Museum tsutami Aceh yang dibangun oleh beberapa
lembaga yang sekaligus merangkap panitia. Diantaranya Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias sebagai penyandang anggaran
bangunan, Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral (DESDM) sebagai penyandang anggaran
perencanaan, studi isi dan penyediaan koleksi museum dan pedoman
pengelolaan museum), Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)sebagai
penyedia lahan dan pengelola museum, Pemerintah Kotamadya Banda Aceh
sebagai penyedia sarana dan prasarana lingkungan museum dan Ikatan
Arsitek Indonesia (IAI) untuk mengenang peristiwa tsunami yang menimpa
Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004 yang menelan
korban lebih kurang 240,000. Museum ini dibangun pada tahun 2006 diatas
lahan lebih kurang 10,000 persegi yang terletak di Ibukota provinsi
Nanggroes Aceh Darussalam yaitu Kotamadaya Banda Aceh dengan anggaran
dana sebesar kitar Rp 140 milyar. Menurut Eddy Purwanto sebagai Penggagas Museum Tsunami Aceh dari BRR Aceh, Museum ini dibangun dengan 3 alasan:
1. untuk mengenang korban bencana Tsunami2. Sebagai pusat pendidikan bagi generasi muda tentang keselamatan
3. Sebagai pusat evakuasi jika bencana tsunami datang lagi.
Pembangunan museum ini bertujuan tidak
hanya menjadi sebuah bangunan monumen, tetapi juga sebagai objek
sejarah, dimana bangunan ini menjadi tempat pusat penelitian dan
pembelajaran tentang bencana tsunami sebagai simbol kekuatan masyarakat
Aceh dalam menghadapi bencana tsunami. Selain itu bangunan ini
diharapkan menjadi warisan untuk generasi Aceh di masa mendatang sebagai
pesan dan pelajaran bahwa tsunami pernah melanda Aceh yang telah
menelan banyak korban. Bangunan museum ini terdiri dari 4 tingkat dengan
hiasan dekorasi bernuansa islam. Dari arah luar dapat terlihat bangunan
ini berbentuk seperti kapal, dengan sebuah mencu suar berdiri tegak di
atasnya. Tampilan eksterior yang luar biasa yang mengekspresikan
keberagaman budaya Aceh terlihat dari ornamen dekoratif unsur
transparansi elemen kulit luar bangunan. Ornamen ini melambangkan tarian
saman sebagai cerminan Hablumminannas, yaitu konsep hubungan antar manusia dalam Islam.
Pada
lantai 3 Museum Tsunami Aceh, terdapat beberapa fasilitas seperti ruang
geologi, perpustakaan, musalla, dan souvenir. Pada ruang geologi,
pengunjung dapat memperoleh informasi mengenai kebencanaan, bagaimana
gempa dan tsunami terjadi, melalui penjelasan dari beberapa display dan
alat simulasi yang terdapat dalam ruangan tersebut.
Di tingkat akhir gedung Museum Tsunami Aceh, difungsikan sebagai escape building
atau penyelamatan diri ketika tsunami terjadi lagi di masa yang akan
datang. Tingkat atap ini tidak dibuka untuk umum karena mengingat konsep
keselamatan dan keamanan. Dari tingkat atap ini, hampir keseluruhan
daerah kota Banda Aceh dapat terlihat dari atas gedung.
Museum Tsunami Aceh terletak di lokasi tamana sari kota Banda Aceh kira-kira 500 meter dari Masjid Raya Biturahman Banda Aceh.
Fungsi Museum Tsunami Aceh adalah :
1. Sebagai objek sejarah, dimana museum tsunami akan menjadi pusat penelitian dan pembelajaran tentang bencana tsunami.
2. Sebagai simbol kekuatan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami.
3. Sebagai warisan kepada generasi mendatang di Aceh dalam bentuk pesan bahwa di daerahnya pernah terjadi tsunami.
4.
Untuk mengingatkan bahaya bencana gempa bumi dan tsunami yang mengancam
wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia terletak di “Cincin
Api” Pasifik, sabuk gunung berapi, dan jalur yang mengelilingi Basin
Pasifik. Wilayah cincin api merupakan daerah yang sering diterjang gempa
bumi yang dapat memicu tsunami.
Museum tsunami Aceh hingga saat ini masih sangat ramai dikunjungi oleh wisata / pelancong domistik dan manca Negara. Menurut data Statistik Aceh mulai tahun 2010 sampai tahun 2012 peningkatan pengunjung sangat tinggi namun pada tahun 2013 sudah agak menurun. Museum Tsunami Aceh yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Februari 2009. Dan dibuka untuk umum pada 8 Mei 2011 yang di isi dengan 55 koleksi terdiri dari : 7 unit maket, 22 unit alat peraga, dan 26 unit foto ataupun lukisan yang menggambarkan keadaan tsunami di Aceh. dan ketika
memasuki ruang koleksi, suasana mengenang tsunami terusik oleh kondisi
koleksi yang tak sempurna. Sejumlah koleksi, seperti ruang simulasi
gempa, alat peraga rumah tahan gempa dan rumah tak tahan gempa, serta
alat peraga gelombang tsunami. Desain
dan pembangunan Museum Aceh dengan konsep ‘Rumoh Aceh as Escape
Building’ mempunyai beragam filosofi. Pada lantai dasar museum ini
menceritakan bagaimana tsunami terjadi melalui arsitektur yang didesain
secara unik. Pada masing-masing ruangan memiliki filosofi tersendiri
yang mendeskripsikan gambaran tentang tsunami sebagai memorial dari bencana besar yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 silam yang menelan ribuan korban jiwa.
