Ini Hanya Blog Biasa yang Menyediakan Informasi Hal-hal Menarik Tentang Aceh.
Kuah Pliek-U, Gulai Para Raja
Masakan atau gulai khas Aceh.
Okezine - Template
Mesjid Raya Baiturrahman
Saksi bisu sejarah Aceh.
Okezine - Template
Tari Saman
Satu ciri menarik dari tari Aceh
..
Prev 1 2 3 Next

Monday, 1 October 2012

Tarian Bines Berisikan Dakwah dan Informasi Pembangunan

Tari Bines merupakan tarian tradisional yang berasal dari kabupaten Gayo Lues. Tari Bines merupakan bentuk tarian yang dimainkan oleh 12-14 orang perempuan dengan gerakan mengayunkan tangan dan diikuti irama gerakan badan serta alunan lagu-lagu Gayo yang di bawakan oleh salah satu penari. Mereka menyanyikan syair yang berisikan dakwah atau informasi pembangunan. Para penari melakukan gerakan dengan perlahan kemudian berangsur-angsur menjadi cepat dan akhirnya berhenti seketika secara serentak.

Tari ini juga merupakan bagian dari tari Saman saat penampilannya. Hal yang menarik dari tari Bines adalah beberapa saat mereka diberi uang oleh pemuda dari desa undangan dengan menaruhnya diatas kepala perempuan yang menari.
Baca Selengkapnya

Tarian Tarek Pukat dari Pesisir Pantai

Tarek Pukat merupakan salah satu tarian daerah Aceh yang sangat terkenal.  Tarian ini menceritakan tentang bagaimana kehidupan rakyat Aceh yang tinggal di pesisisr pantai, dimana sebagian besar bermata pencarian sebagai nelayan.

Tarian Tarek Pukat biasanya di tarikan oleh 7 sampai 9 orang wanita, dan 4 atau 5 orang laki-laki yang mengiringi tarian ini. Pada dasarnya, gerakan tarian ini sangatlah sederhana, dan mudah untuk di pelajari, dimana para wanita berdiri dan duduk sambil merangkai rangkaian tali yang mencerminkan jaring ikan, lalu para laki-laki mengiringi tarian ini di belakang para wanita dengan memperagakan gerakan yang mencerminkan seseorang menangkap ikan.

Tarian ini sudah banyak berkembang, baik dari segi gerakan, pakaian adat, maupun aransemen musik yang mengiringinya, namun perubahan-perubahan yang terjadi tidak terlalu mencolok dan tidak melenceng dari bentuk tarian aslinya. Sebagai warisan kebudayaan Aceh, tarian ini harus kita jaga dan kita lestarikan, terutama kepada generasi muda yang kurang mencintai kebudayaan daerah.
Baca Selengkapnya

27 Rider Harley DCI Bandung Berwisata di Aceh Tengah

Sebanyak 27 riders Harley Davidson Club Indonesia (HDCI) Bandung, dalam rangka Sumatera Bike Week, Senin 1 Oktober 2012 tiba di Takengon Kabupaten Aceh Tengah. Kehadiran ke-27 bikers HDCI Bandung ini disambut oleh beberapa club motor di Aceh Tengah pada pukul 18.30 Wib di Paya Tumpi Takengon, dan langsung mengarah ke Mapolres Aceh Tengah, kemudian ke pendopo Bupati dan di sambut dengan tarian tradisional Gayo (tari Guel). Rombongan diterima oleh Pj. Bupati Aceh Tengah, Ir. Mohd Tanwier, MM.
Setelah jamuan makan malam dalam coffee party, Tanwier mengatakan kedatangan club Harley Bandung ini merupakan sebagai momen promosi Aceh Tengah khususnya kopi.

Kang Joni, salah satu bikers yang mengetuai HDCI Bandung mengungkapkan kekagumannya kepada daerah Gayo, karena telah menyambut kedatangan mereka. “Kami tak menyangka sambutan sehebat ini, hal ini merupakan suprise bagi kami semua”, kata Kang Joni. Joni menambahkan, kehadiran club-nya di Takengon merupakan sebuah langkah awal target kunjungan bagi para HDCI lainnya.

