Ini Hanya Blog Biasa yang Menyediakan Informasi Hal-hal Menarik Tentang Aceh.
Kuah Pliek-U, Gulai Para Raja
Masakan atau gulai khas Aceh.
Okezine - Template
Mesjid Raya Baiturrahman
Saksi bisu sejarah Aceh.
Okezine - Template
Tari Saman
Satu ciri menarik dari tari Aceh
..
Prev 1 2 3 Next

Wednesday 22 August 2012

"Pam Pum" Beudee Karbet



APA PERBEDAAN beudee trieng dengan beudee karbet? Jawabanya beda tipis. Baik beudee trieng (meriam bambu) dan beudee karbet sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Mulai dari orang dewasa sampai anak-anak pasti kenal kedua mainan ini, apalagi dalam bulan ramadhan atau jelang hari raya atau selama lebaran, suara dentuman beudee karbet biasa dijumpai hampir di segala pojok gampong-gampong di Aceh, khususnya di beberapa gampong di Pidie.

Secara fisik baik beudee trieng maunpun beudee karbet sama-sama memakai uram trieng (pangkal bambu) sebagai media utamanya. Hanya saja beude karbet (meriam karbit) mengunakan karbit atau kalsium karbida (senyawa kimia, CaC2) sebagai pemicu untuk menghasilkan suara dentuman. Beude karbet kerap dimainkan oleh orang-orang dewasa di gampong (kampung). Namun dalam perkembanganya, dibeberapa tempat, sebagian pemuda tidak lagi memakai uram trieng sebagai wadah meledakkan karbit, melainkan sudah diganti dengan pipa besi atau drum aspal yang dimodifikasi. Tujuanya adalah untuk mendapatkan efek suara yang lebih dahsyah. Mereka menanam wadah-wadah tersebut didalam tanah dan ketika karbit diledakkan, maka efeknya seperti sedang terjadi gempa 3-4 SR. Efek suara yang ditimbulkan bisa bermil-mil jauhnya, dan getaranya bisa membuat kaca jendela pecah.

Mungkin karena efek yang ditimbulkan dari karbit inilah yang membuat warga merasa terganggu. Namun dasar para pemuda badung, mereka mengakalinya dengan mencari tempat yang jauh dari pemukiman untuk meledakkan meriam karbit.

Sedangkan beude trieng (meriam bambu) adalah mainan meriam yang terbuat dari bambu namun pengoperasianya mengunakan minyak tanah. Beude trieng biasa dimainkan oleh anak-anak karena caranya sedikit gampang daripada beude karbet yang tingkat berbahayanya lebih tinggi. Suara yang ditimbulkanya beude trieng juga tidak terlalu memekakkan telinga, sedangkan suara dentuman beude karbet bisa terdengar hampir kesegala gampong atau mukim.

Belum ada kepastian darimana permainan ini muncul pertama kali, sebab hampir semua masyarakat di Indonesia sudah mengenal mainan meriam ini selama berabad-abad.

Permainan beude karbet sebetulnya harus mengeluarkan banyak modal. Ini dikarenakan karbit (pemicu suara) harus dibeli perkiloan dengan harga tidak murah. Namun karena mainan ini hanya dioperasikan sekali dalam setahun, yaitu selama/paska bulan ramadhan, harga karbit yang mahal bukanlah soal bagi pemuda gampong. Untuk menyiasatinya, pemuda gampong biasanya meurepee (kongsi) uang sehingga harga mahal tadi pun tidak terlalu terasa berat. Dengan demikian agenda menghidupkan beude karbet siap dilakukan. Pekerjaan selanjutnya lebih gampang, cukup mencari 2 meter uram trieng atau drum aspal yang dimodifikasi.

Bagi yang memakai uram trieng, mula-mula batang bambu di sodok ruas-ruas dalamnya agar bolong. Cukup menyisakan ruas paling bawah agar tidak tembus keluar. Selanjutnya diatas pangkal ruas paling bawah tadi dibuatkan bolong untuk memasukkan pecahan karbit. Biasanya para pemuda mengikat bambu meriam ini dengan kawat agar bambu tidak retak menahan dentuman sauara yang dihasilkan. Ada juga yang menanam meriamnya kedalam tanah supaya bambunya tidak mencelat atau berantakan kearah orang-orang ramai. Setelah itu hanya diperlukan sumbu api dan sedikit air sebagai pemicu beude karbit. Kalau semuanya sudah matang, maka masyarakat biasanya akan dikejutkan dentuman meriam ini yang dipicu terus menerus seakan sedang ada perang besar.

