Secara umum masyarakat di Aceh lebih mengenal Teungku Haji Syihabuddin
Syah dengan nama Abu Keumala, nama tersebut merupakan nama panggilan
beliau sewaktu mengaji di Labuhan Haji. Selain sebagai ulama, Abu
Keumala juga di kenal sebagai orator ulung di masanya. Keunikan pidato
Abu Keumala adalah apa saja yang dilihat atau yang sedang terjadi, bisa
beliau ciptakan sebagai perbandingan dalam berpidato, terutama yang
menyangkut tentang masalah ketauhidan.
Abu Keumala merupakan pencerah di bidang Tauhid Sehingga beliau juga di gelar sebagai Ulama Tauhid. Disamping mengadakan pengajian dan ceramah, Abu Keumala juga aktif menulis, di antara buku karangan beliau yang terkenal adalah Risalah Makrifah.
Asal usul
Seuneuddon merupakan salah satu kecamatan di pesisir Aceh Utara, daerah ini telah banyak melahirkan ulama–ulama besar, tapi kebanyakan ulama tersebut tidak bermukim di Seuneuddon. Di antara ulama besar yang tidak bermukim di Seuneuddon tersebut adalah: Teungku Muhammad (Abu Seuriget) Pimpinan Dayah Darul Muarif Langsa, Teungku Muhammad Amin pendiri dayah Malikussaleh Panton Labu (mulai tahun 1965–1975), Teungku Ibrahim Bardan (Abu Panton) pimpinan Dayah Malikussaleh di Panton Labu (mulai tahun 1975 hingga sekarang), Teungku Karimuddin (Abu Alue Bilie) pimpinan dayah Babussalam Panteu Breuh, Kemudian Teungku Syihabuddin Syah atau yang lebih terkenal dengan panggilan Abu Keumala juga berasal dari Seuneuddon, tepatnya di desa Tanjong Pineung, beliau lahir sekitar tahun 1928.
Ketinggian ilmu agama Teungku Syihabuddin Syah karena beliau merupakan murid ulama–ulama besar di Aceh. Semenjak remaja Teungku Syihabuddin Syah sudah belajar di dayah Keumala Kabupaten Pidie kemudian di dayah Labuhan Haji, Aceh Selatan yang dipimpin oleh ulama besar Teungku Haji Muhammad Waly Al-Khalidi (Abuya Muda Waly). Karena lama belajar di dayah Keumala , maka Teungku Syihabuddin Syah dikenal dengan panggilan Teungku Keumala atau Abu Keumala.
Mungkin panggilan seperti ini agak sedikit tidak lazim, karena biasanya seorang ulama dipanggil berdasarkan nama kampung asal atau tempat di mana beliau menetap, bukan dimana tempat beliau mengaji. Teungku Syihabuddin Syah menikah pada tahun 1957 dengan salah seorang putri yang merupakan cucu gurunya di Keumala, dari perkawinan tersebut beliau dianugrahi Sembilan orang anak.
Bermukim di Medan
Ketika Konflik bersenjata di Aceh tahun 1953, beliau memperlihatkan sikap tidak menyetujuinya. Karena itu beliau pindah ke Medan. Seorang pemuka masyarakat, Haji Manyak Meureudu, mewakafkan sebidang tanah 25 x 25 meter yang diatasnya ada bangunan sederhana terletak dipasar II jalan Sei Wampu, Kampung Babura, Medan Baru. Di tempat ini ditampung 30 orang pelajar Aceh yang menuntut ilmu di berbagai peguruan tinggi di Medan. Di tempat itu juga Ustadz Syihabuddin memberi pelajaran agama, baik bagi penghuni asrama maupun bagi kaum muslimin di sekitar tempat itu. Di tempat itu juga Ustadz Syihabuddin memberi pelajaran agama kepada keluarga – keluarga tokoh – tokoh masyarakat Aceh di Medan.
Pertikaian antara dua etnis di Medan pada tahun 1956, menyebabkan Asrama Pelajar di Pasar II Jalan Sei Wampu Kampung Babura Medan Baru, diserbu oleh sekitar 36 orang tidak dikenal. Asrama tersebut di porak–porandakan, kemudian dibakar. Penghuninya Teungku Syihabuddin Syah yang mengajar di tempat itu di pukul dengan broti di kepalanya hingga tidak berdaya namun beliau dapat di selamatkan ke rumah sakit.