Dalam kesempatan ini juga disungguhkan hiburan musik yang dibawakan oleh musisi-musisi muda tanoh Gayo, Pj Bupati juga menyanyikan sebuah lagu Gayo berjudul Deso Ni Uyem diiringi oleh Lut Tawar Grup.
HDCI Bandung direncanakan akan meninggalkan Takengon besok siang, setelah mengunjungi beberapa objek wisata di Aceh Tengah diantaranya Pantan Terong dan kawasan wisata Atu Tamun ditepian Danau Lut Tawar.

HDCI Bandung akan menyusul dengan HDCI lainnya ke Banda Aceh, Sabang, Meulaboh, Medan kemudian kembali ke Jakarta, dalam agenda mereka mengelilingi pulau Sumatera.
Baca Selengkapnya

Dendang Melayu Aceh Tamiang Akan Tampil di Knejpe Festival Denmark

Kelompok musik dendang melayu Aceh Tamiang, bukan saja tampil di arena festival musik daerah dan nusantara, tapi kelompok musik berirama joget tersebut juga akan tampil di negara Denmark.
Kelompok musik dari Sanggar Pucok Suloh, Kecamatan Rantau, Aceh Tamiang, itu dilaporkan akan bertolak ke Denmark pada 3 Oktober 2012 mendatang.

“Pihak penyelenggara, tertarik dengan musik Melayu yang memiliki sejarah dengan jalur pelabuhan yang menghubungkan Sumatera dengan Lautan Hindia,” ujar Humas Sanggar Pucok Suloh, Tengku Shuhada dan menambahkan, mereka tertarik dengan musik melayu Aceh Tamiang.
Katanya, pusat seni budaya negara Denmark, Kulturvaerftet (The Culture Yard) dan Musikhuset Esjbergakan menyelenggarakan festival musik internasional bernama Knejpe Festival pada 13-15 Oktober 2012.

Sanggar Pucok Suloh sendiri tampil di Kota Helsingordan Esbjerg, dengan membawakan 40 lagu ciri khas melayu Tamiang dan Aceh. Disbutkan, Shuhada, musik melayu Tamiang merupakan musik melayu yang dinyanyikan untuk para bangsawan pada zaman kerajaan melayu Tamiang, menceritakan kisah peperangan, kemanusiaan, perdamaian dan nasehat serta para pemuda.

Para pemain sanggar yang tampil, MukhtarLutf (pemainakordion), Teguh Prasetyo Wibowo (Pemain Biola), MakmurEfendi (PemainGendang), Elisa (Vokalis), dan Muhammad Riza Nurdin (Manager tim festival/penterjemah). “Mereka berangkat pada 3 Oktober dan bertolak kembali ketanah air pada 14 Oktober 2012,” ujarnya.

Selama berada di Denmark, para pemusik akan melakukan sejumlah penampilan (konser) seni musik Melayu Tamiang di malam pembukaan, Told Kammeret, konser di Kota Helsingor sekolah, dan di Kota Esbjerg.  

 sumber : www.seputaraceh.com (Visit Now)
Baca Selengkapnya

Tgk.H.Hasan Kruengkalee, Ulama Aceh Sepanjang Masa

Tgk.H.Hasan Kruengkale merupakan nama seorang ulama besar di Aceh. Beliau lahir pada tanggal 15 Rajab tahun 1303 H (18 April 1886) dalam pengungsian di Meunasah Ketembu, kemukiman Sangeue, kabupaten Pidie setelah tiga belas tahun peperangan dahsyat berkecamuk di Aceh antara prajurit kerajaan beserta rakyat Aceh dengan serdadu-serdadu agresor Belanda(A.Hasyimy, 1988). Tgk.H.Hasan Kruengkale dilahirkan disana sewaktu orang tuanya pindah dari Kutaraja(Banda Aceh sekarang) dalam rangka mempertahankan ide-idenya untuk memperjuangkan Islam dari cengkeraman kolonialisme penjajahan kafir Belanda.