Bagi yang maniak karbit kelas berat, mereka akan mencari rongsokan drum aspal (peulaken) atau pipa-pipa besi tertentu untuk dijadikan wadah karbit. Cara ini sedikit sulit karena harus mengelasnya di bengkel untuk menghasilkan sebuah meriam yang sempurna, namun efek suaranya lebih dahsyat ketimbang memakai bambu.

Suara yang dihasilkan meriam karbit ini memang terbilang raksasa. Layaknya mirip suara yang dihasilkan meriam benaran, maka tidaklah heran suasana selama ramadhan atau saat takbiran lebaran, suasana di gampong-gampong seperti ajang perang saja. Apalagi pemuda-pemuda gampong tetangga juga ikut-ikutan melakukan tradisi ini. Maka ‘perang’ meriam pun tidak terhindarkan dan menjadi ajang saling ‘serang menyerang’ hingga pagi hari.

Perang karbit ini sebetulnya telah menjadi kontroversial dalam beberapa tahun terakhir, karena aktivitas meledakkan bom mainan ini kerap mengganggu ketenangan warga. Namun entah bagaimana, bom karbit tetap diledakkan meski secara sporadis. Namun tensi ledakan meningkat ketika menjelang lebaran. Ada yang menganggap ledakan karbit selama ramadhan adalah untuk membangunkan warga untuk sahuran, dan karbit yang diledakkan jelang lebaran dianggap sebagai sebuah 'hiburan' buat menyemarakkan hari raya. Akibatnya, antara suara takbir dengan dentuman karbit saling bersaing satu sama lain.

Namun ada sebagian warga yang menderita penyakit jantung atau suka latah paling benci dengan ulah suara meriam karbit ini. Barangkali selama sebulan mereka harus berhadapan dengan ‘neraka’ disaat syafaat surga terbuka lebar di hari ramadhan. Namun bagi sebagian ada yang senang melihat aktifnya para pemuda gampong, membuat warga ikut terhibur. Apalagi saat menjelang sahur, biasanya dentuman beude karbit menjadi tanda bahwa waktu sahur sudah tiba.

Pada masa konflik yang mendera Aceh, baik beude trieng maupun karbet adalah barang langka yang sulit dioperasikan. Ketakutan dan trauma menjadi alasan utama kedua beude ini enyah dari gampong. Bagi yang nekat, maka akibatnya mudah ditebak; dipermak dan selanjutnya digelandang ke pos-pos aparat terdekat dan dikenai pasal mengganggu stabilitas temperatur keamanan. Makanya selama konflik kedua beude ini seperti hilang ditelan bumi, dan para pemuda -- boro-boro membunyikan meriam ini-- malah lebih memilih hengkang keluar daerah untuk mencari selamat. Barangkali aparat kemanan juga paling benci dengan suara dentuman yang dihasilkan dari meriam bambu ini dan mengira sedang ada serangan mendadak dari bazooka gerilyawan.

Nah, ketika masa damai terajut di Aceh (setelah 30 tahun lebih dalam suasana konflik), beude ini kembali meledak membahana, meski ada kontroversial , beude masih saja menyalak. Terlepas pro-kontra bunyi yang dihasilkan, namun faktanya beude ini sudah sepatutnya dilestarikan sebagai sebuah tradisi yang unik dan khas untuk merajut keakraban pemuda gampong. Namun, dalam pengoperasianya mungkin perlu persetujuan dari para pihak dengan melihat sisi-sisi tempat yang layak untuk diledakkan.

Dibeberapa tempat seperti di Kalimantan, malah ada festival khusus meledakkan meriam ini, sebagai tradisi atau budaya yang diwariskan nenek moyang yang pintar meracik senjata ini untuk menakut-nakuti para penjajah di era kolonial.

Namun, ada baiknya juga apabila dimasa bulan ramadhan atau dimalam takbiran, para pemuda gampong menggantikan aktivitas meledakkan meriam ini ke kegiatan yang lebih bersifat peningkatan ibadah seperti melaksanakan lomba meulikee, tadarus, membuat pentas di masjid dan kegiatan syiar Islam lainya yang lebih fositif, seperti yang ditunjukkan oleh pemuda dari tiga kemukiman di Pidie seperti Mila, Indrajaya atau Delima.

sumber : serambinews.com (Visit This Website Now)

0 comments: