnya ke Aceh, berlabuh di pelabuhan Kuala Batu, Aceh Selatan.

Ketika Endicot dan anak huahnya berada di daratan, tiba-tiba kapal tersebut dibajak oleh sekelompok penduduk Kuala Batu. Akan tetapi, dapat dirampas kembali oleh kapal-kapal Amerika yang kebetulan saat itu berada di perairan Kuala dengan kerugian sebesar US $ 50.000 dan tiga anak buahnya terbunuh.

Peristiwa itu kemudian menimbulkan sejumlah tanda tanya. Pasalnya, selama setengah abad menjalin hubungan dagang belum pernah terjadi perompakan seperti itu. Menurut M Nur El Ibrahimy, ada beberapa penyebab terjadinya peristiwa tersebut.

Pertama, peristiwa itu dipicu oleh kekecewaan orang Aceh yang selalu ditipu oleh Amerika dalam perdagangan lada.

Itu hanya satu faktor. Penyebab lain, Belanda berhasil memprovokasi orang Aceh untuk menyerang kapal-kapal Amerika. Tujuannya, Belanda ingin merusak nama baik Kerajaan Aceh sehingga terkesan tidak mampu melindungi kapal asing yang berlabuh di Aceh.

Andrew Jackson for President U.S in 1822
Tentu saja Kerajaan Aceh sibuk memberi klarifikasi. Belakangan, diketahui Belanda yang membayar dan mempersenjatai kapal Aceh yang dinakhodai Lahuda Langkap untuk menyerang kapal Amerika dengan menggunakan bendera Kerajaan Aceh.

Kejadian ini membuat kerugian besar di pihak Amerika Serikat dan beberap kru kapal tewas di tangan perompak. Hal ini menyebabkan kemarahan besar di pihak Amerika.

Senator Nathanian Silsbee, salah seorang pemilik kapal Friendship dan Partai Whip (Partai Republiken) yang beroposisi terhadap pemerintahan Presiden Jackson, sekaligus seorang politikus yang sangat berpengaruh pada masa itu, langsung menyurati Presiden Jackson pada tanggal 20 Juli 1831.

Subuh 6 Februari 1832, sebanyak 260 orang marinir Amerika di bawah pimpinan Shubrick, komandan kapal perang terbaik Amerika saat itu, Potomac, membumihanguskan pelabuhan Kuala Batee, Susoh, Aceh Barat dibawah perintah langsung Presiden Amerika Serikat, Andrew Jackson.

Bagaimanapun, hubungan Kerajaan Aceh dengan Amerika Serikat sudah terbina sejak lama. Dan bukti nyata hubungan tersebut terpatri dalam logo Kota Salem, Massachusetts. Akankah sejarah kejayaan “lada” Aceh kembali terulang? (*/tgj.co.id)

Penulis seorang dokter asal Aceh yang sedang menjalani PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK Unsri, Palembang.

Sumber : http://www.atjehcyber.net (Visit This Blog)
Baca Selengkapnya