Ini Hanya Blog Biasa yang Menyediakan Informasi Hal-hal Menarik Tentang Aceh.
Kuah Pliek-U, Gulai Para Raja
Masakan atau gulai khas Aceh.
Okezine - Template
Mesjid Raya Baiturrahman
Saksi bisu sejarah Aceh.
Okezine - Template
Tari Saman
Satu ciri menarik dari tari Aceh
..
Prev 1 2 3 Next

Thursday, 16 August 2012

Keamanan berikan Kesejukan bagi Wisatawan


BANDA ACEH – Pemerintah Aceh mengundang keterlibatan semua pihak untuk ikut serta mengembangkan sektor pariwisata di provinsi paling barat di Indonesia.”Pemerintah Aceh dan Kabupaten/kota tidak bisa melakukannya sendiri tanpa dukungan semua pihak, khususnya sektor swasta,” kata Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, Drs. T. Setia Budi, Kamis (28/6).
Menurutnya, visit Aceh year 2013 tidak akan sukses jika tidak didukung oleh semua pihak, termasuk oleh media baik cetak maupun elektronik. Selanjutnya adalah adanya jaminan keamanan dan untuk Aceh, kondisi keamananya sudah sangat kondusif.

Namun begitu, dirinya pun sangat mengharapkan kepada media di Aceh untuk bisa memberikan kesejukan kepada masyarakat. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa saat ini di seluruh provinsi Aceh, lebih kurang terdapat 800 buah objek wisata baik itu, objek wisata alam, objek wisata budaya dan objek wisata lainnya. Tanggung jawab untuk menembangkannya ada di Provinsi dan di tingkat Kabupaten/kota, tapi yang jelas, pemerintah tidak bisa melakukannya sendiri bila tidak didukung pihak swasta. Menyambut tahun kunjungan wisata 2013, pihaknya pun berharap semua pihak di Aceh bisa ikut serta menyukseskannya.

sumber : rakyataceh.com (Visit This Website Now)
Baca Selengkapnya

Wisata Religi di Aceh Menyimpan Potensi Besar


Direktur Promosi Pariwisata Dalam Negeri Kemenparekreaf M Faried mengatakan, Aceh masih menyimpan potensi sebagai destinasi wisata religi yang cukup besar.

"Ada banyak hal yang bisa digali dari Aceh, dan daya tariknya terutama dari sisi religi," kata Direktur Promosi Pariwisata Dalam Negeri Kemenparekraf M Faried di Jakarta, hari ini.

Dicontohkan M Faried, beberapa lokasi favorit turis adalah Masjid Agung di Banda Aceh yang bersejarah, Makam ulama besar dunia Syah Kuala, hingga monumen kenangan Museum Tsunami.

Banda Aceh kini menjadi tujuan utama wisatawan yang datang ke Aceh karena sistem akomodasi, tata kota, dan fasilitas pendukung di wilayah itu terus membaik.

"Banda Aceh pascatsunami tata kotanya [semakin] bagus, dan kalau diperhatikan, pengunjung Museum Tsunami hampir dua per tiga-nya wisatawan asing," katanya.

Datangnya turis mancanegara itu juga diperkuat oleh Kepala Dinas Pariwisata Aceh Muhammad Jasman yang mengatakan, pada 2011 jumlah wisatawan mancanegara (wisman) ke daerahnya mencapai 29.500 orang, dan sebanyak 67 persennya berasal dari Malaysia.

"Sebagian besar turis itu melakukan wisata religi di Aceh, sedangkan wisatawan lokal ke Aceh pada 2011 sebanyak 959 ribu pergerakan," katanya.

Ditambahkan Jasman, banyaknya kedatangan turis asing dari Malaysia ke Aceh adalah karena makin meningkatnya jumlah penerbangan langsung ke Banda Aceh serta destinasi wisata religi yang ada.

Jasman berjanji akan terus mengembangkan wisata religi di sana, di antaranya dengan wisata kurban serta pesantren untuk memperluas pilihan wisata religi di Aceh.

Selain wisata religi, Aceh juga memiliki potensial dengan wisata minat khusus lain, seperti Sabang dengan diving, Siemeulue dengan selancar, dan Kuta Cane di Aceh Tenggara dengan wisata sungai.

sumber : http://www.beritasatu.com (Visit This Website Now)
Baca Selengkapnya

Asosiasi Perempuan Bimbing Putri Pariwisata Aceh



LHOKSEUMAWE - Asosiasi Perempuan Aceh (APA) kini terus memberikan bimbingan khusus kepada Cut Rika Keumala, Putri Pariwisata Aceh 2012 sebagai persiapan menjelang keikutsertaannya pada even yang sama tingkat nasional yang berlangsung di Jakarta, September 2012. Cut Rika yang kini tercatat sebagai mahasiswa tehnik sipil Unsyiah ini dinobatkan sebagai Putri Pariwisata Aceh 2012 pada malam final di Taman Budaya Aceh, Banda Aceh, Minggu (8/7) malam.

Ketua APA, Hj Siti Nurillah, kepada Serambi di Lhokseumawe, Minggu (15/7) mengatakan, bimbingan yang dilakukan pihaknya terkait dengan penguatan mental agar Cut Rika lebih berani saat tampil di lomba tingkat nasional nantinya, bimbingan soal bahasa, dan pengetahuan tentang parawisata Aceh.

“Kita juga akan dibimbing lebih khusus Cut Rika tenatng sesi bakat. Karena, biasanya dalam sesi bakat banyak peserta hanya memaparkan tarian Aceh seperti saman. Mungkin, itu sebuah bakat yang sudah biasa dimiliki seorang finalis dimata dewan juri. Hingga kali ini, kita upayakan perwakilan Aceh dapat menampilkan hal-hal yang lain dari biasanya,” jelas Siti.

Ditambahkan, persiapan yang matang ini dilakukan pihaknya bersama dinas terkiat dan panitia merupakan upaya mencapai target untuk utusan Aceh tahun ini, dimana perwakilan Aceh bisa masuk ke lima besar nasional pada even tersebut. “Tahun 2011, perwakilan Aceh, Cut Nyak Dhien yang berangkat tanpa ada persiapan apapun bisa masuk 10 besar. Jadi untuk kali ini perwakilan Aceh tentunya harus lebih bagus,” demikian Ketua APA.

sumber : serambinews.com (Visit This Website Now)
Baca Selengkapnya

Teungku Cik Di Tiro


Teungku Cik DiTiro atau Muhammad Saman, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Teungku Cik Di Tiro (Tiro, Pidie, 1836–Aneuk Galong, 1891), adalah seorang pahlawan dari Aceh. Ia adalah putra dari Teungku Sjech Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Sjech Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun 1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dajah Jrueng kenegerian Tjombok Lamlo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.

Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Teungku Cik Di Tiro sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian kebih dikenal dengan Perang Sabil.