Filosofi dari design Museum Tsunami Aceh segagai berikut:
1. 1. Space of Fear (Lorong Tsunami)
Akses awal lorong Tsunami untuk pengunjung memasuki
Museum Tsunami yang memiliki panjang 30 m dan tinggi hingga 19-23 m
melambangkan tingginya gelombang tsunami yang terjadi pada tahun 2004
silam. Air mengalir di kedua sisi dinding museum, dengan
suara gemuruh air dan cahaya yang remang-remang agak gelap, lembab dan
lorong yang sempit, mendeskripsikan perasaan rasa takut masyarakat Aceh
pada saat tsunami terjadi, yang disebut space of fear.
Setelah berjalan melewati Lorong Tsunami yang panjang 30 m, pengunjung memasuki Ruang Kenangan (Memorial Hall).
Ruangan ini memiliki 26 monitor sebagai lambang dari kejadian tsunami
yang melanda Aceh. Setiap monitor menampilkan gambar dan foto para
korban dan lokasi bencana yang melanda Aceh pada saat tsunami sebanyak
40 gambar yang ditampilkan dalam bentuk slide. Gambar dan foto ini seakan mengingatkan kembali kejadian tsunami yang melanda Aceh atau disebut space of memory
yang sulit di lupakan dan dapat dipetik hikmah dari kejadian tersebut.
Ruang dengan dinding kaca ini memiliki filosofi keberadaan di dalam laut
(gelombang tsunami). Ketika memasuki ruangan ini, pengunjung
seolah-olah tengah berada di dalam laut, dilambangkan dengan
dinding-dinding kaca yang menggambarkan luasnya dasar laut,
monitor-monitor yang ada di dalam ruangan dilambangkan sebagai bebatuan
yang ada di dalam air, dan lampu-lampu remang yang ada di atap ruangan
dilambangkan sebagai cahaya dari atas permukaan air yang masuk ke dasar
laut.
3.3. Space of Sorrow (Ruang Sumur Doa)
Melalui Ruang Kenangan (Memorial Hall), pengunjung akan memasuki Ruang Sumur Doa (Chamber of Blessing).
Ruangan berbentuk silinder dengan cahaya remang dan ketinggian 30 meter
ini memiliki kurang lebih 2.000 nama-nama koban tsunami yang tertera
disetiap dindingnya. Ruangan ini difilosofikan sebagai kuburan massal
tsunami dan pengunjung yang memasuki ruanga ini dianjurkan untuk
mendoakan para korban menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Ruangan ini juga menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhannya (hablumminallah)
yang dilambangkan dengan tulisan kaligrafi Allah yang tertera di atas
cerobong dengan cahaya yang mengarah ke atas dan lantunan ayat-ayat
Al-Qur’an. melambangkan bahwa setiap manusia pasti akan kembali kepada
Allah (penciptanya).
4. 4. Space of Confuse (Lorong Cerobong)
Setelah
Sumur Doa, pengunjung akan melewati Lorong Cerobong (Romp Cerobong)
menuju Jembatan Harapan. Lorong ini didesain dengan lantai yang bekelok
dan tidak rata sebagai bentuk filosofi dari kebingungan dan keputusasaan
masyarakat Aceh saat didera tsunami pada tahun 2004 silam, kebingungan
akan arah tujuan, kebingungan mencari sanak saudara yang hilang, dan
kebingungan karena kehilangan harta dan benda, maka filosofi lorong ini
disebut Space of Confuse. Lorong gelap yang membawa pengunjung
menuju cahaya alami melambangkan sebuah harapan bahwa masyarakat Aceh
pada saat itu masih memiki harapan dari adanya bantuan dunia untuk Aceh
guna membantu memulihkan kondisi fisik dan psikologis masyarakat Aceh
yang pada saat usai bencana mengalami trauma dan kehilangan yang besar.
5. Space of Hope (Jembatan Harapan)
Lorong cerobong membawa pengunjung ke arah Jembatan Harapan (space of hope).
Disebut jembatan harapan karena melalui jembatan ini pengunjung dapat
melihat 54 bendera dari 54 negara yang ikut membantu Aceh pasca tsunami,
jumlah bendera sama denga jumlah batu yang tersusun di pinggiran kolam.
Di setiap bendera dan batu bertuliskan kata ‘Damai’ dengan bahasa dari
masing-masing negara sebagai refleksi perdamaian Aceh dari peperangan
dan konflik sebelum tsunami terjadi. dunia melihat secara langsung
kondisi Aceh, mendukung dan membantu perdamaian Aceh, serta turut andil
dalam membangun (merekontruksi) Aceh setelah bencana terjadi.