Ketika dalam pengasingan tersebut, beliau belajar pengetahuan dasar agama langsung dari kedua orangtuanya sambil berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di daerah pengungsian. Dan setelah mempunyai pengetahuan dasar tentang agama Islam yang memadai, bahasa Arab, sejarah Islam dan lain-lain, pada tahun 1906 M, Tgk H.Hasan Kruengkalee yang telah menjadi remaja berangkat ke Yan, Keudah - Malaysia untuk memperdalam ilmu pengetahuan yang telah beliau pelajari sebelumnya. Beliau dikirim kesana oleh ayahnya untuk melanjutkan pendidikannya di Dayah Yan yang pada waktu itu dipimpin oleh Tgk.H.Muhammad Arsyad, seorang ulama besar yang berasal dari Kerajaan Aceh Darussalam. Tgk.H.Muhammad Arsyad adalah teman pengajian ayahnya dulu sewaktu di Lamnyong. Selain itu, keberangkatan beliau ke Keudah juga atas dorongan Teuku Raja Keumala dan Tgk Syaikh Ibrahim Lambhuk. Disana beliau memperdalam ilmu pengetahuan selama beberapa tahun.

Dayah Yan di Keudah sudah sejak lama menjadi pusat pendidikan Islam di Semenanjung tanah Melayu. Para sultan Kerajaan Aceh Darusssalam mengirim ulama-ulama besar kesana untuk membangun dayah sebagai lembaga pendidikan utama untuk daerah-daerah Tanah Seberang. Setelah menamatkan studinya di Dayah Yan, Tgk H.Hasan Kruengkalee yang telah mempunyai pengetahuan agama dan bahasa arab yang cukup, atas persetujuan gurunya pada tahun 1910 berangkat ke tanah suci dalam rangka menunaikan Ibadah H. serta untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi pada pusat pendidikan Islam di Masjidil Haram Makkah. Disana beliau belajar selama lima tahun, dan yang menjadi gurunya merupakan ulama-ulama besar yang menjadi masyaikh (para guru besar) dalam Masjidil Haram dan sangat terkenal di kota Mekkah. Diantara guru-guru beliau tersebut adalah Syaikh Said Al-Yamani Umar bin Fadil, Syaikh Khalifah, Syaikh Said Abi Bakar Ad-Dimyaty dan Syaikh Yusuf An-Nabhany dan sebagainya.

Setelah menempuh pendidikan sekitar enam tahun di Mekkah, Tgk H.Hasan Kruengkalee pulang ke tanah air. Sekembali beliau tersebut pada tahun 1916 beliau langsung mengambil alih pimpinan Dayah Kruengkalee yang sejak peperangan dengan Belanda tidak terurus lagi. Dengan semangat baru yang dihasilkan dari pendidikan selama bertahun-tahun di Mekkah dan didorong oleh jiwa mudanya Tgk.H.M.Hasan Kruengkalee membangun kembali Dayah tersebut. Dalam waktu singkat, Dayah Kruengkalee telah berubah menjadi pusat pendidikan agama Islam terbesar di Aceh sejajar dengan nama-nama besar lainnya seperti; Dayah Tanoh Abee, Dayah Lambirah, Dayah Rumpet, Dayah Jeureula, Dayah Indrapuri, Dayah Pante Geulima, Dayah Tiro dan Dayah Samalanga,(Shabri A, dkk, Biografi Ulama-Ulama Aceh Abad XX, (Banda Aceh: Dinas Pendidikan Prop.NAD, 2007), hal. 6).

Dalam perkembangan kemudian, Tgk H.Hasan Kruengkalee melalui Dayah yang dikelolanya telah berhasil mencetak banyak kader-kader da’i, pendidik, ulama dan pemimpin umat yang sangat berjasa bagi rakyat Aceh, baik sebagai pembimbing mereka dengan nilai-nilai agama, maupun sebagai pimpinan masyarakat atau sebagai komando dalam jihad fisabilillah melawan agressor Belanda ketika itu. Sebagai lembaga pendidikan Islam, dayah Kruengkalee ini pada dasarnya lebih banyak berperan dibandingkan dengan lembaga pendidikan formal lainnya seperti sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada waktu itu. Sekolah pada waktu itu tidak sanggup mengemban tugas untuk menampung semua lapisan masyarakat, karena ketentuan yang digariskan penjajah Belanda yang membatasi kesempatan bersekolah bagi masyarakat luas atas dasar kepentingan penjajah Belanda.