Dengan Perang Sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukan Cik Di Tiro. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Cik Di Tiro dapat merebut benteng Belanda Lambaro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang sudah dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun Cik Di Tiro memakannya, dan akhirnya meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.

Salah satu cucunya adalah Hasan Di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka.

Sumber : http://acehdalamsejarah.blogspot.com (Visit This Website Now)
Baca Selengkapnya

Wow! Kue Tradisional Aceh Diminati di Malaysia


BANDA ACEH - Ketua Majelis Adat Aceh, Badruzzaman Ismail, mengatakan bahwa makanan khas Aceh yang disajikan di hari raya seperti kue bhoi, keukarah dan lainnya juga dibuat oleh orang Malaysia untuk menyambut hari raya Idul Fitri.

“Saya pernah lebaran di Malaysia, dan terkejeut saya lihat banyak sekali kue khas kita di jual di sana. Jika orang lain saja meminatinya kenapa kita malah lupakan,” ujarnya kepada The Atjeh Post, Kamis, 9 Agustus 2012.

Setiap hari raya masyarakat Aceh mempunyai tradisi membuat kue, kue-kue itu nantinya akan dihidangkan kepada para keluarga, sanak saudara dan tamu yang datang. Hal ini kata Badruzzaman sudah menjadi tradisi masyarakat Aceh sejak lama.

Tradisi ini menurutnya adalah tradisi yang sangat baik dan jangan sampai dihilangkan, karena tradisi ini merupakan salah satu bentuk kenduri yang dilakukan oleh masyarakat Aceh pada hari kemenangan.

“Karena itu kendiri, jadi tidak boleh pilih-pilih tamu. Jangan sampai makanan yang enak-enak dikhususkan untuk tamu yang berpangkat atau kaya. Tetapi jika yang datang anak yatim makanan itu dipindahkan, itu tidak dapat pahala,” ujarnya lagi.

Ia juga menghimbang agar masyarakat lebih banyak membuat kue-kue atau makanan tradisional Aceh, untuk menjaga kelestariannya. Hal ini bukan berarti tidak boleh membuat makanan khas daerah lain.

“Tapi makanan sendiri lebih baik untuk dibuat, boleh-boleh saja membuat makanan khas orang asal khas kita sendiri tidak dilupakan,”

sumber :http://atjehpost.com (Visit Website Now)
Baca Selengkapnya

Tradisi Aceh: "Makmeugang"

RAKYATACEH.COM - Bulan ramadhan bagi masyarakat Aceh dipandang sebagai pangule buleun (raja dari segala bulan). Begitu juga dihari-hari bulan Ramadhan dikenal dengan uroe get, buleun get (hari baik, bulan baik). Sebelum masuk bulan ramadhan itu, diawali dengan tradisi uroe makmeugang atau uroe siemusi (hari memotong hewan) oleh masyarakat Aceh.

Makmeugang bagi masyarakat Aceh sudah menjadi tradisi sejak lama. Dirumah-rumah warga dari 23 kabupaten/kota di Aceh, harus ada masakan daging sebagai lauk. Baik itu daging sapi maupun daging kerbau. Tentunya, bagi rakyat Aceh daging makmeugang merupakan makanan spesial, yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.

Sebagian dari suka cita menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, masyarakat Aceh merayakan dengan tradisi memasak daging hewan. Selain itu, ibu-ibu rumah tangga juga mempersiapkan makanan khas Aceh berupa timphan, leumang dan ketupat.

Tradisi hari meugang itu di Aceh sudah menjadi budaya yang tidak dapat dipisahkan saat menyambut bulan ramadhan, hari raya idul fitri dan hari raya idul adha.

Para ibu rumah tangga bersama keluarganya kini mulai sibuk mengumpulkan dan meracik bumbu masakan saat hari makmeugang nantinya. Seperti daging rendang, kuah putih, kuah merah, daging goreng, daging panggang dan masakan lainnya. Tidak hanya itu, uroe makmeugang kini menjadi pembicaraan hangat masyarakat Aceh seperti dimeunasah, warung kopi dan disetiap rumah tangga.

Umumnya, yang dibicarakan adalah harga daging meugang yang dijual dipasar. Namun, jika harga daging mahal saat meugang nantinya, tradisi yang sering dilakukan yakni daging yang dibeli secara angsuran (sie meuripe). Hal itu sudah sering dilakukan masyarakat Aceh, membeli daging tanpa membayar didepan tapi bisa pembayaran secara angsuran. “Bagi kita orang Aceh, tradisi makmeugang itu sering diartikan sebagai kehormatan dan kegagahan laki-laki atau suami,”ucap M. Yasin (45) salah seorang warga Lhokseumawe, kepada Rakyat Aceh, kemarin.

Menurut dia, jika seorang suami atau anak laki-laki (sudah kerja,red) tidak dapat membawa pulang daging meugang kerumah, rasanya tidak berani pulang. Apalagi, di hari meugang itu semua rumah warga di Aceh baik kaya maupun miskin tercium masakan daging meugang.
Akan tetapi, sangat sedih jika tidak ada keluarga yang tidak dapat membawa pulang daging makmuegang ke rumah. “Dulu saya pernah tidak ada uang untuk membeli daging meugang, sehingga terpaksa berutang kepada teman, agar istri, anak dan orang tua bisa menikmati daging meugang,”ucapnya. Terlebih lagi, anak yang masih usai sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, menjelang meugang itu pasti menanyakan berapa kilogram ayah membeli daging meugang.

“Jika kita tidak sanggup membeli daging muegang, pasti sangat sedih rasanya karena rumah tetangga kita tercium masakan daging,”ujarnya. Sehingga berbagai upaya harus dilakukan, asal bisa membawa pulang daging meugang, walaupun hanya satu kilo. Lain halnya yang disampaikan Ibrahim (50) warga Muara Dua Lhokseumawe. Menurutnya, seorang istri atau ibu rumah tangga akan merasa malu dan sedih jika ia tidak memasak daging muegang untuk keluarganya. Namun, sebaliknya seorang istri akan berbangga hati dan bahagia apabila mereka bisa menghidangkan daging meugang sebagai menu untuk makanan. Padahal, mereka rela berlama-lama didapur demi memasak daging meugang tersebut.

Sementara bagi laki-laki yang baru menikah menjelang bulan ramadhan ini, tradisi makmeugang bisa menjadi hari yang paling spesial buat istrinya, orang tua serta mertuanya. Dan bisa menjadi hari yang memalukan jika tidak dapat membawa pulang daging makmeugang kerumah. Bahkan, dalam tradisi masyarakat Aceh, dikenal jika sebuah keluarga sudah mempunyai menantu laki-laki maka kewajiban untuk membawa pulang daging makmeugang berada dipundaknya. Karena tradisi makmeugang dalam menyambut bulan suci Ramadhan merupakan sebuah refleksi kegagahan pria Aceh dihadapan istri dan keluargnya.