Hancurnya asrama yang selama itu di huni oleh 30 orang pelajar dan mahasiswa yang juga tempat pengajian bagi masyarakat yang ada di sekitar tempat itu, maka menjadi masalah bagi pemuka – pemuka masyarakat Aceh di Medan. Mereka mencari jalan untuk menampung pelajar dan mahasiswa yang asramanya tidak ada lagi juga tempat pengajian telah porak–poranda.
Pendirian Sekolah Islam
Masalah asrama pelajar/mahasiswa Aceh sekaligus tempat pengajian berhasil diatasi pada tahun 1956 itu juga. Hal itu berkat jasa baik Tuanku Hasyim S.H. atas nama Yayasan Sosial Medan mewakafkan sebidang tanah ukuran 9,5 x 17 meter. Di atas tanah itu ada bangunan tua yang dapat digunakan. Tanah itu terletak di pasar Melintang, sekarang Jalan Darussalam 24 Medan. Nama jalan itu diusulkan oleh Teungku Syihabuddin Syah kepada Wali Kota Medan dan di terima baik oleh Wali Kota, Haji Muda Siregar (tahun 1957).
Karena digunakan untuk kegiatan pendidikan agama, maka pada tahun 1960 tempat itu diberi nama Asrama Madrasah Pesantren Miftahussalam. Kemudin dibuka SRI (Sekolah Rendah Islam), SMI (Sekolah Menengah Islam), SMIA (Sekolah Menengah Islam Atas), yang langsung dipimpin oleh Teungku Syihabuddin Syah dan Teungku Abdussalam Abdullah. Nama tingkat pendidikan itu kemudian berubah menjadi Diniyah, Tsanawiyah, dan Aliyah.
Untuk memperkokoh perhatian kaum muslimin terhadap Miftahussalamah, Teungku Syihabuddin Syah mengajar orang–orang tua murid untuk mengikuti majelis pengajian yang diberi nama Safinatussalamah (kapal penyelamat), sedangkan yang menjadi guru adalah beliau sendiri. Pengajian itu berkembang dengan pesat di kota Medan. Pada waktu yang bergiliran Teungku Syihabuddin Syah memberi pengajian yang berjumlah sekitar 11 tempatdi Kota Medan dengan menggunakan kendaraan VW Combi yang di setir oleh beliau sendiri.
Nama komplek Asrama Madrasah Pesantren itu oleh Teungku Syihabuddin Syah diganti pada tahun 1977 menjadi Pendidikan Islam Miftahussalam. Lancarnya pembangunan komplek Miftahussalam itu atas dasar wakaf kaum muslimin, sehingga berhasil membuka SLTP dan SMU Darussalam. Tenaga pengajarnya adalah para sarjana dari berbagai disiplin ilmu yang menjadi penghuni asrama.
Pendidikan Islam Miftahussalam telah berbadan hukum , yang Ketua Umumnya adalah Teungku Syihabuddin Syah, maka sekarang sudah lengkap tingkat pendidikan agama, dan juga SLTP dan SMU. Komplek Miftahussalam pada tahun 2004 menampung sekitar 1500 siswa dan siswi yang belajar pagi dan sore. Siswi SLTP dan SMU semua berjilbab dan pada waktu shalat Ashar seluruh siswa yang belajar sore shalat berjamaah di Mesjid Taqarrub. Di komplek Mesjid Taqarrub juga dibuka TK Al-Qur’an.
Ketika Asrama dan Pesantren Miftahussalam masih merupakan bangunan yang sangat sederhana, Abu Keumala mempunyai ruangan sendiri sekaligus tempat tinggalnya. Selama beberapa tahun di tempat itu beliau melakukan Khulwah di setiap bulan Ramadhan. Selama Khulwah beliau tidak berbicara dengan siapapun, komunikasi dilakukan dengan surat menyurat.
Akhir hayat
Sebelum meninggal kesehatan beliau terus menurun. Mula–mula gangguan mata hingga tidak dapat membaca kitab, walaupun telah berobat ke dokter ahli mata di Medan, tidak juga membawa hasil. Juga di bawa berobat ke Penang namun tidak ada perobahan. Kemudian datang lagi gangguan penyakit gula. Begitu pun beliau tetap berusaha menjadi imam seperti dalam bulan Ramadhan. Juga beliau memberi kuliah agama, walaupun porsinya tidak seperti sebelumnya.