Menurut berbagai catatan sejarah, sebagian besar ulama-ulama besar generasi tua di Aceh saat ini tercatat pernah menimba ilmu kepada beliau. Mereka tersebar di seantaro Aceh menjadi mercusuar dalam lapangan khazanah keilmuan Islam. Diantara ulama-ulama dari murid-murid Tgk H. Hasan Krueng Kalee, yang cukup terkenal di daerahnya masih masing antara lain dapat disebutkan: Tgk Ahmad Pante, ulama dan imam masjid Baiturrahman Banda Aceh, Tgk Hasan Keubok, ulama dan Qadhi XXVI mukim di Aceh Besar, Tgk M. Saleh Lambhouk, ulama dan imam masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Tgk Abdul Jalil Bayu, ulama dan pemimpin dayah Al-Huda Aceh Utara, Tgk Sulaiaman Lhoksukon, ulama dan pendiri dayah Lhoksukon, Aceh utara, Tgk M. Yusuf Peureulak, ulama dan ketua majlis ulama Aceh Timur, Tgk Mahmud Simpang Ulim, ulama dan pendiri dayah Simpang Ulim, Aceh Timur, Tgk H. Muda Waly Labuhan H., ulama dan pendiri dayah Darussalam, Labuhan Haji Aceh Selatan, Tgk Syeh Mud Blang Pidie, ulama dan pendiri dayah Blang Pidie Aceh Selatan, Syeh Shihabuddin, ulama dan pendiri dayah Darussalam Medan, Sumatera Utara, Kolonel Nurdin, bekas Bupati Aceh Timur, yaitu anak angkat beliau sendiri, Tgk Ishaq Lambaro Kaphee, ulama dan pendiri dayah Ulee Titie(Fauziah, 1988). Murid-murid beliau tersebut pada umumnya mengikuti jejak gurunya, menjadi ulama yang membuka dayah di tempat mereka masing-masing hampir ke seluruh pelosok nanggroe Aceh.

Selain itu, disamping memimpin Dayah Kruengkalee dan usahanya mencetak ulama Aceh pewaris para Nabi, beliau juga termasuk salah seorang putra Aceh yang ikut aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, beliau juga pernah menjadi anggota konstituante Republik Indonesia dari partai Islam Perti. Tgk H.Hasan Kruengkalee juga pernah mengeluarkan fatwa tentang seruan jihad fi sabilillah untuk melawan Belanda pada tanggal 15 Oktober 1945, dalam rangka mempertahankan Negara Republik Indonesia yang ditangani oleh beberapa ulama Aceh lainnya, diantaranya oleh Tgk H.Hasan Krueng Kalee, Daud Beureueh, Tgk Ja’far Lamjabat dan Tgk H.Ahmad Hasballah Indrapuri, keempat ulama besar Aceh tersebut mengeluarkan fatwa bahwa berperang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia adalah perang sabil dan kalau mati hukumnya mati syahid. (Prof. A. Hasjmy, Para Pejuang Kemerdekaan yang Mendukung Pancasila dan Memusuhi Komunisme, hal. 448).

Himbauan jihad diatas, telah menggerakkan masyarakat tampil ke medan perjuangan di tanah Aceh untuk merebut kemerdekaan dan mempertahankannya. Dengan adanya fatwa tersebut diatas, rakyat Aceh telah berjuang selama tahun-tahun dengan revolusi fisik, sehinnga tanah Aceh terbebas dari penjajahan Belanda. Mereka umumnya tergabung dibawah berbagai wadah organisasi perjuangan, misalnya Pusa, pemuda Pusa, kasyafatul Islam, Muhammaddiyah, Pemuda Muhammaddiyah, Perti, Permindo (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia), maupun organisasi-organisasi Islam lainnya. Para pemuda yang telah dibina iman dan semangat jihadnya dalam madrasah-madrasah dan dayah bersama-sama rakyat Aceh lainnya ikut berjuang mempertahankan proklamasi kemerdekaan.