Tentunya, makmeugang yang dilaksanakan sebelum puasa merupakan sebagai upaya untuk mensyukuri datangnya bulan Ramdhan yang penuh berkah. Tradisi makmeugang secara jelas telah menunjukkan bagaimana masyarakat Aceh mengapresiasi dirinya menyambut hari-hari besar Islam. Tradisi ini, juga telah mempererat relasi sosial dan kekerabatan di sesama masyarakat. Dengan demikian, masyarakat Aceh pada hari itu disibukkan dengan berbagai kegiatan untuk memperoleh daging, memasak, dan menikmatinya secara bersama-sama keluarga.

Pentingnya tradisi makmeugang ini, seolah-olah jadikan sebagai perayaan dan menjadi sebuah kewajiban budaya bagi masyarakat di Provinsi Aceh. Pada hari makmeugang itu, akan berlangsung pertemuan silaturrahmi sesama keluarga di rumah dan saudara yang baru saja pulang dari perantauan. Terlebih lagi, hari-hari biasa masyarakat Aceh hanya menikmati lauk pauk dari darat ,sungai dan laut. Namun, ketika menyambut hari makmeugang dapat dirasakan kebahagian dan paling istimewa bagi masyarakat Aceh, karena dapat menikmati hindangan daging sapi atau lembu.

Dari zaman dahulu hingga sekarang, kebiasaannya bagi orang-orang kaya dan mampu di Aceh saat hari makmeugang itu, membagikan daging sapi kepada fakir miskin. Hal itu dilakukan sebagai salah satu cara untuk memberikan sedekah dan membagikan sedikit kekayaannya bagi yang tidak mampu. Tentunya, tradisi itulah yang masih sering dilakukan oleh sebagian orang-orang kaya di Aceh. Dan mengundang anak yatim kerumah untuk dapat menikmati daging makmeugang, seperti anak-anak lain yang masih punya orang tua. Itu semua dilakukan, sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat rezeki selama dalam setahun yang diberikan oleh Allah SWT.
Baca Selengkapnya

Bahasa Aceh 11


Assalamualaikum, Jumpa Lagi di Edisi “Kamus Bahasa Aceh”, untuk kali ini Penulis akan menerbitkan postingan mengenai kosa kata bahasa Aceh untuk pembaca yang ingin belajar bahasa Aceh. Belajar bahasa Aceh sungguh mudah sekali, tidak perlu dihafal tapi cukup diingat dan dipraktekkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Insyaallah bisa membantu anda berkunjung ke Aceh dalam rangka Visit Aceh 2013.
Meja = meh
Kursi = bangku
Piring = pingan
Gelas = glah
Sendok = canca
Garpu = garpu
Panci = panic
Nasi = bu
Hidangan = idangan
Kuah = kuwah
Air putih = ie puteh
Kopi = kupi
Susu = susu
Teh = te
Timba = tima
Gayung = gayoeng
Mangkok = mangkok
Tempayan = guci
Teko = ceuriek
Asbak = asbak
Kamus Bahasa Aceh ini cuma penulis translitkan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Aceh secara umum. Karena keterbatasan Bahasa Aceh lainnya seperti Gayo, Alas, Singkil, Haloban dll penulis menerima sumbangan tulisan dari pembaca bisa dishare di facebook.

Baca Selengkapnya

Bahasa Aceh 10


Assalamualaikum, Jumpa Lagi di Edisi “Kamus Bahasa Aceh”, untuk kali ini Penulis akan menerbitkan postingan mengenai kosa kata bahasa Aceh untuk pembaca yang ingin belajar bahasa Aceh. Belajar bahasa Aceh sungguh mudah sekali, tidak perlu dihafal tapi cukup diingat dan dipraktekkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Insyaallah bisa membantu anda berkunjung ke Aceh dalam rangka Visit Aceh 2013.
Gila = pungo
Warah = warah
Lemah = lumoh
Kuat = teuga
Terang = trang
Gelap = seupot
Kecil = ubeuet
Besar = rayeuk
Ringan = phui
Berat = brat
Banyak = leu
Sedikit = diit
Manis = mameh
Asin = masen
Asam = masam
Pahit = phet
Lezat = mangat
Lucu = lucu
Tawar = tabeue
Bau = be
Kamus Bahasa Aceh ini cuma penulis translitkan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Aceh secara umum. Karena keterbatasan Bahasa Aceh lainnya seperti Gayo, Alas, Singkil, Haloban dll penulis menerima sumbangan tulisan dari pembaca bisa dishare di facebook.


Baca Selengkapnya

Bahasa Aceh 9


Assalamualaikum, Jumpa Lagi di Edisi “Kamus Bahasa Aceh”, untuk kali ini Penulis akan menerbitkan postingan mengenai kosa kata bahasa Aceh untuk pembaca yang ingin belajar bahasa Aceh. Belajar bahasa Aceh sungguh mudah sekali, tidak perlu dihafal tapi cukup diingat dan dipraktekkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Insyaallah bisa membantu anda berkunjung ke Aceh dalam rangka Visit Aceh 2013.
Marah = beungeih
Curang = ku’eh
Mengundang = undang
Berkumpul = meukumpoi/meusapat
Bertemu = meurumpok
Berpisah = meupisah
Datang = troeh
Pergi = jak
Menunggu = preh
Sampai = troek
Memberi = jok/bie
Menerima = teurimong
Meminta = meulake
Setuju = seutuju
Duduk = duek
Berdiri = doing
Bangun = beudoh
Jatuh = rheot
Tolak = tulak
Tarik = tarek
Kamus Bahasa Aceh ini cuma penulis translitkan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Aceh secara umum. Karena keterbatasan Bahasa Aceh lainnya seperti Gayo, Alas, Singkil, Haloban dll penulis menerima sumbangan tulisan dari pembaca bisa dishare di facebook.


Baca Selengkapnya

Bahasa Aceh 8


Assalamualaikum, Jumpa Lagi di Edisi “Kamus Bahasa Aceh”, untuk kali ini Penulis akan menerbitkan postingan mengenai kosa kata bahasa Aceh untuk pembaca yang ingin belajar bahasa Aceh. Belajar bahasa Aceh sungguh mudah sekali, tidak perlu dihafal tapi cukup diingat dan dipraktekkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Insyaallah bisa membantu anda berkunjung ke Aceh dalam rangka Visit Aceh 2013.

Naik = ek
Turun = troen
Tinggi = panyang
Usang = useung
Dalam = lhoek
Dangkal = dheue
Bening = jeuringeh
Keruh = meukrue
Tumpul = tumpoi
Tajam = tajam
Penuh = punoh
Kosong = soh
Rapat = krap
Jarang = jareung
Sisa = teumoen
Utuh = lagee sot
Putus = putoh
Sambung = sambong
Pasang = paseung

Kamus Bahasa Aceh ini cuma penulis translitkan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Aceh secara umum. Karena keterbatasan Bahasa Aceh lainnya seperti Gayo, Alas, Singkil, Haloban dll penulis menerima sumbangan tulisan dari pembaca bisa dishare di facebook.