"Seorang demi seorang benteng agama meninggalkan kita. Kita bersedih bukan karena kepergian beliau, tetapi karena hilangnya benteng agama, mujahid Islam yang telah banyak jasanya kepada masyarakat". Demikian dikatakan oleh Al-Ustadz Drs Haji Halim Harahap, mewakili para khatib Masjid Taqarrub Jalan Darussalam 26 ABC Medan, ketika melepas jenazah Al – Ustadz Teungku Haji Syihabuddin Syah atau Abu Keumala sebelum di berangkatkan ke tempat persemayaman terakhir di komplek perkuburan Mesjid Raya Al-Mansur jalan Sisingamangaraja, Medan.
Abu Keumala meninggal di rumah kediamannya di jalan Karya Bhakti Gang Rukun No: 2 Medan, setelah menderita sakit semenjak bulan April 2004. Beliau meninggal hari Jumat, 9 Juli 2004. Upacara pelepasan jenazah dilangsungkan di Mesjid Taqarrub, mesjid yang beliau bangun bersama kaum muslimin, baik yang ada di Medan maupun yang berada di luar Kota Medan.
Masjid tempat beliau mengucurkan ilmu agama, baik dalam pengajian baik dalam pengajian ibu–ibu dan bapak-bapal. Kuliah agama di berikan di mesjid itu terutama di bulan Ramadhan selesai Shalat Tarawih, kemudian kuliah Shubuh baik di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan.
Pada acara pelepasan juga ikut berbicara Prof Dr Haji Aslim Sihotang yang menguraikan tingginya ilmu yang di miliki oleh Almarhum Al–Ustadz Teungku Haji Syihabuddin Syah atau Abu Keumala. Ia menganjurkan supaya kitab yang ditulis olh Almarhum pada tahun 1983 yang 4 jilid berjudul Risalah Makrifah agar di cetak, yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh murid – muridnya. (Tgk Zulfahmi MR; staff pengajar di Dayah Raudhatul Maarif Cot Trueng – Muara Batu – Aceh Utara, Tulisan ini Merupakan nukilan dari buku : Biografi Ulama - Ulama Aceh Abad XX Jilid III).
sumber : Klick Disini
Abu Keumala merupakan pencerah di bidang Tauhid Sehingga beliau juga di gelar sebagai Ulama Tauhid. Disamping mengadakan pengajian dan ceramah, Abu Keumala juga aktif menulis, di antara buku karangan beliau yang terkenal adalah Risalah Makrifah.
Asal usul
Seuneuddon merupakan salah satu kecamatan di pesisir Aceh Utara, daerah ini telah banyak melahirkan ulama–ulama besar, tapi kebanyakan ulama tersebut tidak bermukim di Seuneuddon. Di antara ulama besar yang tidak bermukim di Seuneuddon tersebut adalah: Teungku Muhammad (Abu Seuriget) Pimpinan Dayah Darul Muarif Langsa, Teungku Muhammad Amin pendiri dayah Malikussaleh Panton Labu (mulai tahun 1965–1975), Teungku Ibrahim Bardan (Abu Panton) pimpinan Dayah Malikussaleh di Panton Labu (mulai tahun 1975 hingga sekarang), Teungku Karimuddin (Abu Alue Bilie) pimpinan dayah Babussalam Panteu Breuh, Kemudian Teungku Syihabuddin Syah atau yang lebih terkenal dengan panggilan Abu Keumala juga berasal dari Seuneuddon, tepatnya di desa Tanjong Pineung, beliau lahir sekitar tahun 1928.
Ketinggian ilmu agama Teungku Syihabuddin Syah karena beliau merupakan murid ulama–ulama besar di Aceh. Semenjak remaja Teungku Syihabuddin Syah sudah belajar di dayah Keumala Kabupaten Pidie kemudian di dayah Labuhan Haji, Aceh Selatan yang dipimpin oleh ulama besar Teungku Haji Muhammad Waly Al-Khalidi (Abuya Muda Waly). Karena lama belajar di dayah Keumala , maka Teungku Syihabuddin Syah dikenal dengan panggilan Teungku Keumala atau Abu Keumala.
Mungkin panggilan seperti ini agak sedikit tidak lazim, karena biasanya seorang ulama dipanggil berdasarkan nama kampung asal atau tempat di mana beliau menetap, bukan dimana tempat beliau mengaji. Teungku Syihabuddin Syah menikah pada tahun 1957 dengan salah seorang putri yang merupakan cucu gurunya di Keumala, dari perkawinan tersebut beliau dianugrahi Sembilan orang anak.
Bermukim di Medan
Ketika Konflik bersenjata di Aceh tahun 1953, beliau memperlihatkan sikap tidak menyetujuinya. Karena itu beliau pindah ke Medan. Seorang pemuka masyarakat, Haji Manyak Meureudu, mewakafkan sebidang tanah 25 x 25 meter yang diatasnya ada bangunan sederhana terletak dipasar II jalan Sei Wampu, Kampung Babura, Medan Baru. Di tempat ini ditampung 30 orang pelajar Aceh yang menuntut ilmu di berbagai peguruan tinggi di Medan. Di tempat itu juga Ustadz Syihabuddin memberi pelajaran agama, baik bagi penghuni asrama maupun bagi kaum muslimin di sekitar tempat itu. Di tempat itu juga Ustadz Syihabuddin memberi pelajaran agama kepada keluarga – keluarga tokoh – tokoh masyarakat Aceh di Medan.
Pertikaian antara dua etnis di Medan pada tahun 1956, menyebabkan Asrama Pelajar di Pasar II Jalan Sei Wampu Kampung Babura Medan Baru, diserbu oleh sekitar 36 orang tidak dikenal. Asrama tersebut di porak–porandakan, kemudian dibakar. Penghuninya Teungku Syihabuddin Syah yang mengajar di tempat itu di pukul dengan broti di kepalanya hingga tidak berdaya namun beliau dapat di selamatkan ke rumah sakit.
Hancurnya asrama yang selama itu di huni oleh 30 orang pelajar dan mahasiswa yang juga tempat pengajian bagi masyarakat yang ada di sekitar tempat itu, maka menjadi masalah bagi pemuka – pemuka masyarakat Aceh di Medan. Mereka mencari jalan untuk menampung pelajar dan mahasiswa yang asramanya tidak ada lagi juga tempat pengajian telah porak–poranda.
Pendirian Sekolah Islam
Masalah asrama pelajar/mahasiswa Aceh sekaligus tempat pengajian berhasil diatasi pada tahun 1956 itu juga. Hal itu berkat jasa baik Tuanku Hasyim S.H. atas nama Yayasan Sosial Medan mewakafkan sebidang tanah ukuran 9,5 x 17 meter. Di atas tanah itu ada bangunan tua yang dapat digunakan. Tanah itu terletak di pasar Melintang, sekarang Jalan Darussalam 24 Medan. Nama jalan itu diusulkan oleh Teungku Syihabuddin Syah kepada Wali Kota Medan dan di terima baik oleh Wali Kota, Haji Muda Siregar (tahun 1957).
Karena digunakan untuk kegiatan pendidikan agama, maka pada tahun 1960 tempat itu diberi nama Asrama Madrasah Pesantren Miftahussalam. Kemudin dibuka SRI (Sekolah Rendah Islam), SMI (Sekolah Menengah Islam), SMIA (Sekolah Menengah Islam Atas), yang langsung dipimpin oleh Teungku Syihabuddin Syah dan Teungku Abdussalam Abdullah. Nama tingkat pendidikan itu kemudian berubah menjadi Diniyah, Tsanawiyah, dan Aliyah.
Untuk memperkokoh perhatian kaum muslimin terhadap Miftahussalamah, Teungku Syihabuddin Syah mengajar orang–orang tua murid untuk mengikuti majelis pengajian yang diberi nama Safinatussalamah (kapal penyelamat), sedangkan yang menjadi guru adalah beliau sendiri. Pengajian itu berkembang dengan pesat di kota Medan. Pada waktu yang bergiliran Teungku Syihabuddin Syah memberi pengajian yang berjumlah sekitar 11 tempatdi Kota Medan dengan menggunakan kendaraan VW Combi yang di setir oleh beliau sendiri.