Pada masa itu pula beliau mempersiapkan alat-alat serba mungkin, untuk menghadapi pemberontakan yang terjadi di beberapa tempat diantaranya pemberontakan Bayu di Lhokseumawe tahun 1944 di Lhokseumawe, yang dipimpin oleh salah seorang murid beliau yaitu Tgk Abdul Jalil Bayu dan penyerbuan Blang Bintang untuk melawan Jepang yang menjelang Indonesia merdeka, yang menjadi pimpinannya adalah beliau sendiri. Semua pergerakan yang terjadi baik pada masa penjajahan Belanda maupun penjajahan Jepang terutama pemberontakan yang dipimpin oleh murid-murid beliau adalah atas anjuran beliau sendiri.
Tgk H.Hasan Kruengkalee juga sangat kokoh dalam memegang prinsip yang diajarkan melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad Saw untuk membina kader pendidikan, ulama dan pemimpin Islam yang bertugas melaksankan dakwah Islmiyah dengan hikmah( kebijaksaan), dan pelajaran yang baik serta berbantah dengan cara yang paling baik. Pada tahun 2007, senin 7 Mai, bertepatan dengan 19 Rabiul Akhir 1438 H, sebuah forum tingkat tinggi ulama Aceh menggelar pertemuan kedua di Mesjid Raya Baiturrahman; pada pertemuan yang menghadirkan ratusan ulama Aceh ini menyimpulkan bahwa ada empat ulama Aceh yang telah sampai pada tingkat ma’rifatullah. Keempat ulama itu, masing-masing Syaikh Abdurrauf As-Singkili, Hamzah Fansuri, Tgk H. Muhammad Hasan Kruengkalee dan Tgk Syaikh H.Muhammad Waly Al-Khalidy atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tgk H Muda Waly. Hadir dalam pertemuan tersebut diantaranya adalah: Tgk Jamaluddin Waly, Tgk Natsir Waly, Abu Panton(Abu Ibrahim Panton), Kadis Syari’at Islam Prof Al Yasa’ Abu Bakar dan seratusan ulama Aceh lainnya. Pada pertemuan ini, Prof Syahrizal Abbas dari IAIN Ar-Raniry Banda Aceh bertindak sebagai pemandu acara.

Dengan beberapa catatan diatas, maka Tgk H.Hasan Kruengkalee dapat di katagorikan sebagai ulama besar di Aceh sepanjang masa, karena beliau sejak usia muda sudah merintis pendidikan Islam di Aceh dengan memimpin sebuah lembaga pendidikan islam terbesar dan termashur di Aceh hingga beliau berpulang ke rahmatullah. Disamping posisi beliau sebagai seorang ulama besar di Aceh, saat itu beliau juga dikenal sebagai ulama di Mekkah dengan gelar Syaikh Hasan Al-Falaqy(berdasarkan pengakuan murid-murid beliau yang masih hidup). Beliau tidak hanya menguasai ilmu agama, akan tetapi beliau juga terampil dengan khazanah keilmuan yang lain seperti ilmu falak, sejarah Islam dan sebagainya. Selama di Mekkah, beliau juga mempelajari ilmu tabib(kedokteran), ilmu handasah(arsitektur). Menurut Prof A. Hasjmy, Tgk.H.Hasan Kruengkalee sangat eksis mengadakan pengajian, sebagai juru dakwah, pemberantas bid’ah dan khurafat dan sebagainya. Itulah sepintas sosok beliau yang pada tahun lalu Majlis Pendidikan Daerah(MPD) Aceh memberikan beliau gelar sebagai tokoh pendidikan Aceh.

 sumber : Klick Disini
Baca Selengkapnya