Baca Selengkapnya

Bahasa Aceh 7


Assalamualaikum, Jumpa Lagi di Edisi “Kamus Bahasa Aceh”, untuk kali ini Penulis akan menerbitkan postingan mengenai kosa kata bahasa Aceh untuk pembaca yang ingin belajar bahasa Aceh. Belajar bahasa Aceh sungguh mudah sekali, tidak perlu dihafal tapi cukup diingat dan dipraktekkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Insyaallah bisa membantu anda berkunjung ke Aceh dalam rangka Visit Aceh 2013.
Ambil = cok
Halus = haloeh
Tebal = teubai
Tipis = tipeih
Putih = puteh
Hitam = hitam
Enak = mangat
Basah = juem
Kering = thoe
Lapar = deuk
Kenyang = troe
Bengkok = kuwieng
Busuk = broek
Wangi = harom
Tusuk = top
Ketemu = meurumpok
Lepas = peulheuh
Cabut = suet
Benar = beutoi
Lulus = luloih
Kamus Bahasa Aceh ini cuma penulis translitkan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Aceh secara umum. Karena keterbatasan Bahasa Aceh lainnya seperti Gayo, Alas, Singkil, Haloban dll penulis menerima sumbangan tulisan dari pembaca bisa dishare di facebook.

Baca Selengkapnya

Bahasa Aceh 6


Assalamualaikum, Jumpa Lagi di Edisi “Kamus Bahasa Aceh”, untuk kali ini Penulis akan menerbitkan postingan mengenai kosa kata bahasa Aceh untuk pembaca yang ingin belajar bahasa Aceh. Belajar bahasa Aceh sungguh mudah sekali, tidak perlu dihafal tapi cukup diingat dan dipraktekkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Insyaallah bisa membantu anda berkunjung ke Aceh dalam rangka Visit Aceh 2013.
Berantakan = Meusiseu
Ringkas = Singkat
Silakan = Silakan
Jangan = bek
Kempes = ciep
Kencang = keutat
Bukan = kon
Iya = nye
Mentah = mutah
Duluan = dilee
Belakangan = dilikoet
Dahulu = dilee
Sekarang = jinoe
Murah = murah
Mahal = meuhai
Dingin = leupie
Tabur = sipreuk
Telunkup = teuleungkop
Terlentang = teulinteung
Terkulai = meukulek


Kamus Bahasa Aceh ini cuma penulis translitkan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Aceh secara umum. Karena keterbatasan Bahasa Aceh lainnya seperti Gayo, Alas, Singkil, Haloban dll penulis menerima sumbangan tulisan dari pembaca bisa dishare di facebook.

Baca Selengkapnya

Sejarah Teungku Chik Di Awe Geutah




Di Desa Awe Geutah, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Kabupaten Bireuen, ada rumah adat asli Aceh yang masih berdiri kokoh walau usianya sudah ratusan tahun lamanya. Namun, dibalik itu banyak yang tidak mengetahui riwayat tentang pendirinya, Teungku Chik Awe Geutah, seorang ulama yang sangat berperan dalam mengembangkan agama Islam di Aceh.

Sayangnya jasa-jasa Teungku Awe Geutah seperti terlupakan. Belum ada sejarawan yang menulis riwayat tentang ulama Sufi itu. Kebanyakan mereka hanya datang untuk melihat pesona Rumoh Aceh yang masih terpelihara keasliannya sampai kini. Tanpa ada yang mau peduli untuk mengabadikannya untuk kita kenang sepanjang masa. Sehingga dikhawatirkan sejarah tentang tokoh ulama besar Aceh tersebut akan punah ditelan masa.

Pihak keluarga Teungku Chik Awe Geutah sendiri sudah banyak yang tidak mengetahui lagi secara mendetail tentang riwayat ulama yang dikenal keramat itu. Makanya untuk menulis kisah tentang Teungku Chik Awe Geutah sangat sulit. Sebab, tidak ada literatur atau referensi sebagai pedoman untuk menguatkan kebenaran penulisan sejarahnya itu.

Untunglah ada seorang peminat sejarah, khususnya tentang riwayat Teungku Chik Awe Geutah, yang masih tersisa di sana. Namanya Teungku Syamaun Cut alias Cut Teumeureuhom. Sebenarnya dia bukan bukan keturunan Teungku Chik Awe Geutah. Tapi kakeknya dulu pernah tinggal bersama anggota keluarga keturunan Teungku Chik Awe Geutah.

Dari cerita-cerita kakeknya itulah dia banyak mengetahui sejarah Teungku Chik Awe Geutah. Malah buruh kilang padi itu punya dokumentasi khusus, dan mengetahui silsilah Teungku Chik Awe Geutah sampai tujuh keturunan hingga saat ini. Nah, tulisan ini berdasarkan penuturannya kepada saya beberapa waktu lalu di bawah rumah Aceh tersebut. Keterangan laki-laki berusia 70 tahun itu, juga dibenarkan beberapa anggota keluarga keturunan Teungku Chik Awe Geutah yang mendampingi kami ketika itu.

Dikisahkan Cut Teumeuruhom, Teungku Chik Awe Geutah bernama asli Abdul Rahim bin Muhammad Saleh. Dia seorang ulama Sufi, yang berasal dari Kan’an, Iraq. Kemudian merantau dan menetap di Desa Awe Geutah, sampai dia meninggal di sana. Namun tidak diketahui persisnya tahun berapa dia pertama kali menginjakkan kaki di desa pedalaman Kecamatan Peusangan Siblah Krueng itu. Di batu nisannya pun tidak tertera tahun meninggal ulama besar tersebut.

Perjalanannya mencari Awe Geutah sebagai tempat menetap, sekaligus mengembangkan agama Islam yang aman dan damai, punya kisah tersendiri. Syahdan sekitar abad ke 13 yang lampau, Abdul Rahim bin Muhammad Saleh sekeluarga, serta tiga pria saudara kandungnya, dan sejumlah pengikutnya melakukan hijrah.

Mereka meninggalkan tanah kelahirannya.Sebab, waktu itu ada pertentangan antar pemeluk agama Islam di sana, meyangkut perbedaan khilafiyah. Untuk menghindari perselisihan yang bisa berakibat perpecahan antar pemeluk agama Islam itulah Abdul Rahim bersama keluarga dan para pengikutnya berinisiatif melakukan hijrah ke tempat lain.