Nama komplek Asrama Madrasah Pesantren itu oleh Teungku Syihabuddin Syah diganti pada tahun 1977 menjadi Pendidikan Islam Miftahussalam. Lancarnya pembangunan komplek Miftahussalam itu atas dasar wakaf kaum muslimin, sehingga berhasil membuka SLTP dan SMU Darussalam. Tenaga pengajarnya adalah para sarjana dari berbagai disiplin ilmu yang menjadi penghuni asrama.
Pendidikan Islam Miftahussalam telah berbadan hukum , yang Ketua Umumnya adalah Teungku Syihabuddin Syah, maka sekarang sudah lengkap tingkat pendidikan agama, dan juga SLTP dan SMU. Komplek Miftahussalam pada tahun 2004 menampung sekitar 1500 siswa dan siswi yang belajar pagi dan sore. Siswi SLTP dan SMU semua berjilbab dan pada waktu shalat Ashar seluruh siswa yang belajar sore shalat berjamaah di Mesjid Taqarrub. Di komplek Mesjid Taqarrub juga dibuka TK Al-Qur’an.
Ketika Asrama dan Pesantren Miftahussalam masih merupakan bangunan yang sangat sederhana, Abu Keumala mempunyai ruangan sendiri sekaligus tempat tinggalnya. Selama beberapa tahun di tempat itu beliau melakukan Khulwah di setiap bulan Ramadhan. Selama Khulwah beliau tidak berbicara dengan siapapun, komunikasi dilakukan dengan surat menyurat.
Akhir hayat
Sebelum meninggal kesehatan beliau terus menurun. Mula–mula gangguan mata hingga tidak dapat membaca kitab, walaupun telah berobat ke dokter ahli mata di Medan, tidak juga membawa hasil. Juga di bawa berobat ke Penang namun tidak ada perobahan. Kemudian datang lagi gangguan penyakit gula. Begitu pun beliau tetap berusaha menjadi imam seperti dalam bulan Ramadhan. Juga beliau memberi kuliah agama, walaupun porsinya tidak seperti sebelumnya.
"Seorang demi seorang benteng agama meninggalkan kita. Kita bersedih bukan karena kepergian beliau, tetapi karena hilangnya benteng agama, mujahid Islam yang telah banyak jasanya kepada masyarakat". Demikian dikatakan oleh Al-Ustadz Drs Haji Halim Harahap, mewakili para khatib Masjid Taqarrub Jalan Darussalam 26 ABC Medan, ketika melepas jenazah Al – Ustadz Teungku Haji Syihabuddin Syah atau Abu Keumala sebelum di berangkatkan ke tempat persemayaman terakhir di komplek perkuburan Mesjid Raya Al-Mansur jalan Sisingamangaraja, Medan.
Abu Keumala meninggal di rumah kediamannya di jalan Karya Bhakti Gang Rukun No: 2 Medan, setelah menderita sakit semenjak bulan April 2004. Beliau meninggal hari Jumat, 9 Juli 2004. Upacara pelepasan jenazah dilangsungkan di Mesjid Taqarrub, mesjid yang beliau bangun bersama kaum muslimin, baik yang ada di Medan maupun yang berada di luar Kota Medan.
Masjid tempat beliau mengucurkan ilmu agama, baik dalam pengajian baik dalam pengajian ibu–ibu dan bapak-bapal. Kuliah agama di berikan di mesjid itu terutama di bulan Ramadhan selesai Shalat Tarawih, kemudian kuliah Shubuh baik di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan.
Pada acara pelepasan juga ikut berbicara Prof Dr Haji Aslim Sihotang yang menguraikan tingginya ilmu yang di miliki oleh Almarhum Al–Ustadz Teungku Haji Syihabuddin Syah atau Abu Keumala. Ia menganjurkan supaya kitab yang ditulis olh Almarhum pada tahun 1983 yang 4 jilid berjudul Risalah Makrifah agar di cetak, yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh murid – muridnya. (Tgk Zulfahmi MR; staff pengajar di Dayah Raudhatul Maarif Cot Trueng – Muara Batu – Aceh Utara, Tulisan ini Merupakan nukilan dari buku : Biografi Ulama - Ulama Aceh Abad XX Jilid III).
sumber : Klick Disini
0 comments:
Post a Comment