Pencarian untuk mendapatkan negeri yang aman dan tenteram itu, membuat mereka harus menyingggahi beberapa tempat. Pertama Abdul Rahim beserta rombongan mendarat di kepulauan Nicobar dan Andaman di Samudera Hindia. Kemudian singgah di pulau Weh. Lalu ke pulau Sumatera, yang waktu itu mereka menyebutnya pulau Ruja. Di pulau tersebut mereka menetap beberapa saat di Gampong Lamkabeu, Aceh Besar.

Merasa belum menemukan tempat yang cocok sebagai tempat menetap, lalu mereka melanjutkan lagi pelayaran. Namun seorang saudara kandung Abdul Rahim tidak mau lagi melanjutkan perjalanan. Namanya tidak diketahui persis. Dia saat itu sudah memantapkan pilihan hatinya untuk bertahan di sana. Konon kabarnya dia kemudian menetap di Tanoh Abee. Di sana dia membangun tempat pengajian. Kelak dia lebih dikenal dengan nama Teungku Chik Tanoh Abee.

Sedangkan pengikut rombongan Abdul Rahim kemudian melanjutkan pengembaraannya. Rombongan tersebut akhirnya mendarat di Kuala Jangka (Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen-red). Sebab, mereka melihatdi situ banyak pelayar yang singgah. Di sana mereka mendapati beberapa toke dari India yang melakukan transaksi penjualan pinang di Kuala Jangka. Salah satunya bernama Cende. Dia mengaku kepada Abdul Rahim, sudah sering pulang-pergi ke Kuala Jangka. Waktu itu Kuala Jangka sudah menjadi pelabuhan yang maju, dan disinggahi para pedagang dari berbagai negara.

Rombongan Abdul Rahim kemudian menetap di Asan Bideun (Sekarang Desa Asan Bideun, Kecamatan Jangka-red). Mereka tinggal beberapa waktu dan mendirikan balai pengajian untuk mengembangkan dan mengajarkan ilmu agama Islam kepada penduduk di sana. Suatu hari Abdul Rahim melihat beberapa perempuan setempat, termasuk istrinya, yang kemudian dikenal dengan nama Teungku Itam, pulang mencuci di sungai dengan berkemben (memakai kain yang menampakkan bagian dada atas). Melihat pemandangan yang tidak biasanya itu, Abdul Rahim punya firasat lain. Dia berkesimpulan, Asan Bideun bukanlah tempat yang cocok sebagai tempat mereka menetap. Negeri itu sudah laklim.

Lalu mereka sepakat pindah ke tempat lain. Kali ini rombongan terpecahb lagi, mereka terbagi tiga kelompok. Satu kelompok yang dipimpin adiknya Abdul Rahim menuju Paya Rabo dan menetap di sana (Sekarang Desa Paya rabo masuk wilayah Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara). Kelompok yang dipimpin adiknya yang lain pergi dan menetap di Pulo Iboh (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Jangka).

Sedangkan satu kelompok lagi yang dipimpin Abdul Rahim sendiri hijrah ke Keudee Asan (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Peusangan Selatan). Di sana rombongan tersebut sempat menetap beberapa waktu, dan mengadakan pengajian bagi penduduk setempat.

Namun setelah sekian lama menetap di Keudee Asan, dia merasa tempat itu belum cocok untuk dijadikan tempat menetap yang benar-benar sesuai keinginannya. Untuk itulah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah empat malam berturut-turut, untuk memohon petunjuk dari Allah, dan harus naik ke atas bukit menghadap empat arah penjuru mata angin.

Malam pertama setelah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah tengah malam, dia naik ke sebuah bukit yang cukup tinggi, namanya Gle Sibru (Sekarang masuk wilayah Desa Cibrek, Kecamatan Peusangan Selatan). Di atas bukit itu Abdul Rahim berdiri menghadap ke arah selatan. Agak lama juga dia menatap ke sana, namun tidak tampak apa-apa. Yang terlihat hanya pucuk labu. Konon kabarnya, pucuk labu yang dilihat Abdul Rahim itu adalah Desa Geulanggang Labu, Kecamatan Peusangan Selatan sekarang.

Malam kedua, setelah shalat istikharah, Abdul Rahim naik lagi ke atas bukit tersebut. Kali ini dia menghadap ke arah barat, tapi dia tidak melihat apapun. Malam berikutnya dia juga melakukan hal yang sama, dengan menghadap ke arah utara. Hasilnya tetap nihil, tidak mendapatkan petunjuk apa-apa.

Baru pada malam keempat Abdul Rahim mendapatkan hasilnya. Ketika dia menghadap ke arah timur, pandangan matanya terlihat sesuatu. Seberkas cahaya putih bersih dia lihat menyembul di sana. Abdul Rahim berkeyakinan, di daerah sembulan kilauan cahaya itulah tempat yang aman dan damai sebagai tempat tinggal yang permanen.

Maka keesokan harinya mereka langsung berangkat menuju ke daerah asal cahaya tadi. Singkat cerita, sesuai petunjuk Abdul Rahim yang memimpin perjalanan, tibalah mereka di sebuah tempat yang diyakininya sebagai daerah asal cahaya itu.

Saat itu, di sana masih berhutan belantara. Kemudian hutan-hutan itu mereka tebang dan bersihkan untuk dijadikan perkampungan. Suatu hari sambil melepas lelah, setelah capek bergotong-royong, Abdul Rahim menanyakan pada rekan-rekannya, apa nama yang cocok ditabalkan untuk tempat pemukiman baru itu. Ada beberapa nama yang diusulkan mereka, tapi dirasakan tidak ada yang cocok.

Seorang di antara mereka, sambil duduk-duduk membersihkan getah rotan yang lengket di tangannya, mengusulkan sebuah nama. “Untuk apa capek-capek memikirkan nama. Bagaimana kalau kita namai saja Awe Geutah?” tanya orang itu. Usulan itu pun diterima Abdul Rahim dan rekan-rekan mereka yang lain. Nah, sejak saat itulah tempat pemukiman baru mereka itu dinamakan Awe Geutah.

sumber : http://www.atjehcyber.net (Visit This Website Now)
Baca Selengkapnya

Mengenal Ulama Sufi Aceh Tgk Mns Kumbang


Nama Tgk Meunasah (Mns) Kumbang, begitu populer di Aceh. Namun, generasi saat ini jarang yang tahu, di mana bermukimnya ulama sufi berkharismatik dan cerdik tersebut. Sesuai sejarah, beliau tidak hanya alim dan menguasai ilmu agama dengan baik. Tapi, juga gudang akal, sehingga kalau ada sengketa hukum di masyarakat, demikian mudah ia menyelesaikannya, tentu dengan bantuan ilmu dan akal (logika) yang kombinasikan beliau.

Tgk Mns Kumbang, atau Abu Mns Kumbang nama aslinya Tgk H Hasballah bin Tgk H Muhammad Saleh, hidup dari tahun 1834 – 1939 (tutup usia 105 tahun). Ia sangat menguasai hukum adat Aceh, qanun (peraturan daerah) dan reusam (kebiasaan dalam suatu komonitas penduduk Aceh).

Pada usia beliau 39 tahun, perang Aceh dengan kolonial Belanda, pecah (tahun 1873). Berarti selama 64 tahun beliau hidup dalam suasana peperangan antara Aceh – Belanda. Karena beliau cerdik cendekiawan, dalam sejarah Pemerintah Belanda tidak membenci beliau, kendati dalam batin Abu Mns Kumbang, tetap membenci penjajah Belanda.

Belanda sangat segan, sekaligus mencintai dan menghormati Abu Mns Kumbang. Buktinya, pada hari beliau mangkat (berpulang ke rahmatullah) di Gampong (Desa) Mns Kumbang, Kec Syamtalira Aron, Aceh Utara, para pembesar Belanda, ikut melayat dan memerintahkan seluruh perangkat Pemerintahan kolonial itu untuk ikut melayatnya.

Tidak terhitung berapa banyak perkara pelik yang diselesaikan Abu Mns Kumbang dengan cara bijaksana, adil dan puas bagi pihak yang bersengketa. Sebagai contoh kecil,…Syahdan: SUATU ketika, sepasang suami isteri di Aceh Utara, terlibat proses perceraian. Persoalan berikutnya, berlanjut kepada proses pembagian harta (peura’e harta).

Sang perempuan (isteri) yang kurang faham terhadap hukum agama Islam, tidak bersedia bagian harta itu lebih banyak untuk laki-laki (suami). Tapi, ia menuntut bagi sama (fifti-fifti), dengan alasan sama capeknya dalam berusaha mencari rezki. Alih-alih persoalanpun sampai kepada majlis adat, yaitu geuchil/kepala desa (Kades), Imam Meunasah dan perangkat desa lainnya.

Ketika sidang berlangsung di Meunasah (Surau), sang perempuan tetap bersitegang, seluruh harta wajib dibagi dua. Saat proses penyelesaian perkara secara adat menjelang buntu, salah seorang dari pengetua adat, meminta bantuan Abu Mns Kumbang.

Sebaik Abu Mns Kumbang tiba, beliau tidak berbicara apa-apa. Cuma memerintahkan Imam Meunasah, untuk meminjam beras zakat fitrah yang belum terbagi kepada yang berhak, agar dimasukkan di dalam karung seberat 100 kg. setelah karung berisi beras itu siap, Abu Mns Kumbang menyuruh si laki-laki untuk mengangkat, seraya membawa beberapa puluh meter dan kembali lagi ke Meunasah.

Si lelaki melaksanakan tugas itu dengan baik, namun ketika giliran si perempuan, ternyata ia gagal. Berdasarkan fenomena tersebut, Abu Mns Kumbang, menyampaikan nasehat. Bahwa, pembagian harta itu takarannya lebih banyak kepada lelaki, bukanlah kemauan manusia. Tapi, hukum Allah yang tidak boleh dilanggar.

“Bagaimanapun kuatnya postur tubuh perempuan, dalam kontek hukum Allah adalah makhluk lemah. Sebaliknya, bagaimanapun lemahnya postur tubuh seorang laki-laki, dalam kontek hukum Allah, ia adalah makhluk yang kuat. Maka dari situ, ada tanggungjawab lelaki untuk memimpin, menjaga dan melindungi perempuan,” demikian nasehat Abu Mns Kumbang. Akhirnya pasangan suami isteri yang bercerai itu, ikhlas menerima bagiannya masing-masing.

Usai memberi jalan keluar terhadap masalah masyarakat tersebut, Abu Mns Kumbang pamit meninggalkan majlis adat, seraya hadirin bangkit serentak dari duduk menyalami beliau. Sebagaimana biasa, beliau kembali menggamit tasbih di saku bajunya, seraya mulutnya komat-kamit berzikir, sambil mengayun langkah pulang ke rumah.

Setelah meninggal dunia, Tgk H Hasballah bin Tgk Muhammad Saleh (Abu Mns Kumbang) tersebut, dikebumikan di Desa Meunasah Kumbang, dia atas areal tanah seluas 800 meter persegi. Kemudian, komplek tersebut bertambah dengan makam-makam isteri dan anak-anaknya, serta kaum kerabat.

Foto: Ilustrasi
sumber : http://www.acehnationalpost.com (Visit This Website Now)
Baca Selengkapnya






                                                                    1. Tari Saman


                                                                  2. Tari Seudati


                                                              3. Tari Tarek Pukat

                                                            4. Tari Ratoh Duek

                                                         5. Tarian Ranup Lampuan

                                                         6. Tarian Likuk Pulo


                                                              7. Adat Gayo

                                                                          8. Wisata Religius




Baca Selengkapnya

Hikayat Jilbab Aceh



Salah satu yang istimewa di Aceh adalah adanya hak istimewa yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk menerapkan syariat Islam. Walau sampai saat ini baru ’secuil’ yang diterapkan, namun bagi siapa saja yang pernah tinggal di Aceh akan merasakan adanya kedamaian. Teman saya (menikah dengan gadis Aceh) sesama pendatang di Aceh mengatakan, jika ingin mendidik anak dengan baik, Acehlah adalah salah satu tempat yang baik. Menurutnya, pengaruh ‘dunia luar’ yang bisa merusak kepribadian anak masih minimal. Saya setuju dengan hal itu karena saya merasakannya.

Salah satu hukum Islam yang diterapkan adalah kewajiban berjilbab bagi setiap muslimah Aceh yang sudah akil baligh. Namun tatkala saya memperhatkan foto mujahidah-mujahidah Aceh zaman dulu, tak satupun yang berjilbab. Palingan hanya ’selendang’ yg nyangkut di rambut. Coba lihat foto Cut Nyak Dhien, Cut, Keumala Hayati, Cut Meutia, Pocut Baren, dkk. Tidak ada satupun yg pake jilbab. Sy mengambil kesimpulan berarti dahulu kala tidak ada kewajiban pake jilbab di Aceh. Jadi kewajiban pake jilbab di Aceh sejak kapan? Bukankah sejak dahulu Aceh sudah dikenal sebagai Serambi Mekkah?

Ternyata Aceh dikenal sebagai Serambi Mekah bukan karena Aceh telah menerapkan Syariat Islam sejak dulu. Tapi dulunya Aceh adalah tempat transit terakhir seluruh calon jamaah haji dari seluruh nusantara sebelum ke tanah suci Mekkah. Dulu calon jamaah haji mesti menggunakan kapal laut ke Arab Saudi. Aceh adalah wilayah nusantara yang paling dekat dengan Arab Saudi bila dibandingkan dengan daerah lain. Sehingga semua jamaah haji berkumpul dan dikarantina di Aceh. Jadi ’serambi’ disini dimaknai sebagai tempat awal sebelum sampai ke Mekkah, bukan karena Aceh mirip dengan Mekkah yg lebih kental suasana keislamanya dan sebagian besar syariat sudah diterapkan. Aceh hanya sebatas ’serambi’ saja sebelum sampai ke Mekkah.

Kewajiban memakai jilbab secara resmi ditetapkan dalam Qanun (undang-undang) Aceh nomor 11 tahun 2001. Hal ini sebenarnya tidak lepas dari respon pemerintah pusat terhadap Aceh yg sedang dilanda konflik saat itu. Aceh ingin memisahkan diri dari Indonesia karena “katanya” Aceh ingin menerapkan syariat Islam secara kaffah. Namun hal itu tidak bisa dilakukan selama Aceh masih berada di bawah payung hukum Indonesia. Makanya kemudian Aceh diberikan keistimewaan untuk bisa menerapkan syariat Islam demi meredam keinginan memisahkan diri, termasuk satu di dalamnya adalah kewajiban berjilbab.

Beberapa tahun sebelumnya di Aceh juga-sebagaimana propinsi lain terkena imbas kebijakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan semasa Orde Baru yang melarang siswi memakai jilbab di sekolah.

Jadi kita tidak akan heran kalau ternyata masih ada wanita Aceh yang alergi, gerah, atau mungkin asing terhadap jilbab. Karena memang jilbab bukan merupakan kebiasaan masyarakat Aceh. Dalam suatu kali perjalanan ke Medan sy pernah bersama beberapa orang wanita Aceh, setelah sampai di perbatasan NAD-Sumut, jilbab langsung dilepas dan masuk tas. Jadi kewajiban memakai jilbab bagi mereka hanya di Aceh saja karena mungkin takut dirazia oleh Wilayatul Hisbah (Polisi Syariat).

Walau saya percaya bahwa tidak semua wanita Aceh seperti itu. Contoh di atas mungkin hanya oknum saja. Namun bila ditilik lebih jauh, masih ada yang memakai jiblab yang belum sesuai dengan standar syariat.
Ada beberapa jenis jilbab yg ada di Aceh :
1. Jilbab timphan
Timphan adalah nama salah satu kue tradisional khas Aceh. Kue ini dari ketan yg di dalamnya ada kelapa manis dan dibungkus dengan daun pisang. Bungkusan daun pisang ini rapat dengan kue sehingga nampak ketat. Jilbab timphan adalah jilbab ketat atau full body pressed. Jilbab jenis ini banyak ditemukan pd anak2 SMU dan mahasiswa.

2. Jilbab Pakistan
Saya juga tidak tahu asal istilah ini dari mana. Siswa-siswa SMU di tempat saya mengatakan demikian. Jilbab jenis ini dinisbatkan pada jilbab dengan poni/rambut tetap kelihatan di atas dahi. Apa di Pakistan banyak jilbab seperti itu ? Atau karena Benazir Bhutto sering berjilbab demikian? Saya juga tidak tahu.

3. Jilbab Rebonding
Jilbab jenis ini mungkin banyak dipakai oleh mereka yg suka me-rebonding rambut. Kerudungnya kecil dan pendek. Rambut yg di-rebonding tetap tergerai dan kelihatan dari belakang. Kan sayang kalau rambut yang sudah di-rebonding tidak dilihat oleh orang lain.

Ini mungkin yg dkatakan jilbab rebonding (baju putih)

4. Jilbab syar’i
Jenis jilbab ini paling banyak ditemui. Jilbab ini sudah memenuhi standar yakni menutupi semua aurat, tidak ketat atau membentuk tubuh dan warnanya tidak terlalu menyolok.

sumber : http://sosbud.kompasiana.com (Visit This Website Now)

Dara Aceh saat Pawai Muharram di Meulaboh, ACeh Barat. (Jilbab standar seperti ini kali ya..)

Semoga kedepannya syariat Islam di Aceh bisa dilaksanakan secara keseluruhan. Sehingga berkah dari langit dan bumi akan tercurah untuk semua saudaraku yang tinggal di Aceh. Aceh hanya akan mulia dan kembali memiliki ‘marwah’ hanya dengan syariat Islam.
Baca Selengkapnya

Tradisi Sunat Kuta Cane



Dua bocah diapit kedua orang tuanya berpakaian adat duduk di atas kuda untuk digiring ke rumah mantri untuk disunat di Kutacane,, Jumat (2/7). Kedua anak tersebut sebelum disunat mengikuti upacara adat kebiasaan masyarakat Alas, Kabupaten Aceh Tenggara. Tradisi sunat bagi anak-anak di daerah itu dilaksanakan setiap musim liburan sekolah .

sumber : http://kutacaneku.blogspot.com (Visit This Website Now)
Baca Selengkapnya

KH. Ihsam Muhammad Dahlan Pengarang Sirajut Thalibin

Kitab Sirajut Thalibin adalah syarah atau penjabaran dari kitab Minhajul Abidin karya Imam Ghazali. Sirajut Thalibin ini sempat mendapatkan pujian luas dari ulama Timur Tengah dan kini menjadi referensi utama para mahasiswa di Mesir dan negara-negara Timur Tengah yang lain , kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum muslimin di Afrika dan Amerika. Siapa sebetulnya Syech Ihsan Jampes tersebut??

Yang saya tahu Kh.Ihsan Muhammad yang masyhur dengan nama Syech Ihsan jampes satu satunya Ulama yang mengarang dan menulis Kitab tentang kopi dan rokok . Kitab Asli yang berjudul “Irsyadu Al ikhwan Fi bayani al hukmu Al Qohwa wad Dukhon ” mengupas tentang kopi dan rokok dari mulai sejarah munculnya Kopi dan rokok sampai hukum mengkomsumsi keduanya.
 
Ulama asal kediri yang buah karyanya diakui ulama – ulama internasional sebut saja kitab yang saat ini di bajak oleh penerbit Darul Imayah Beirut berjudul” Sirajut Thalibin” , Kitab tersebut kini banyak beredar di Indonesia namun entah salah cetak atau sengaja dicantumkan pengarang tersebut Syech Zaini dahlan padahal harusnya adalah Syech Ihsan Muhammad Dahlan dari Jempes kediri. Saya tidak habis pikir Penerbit t Darul Imayah di Beirut merupakan perusahaan penerbitan yang telah masyhur bisa salah cetak dan menurut saya ada unsur kesengajaan untuk membajak buah karya ulama Kediri tersebut , karena kata pengantar /Taqridah dari KH.Hasyim Asy’ari dalam kitab asli tersebut di buang dan di ganti dengan Biografi Syech Zaini Dahlan ( ulama timur tengah ).
 
Kitab Sirajut Thalibin adalah syarah atau penjabaran dari kitab Minhajul Abidin karya Imam Ghazali. Sirajut Thalibin ini sempat mendapatkan pujian luas dari ulama Timur Tengah dan kini menjadi referensi utama para mahasiswa di Mesir dan negara-negara Timur Tengah yang lain , kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum muslimin di Afrika dan Amerika. Siapa sebetulnya Syech Ihsan Jampes tersebut??
 
KH.Ihsan Dahlan Jampes adalah Putra dari seorang ulama yang sejak kecil tinggal dilingkungan Pesantren terkenal nakal, orang memanggil dengan sebutan “Bakri” lahir sekitar tahun 1901 di desa Jampes Kediri jawa timur. Ayahnya bernama Kh.Dahlan . Kegeramaran Syech Ihsan remaja adalah nonton wayang sambil ditemani kopi dan rokok dan yang membuat khawatir keluarganya adalah kegemaran bermain judi. Bakri julukan Syech ihsan kecil sangat mahir bermain judi , sudah beberapa kali ayahnya menasehatinya agar berhenti melakukan perbuatan buruk tersebut , namun kebiasaan putranya tersebut belum juga berubah masih saja gemar bermain Judi . hingga suatu hari Ayahnya Bakri Kh.Dahlan mengajaknya berziarah ke makam seorang ulama bernama Kh Yahuda yang juga masih ada hubungan kerabat dengan ayahnya, disana ayahnya bermunajat kepada Alloh agar putranya sadar dan insyaf dan memohon kepada alloh kalau saja putranya masih saja seperti itu agar di beri umur pendek agar tidak membawa mudharat bagi umat. Selepas ziarah tersebut suatu malam Syech Ihsan bermimpi di datangi oleh seorang berwujud kakek sedang membawa sebuah batu yang sangat besar yang siap di lemparkan ke kepala Syech Ihsan sambil berkata ” Hai cucu ku kalau engkau tidak menghentikan kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan lemparkan Batu besar ini ke pala mu” kata Kakek tersebut. ” Apa hubungannya kakek dengan ku..? mau berhenti atau terus bukan urusan kakek ” Timpal Syech Ihsan. Tiba tiba Sang kakek tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala Syech Ihsan….hingga pecah kepalanya…Saat itu Syech Ihsan terbangun dari tidurnnya sambil mulutnya mengucapkan istighfar”‘ Astaghfirlulloh…..apa yang sedang terjadi kepadaku….Ya Alloh….ampuni dosaku….. Sejak saat itu Syech Ihsan menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai gemar menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya di pulau Jawa . Mengambil berkah dan restu dari para ulama ulama di jawa seperti Kh.Saleh darat, Kh.Hasyim Asyari dan Kh Muhammad Kholil Madura.
 
Setelah sekian lama merlakukan pengembaraan dalam menuntut ilmu sekitah tahun 1932 Syech Ihsan mulai menetap dan mengajar . Hari hari beliau gunakan untuk mengajar dan menulis Kitab sambil di temani Kopi dan rokok yang menjadi ciri khasnya, begitu banyak karya karya beliau yang di akui oleh para ulama ulama nusantara dan internasional, KItab Siraj al-Thalibin, yang ditulis sekitar 1932-33 sebagai syarahatas karya Al-Ghazali, yang sangat dalam membahas persoalan-persoalan tasawuf dan kitab tersebut dibuat kata pengantar langsung dari Kh.Hasyim Asyari tebuireng Jombang . Model thasawuf yang di bahas dalam kitab tersebut menawarkan Konsep Thawasuf masa kini Misalnya ajaran tentang konsep uzlah yang secara umum diartikan sebagai pengasingan diri dalam kesunyian duniawi, oleh Syekh Ihsan dalam kitab tersebut dimaknai sebagai pengasingan diri dalam kehidupan bersama masyarakat yang majemuk. Uzlah bukan lagi menyepi, tapi bagaimana hidup dalam masyarakat majemuk. Inilah yang disebut sebagai tasawuf hadzaz zaman (tasawuf zaman ini) . KOnsef zuhud diartikan sebagai tapa dunia atau menghindari harta benda. Syekh Ihsan mengajarkan bahwa orang yang zuhud sebenarnya adalah mereka yang dikejar harta, namun tak merasa memiliki harta itu sama sekali.
”Jadi
 zuhud adalah tapa dunia tapi malah kaya. Nah kalau sudah kaya lantas mencari jalan yang terbaik dalam menafkahkan hartanya itu. Inilah ajaran Sirajut Thalibin. Bahkan Syech Ihsan sendiri adalah Ulama yang kaya raya,”
 
Satu lagi pelajaran dari Sirajut Thalibin adalah soal syukur, atau berterimakasih atas semua karunia dari Allah SWT. Kata Syekh Ihsan dalam juz dua kitab Sirajut Thalibin, doa yang paling tinggi adalah kalimatAl-Hamdulillah, segala puji bagi Allah. Tebalnya Kitab tersebut nyaris seribu halaman, dibagi dalam dua juz.

Sebelumnya, pada 1930 Syech Ihsan sudah menulis sebuah kitab di bidang Ilmu Falak berjudul Tashrih al-Ibarat yang merupakan syarah atas Natijat al-Miqat karya KH Ahmad Dahlan Semarang. Karya lainnya yang unik adalah Kitab “Irsyadu Al ikhwan Fi bayani al hukmu Al Qohwa wad Dukhon ” terinspirasi karena kegeramarannya Syech Ihsan yang suka Kopi dengan Rokok. Walaupun Syech Ihsan tidak pernah belajar di Mekkah namun kemampuan bahasa Arab dan keterampilannya dalam menulis kitab berbahasa Arab sangat luar biasa dan ada sebuah karya Syech Ihsan yang menjadi manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Kairoh selama bertahun tahun berjudul ” Manahijul Imdad” merupakan syarah (komentar) dari kitab Irsyadul Ibad (petunjuk bagi para hamba) karya Syekh Zainuddin Malibari ( lombok ) . Kitab setebal 118 halaman itu diulas kembali oleh Syech Ihsan dalam kitab setebal 1050 halaman yang terdiri dari dua juz. Kitab ini berada dalam jalur kajian fikih namun berbeda dengan kitab fikih formal lainnya sebab lebih condong ke ajaran tasawuf dan pada bab-bab tertentu banyak menunjukkan fadhilah-fadhilah (keutamaan) melakukan ibadah. Manuskrip kitab yang tersimpan di perpustakaan Kairo akhirnya di minta oleh pihak keluarga dan diterbitkan oleh salah seorang murid beliau yang tinggal di semarang.
Pada tanggal 15 September 1952 Syech Ihsan Dahlan dipanggil oleh Alloh swt dengan meninggalkan karya karya tulis dan kitab yang saat ini menjadi rujukan para ulama ulama baik nusantara maupun internasional.
 
sumber : Klick Disini
Baca Selengkapnya