Tim ekspedisi kali ini (X-ABC III Bireuen) mempunyai dua tujuan tempat yang akan dikunjungi, yakni sebuah tempat pengajian/dayah terpadu disebuah desa terpencil Peusangan Siblah Krueng (PSK) yaitu Dayah Nurul Iman serta sebuah makam ulama sufi keturunan Arab, Tengku Chik Awe Geutah.
Perjalanan pagi menjelang siang di hari itu memang terbilang seru, tim X-ABC III Bireuen yang terdiri dari 7 orang mengitari pelosok kecamatan PSK dengan mengendarai sepeda motor. Memang semenjak menjadi sebuah kecamatan pemekaran dari Peusangan, PSK masih termasuk salah satu kecamatan yang berada dipelosok kota kecil Matangglumpangdua.
Ada dua cara menuju ke PSK ini, melalui Matangglumpangdua atau juga melalui jalan Kuta Blang ruas jalan Medan Banda Aceh.
Makam Tengku Chik Awe Geutah
Menelusuri jejak makam ulama di Peusangan memang terbilang tidak sulit, salah satu seperti makam Tengku Chik Awe Geutah ini. Awe Geutah merupakan salah satu gampong yang berada di kecamatan Peusangan Siblah Krueng. Untuk mencapai ke gampong ini hanya butuh waktu sekitar 20 menit dari kota Matangglumpangdua, baik menggunakan roda dua atau pun kendaraan roda empat.
Makam Tengku Chik Awe Geutah berada dalam komplek perumahaannya sendiri, disana kita masih bisa menemukan rumah adat Aceh atau lebih dikenal dengan rumoh Aceh yang masih terpelihara, terdapat sebanyak empat rumoh Aceh yang masih berdiri disana dengan ukiran khas yang masih utuh terjaga di komplek makam Tengku Chik. Salah satu rumoh Aceh tersebut adalah kediaman pribadi Tengku Chik yang sekarang sudah diwariskan kepada anak cucu beserta cicitnya.
Mengenal sosok Tengku Chik Awe Geutah sebenarnya terbilang klasik, seperti kebanyakan ulama yang datang ke bumi Serambi Mekkah memang bukan sembarang orang, seperti salah satu Tengku Chik ini. Tengku Chik mempunyai nama asli Syeikh Abdur Rahim Asyi bin Jamaluddin Bawaris, merupakan salah satu ulama yang berketurunan bangsa Arab (dalam literatur lain Bawaris berasal dari Yaman).
Tidak dapat dipastikan tahun berapa kedatangan Tengku Chik ke Aceh, jika dilihat dari rumah yang ditinggalnya sekarang sudah berumuh 500 tahun lebih atau menurut perhitungan awam kedatangan Tengku Chik ke Aceh sekitar tahun 931 H. Atau menurut masa kesultanan Aceh, kedatangan Tengku Chik berada pada masa pucuk kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah.
Dari silsilahnya dikediamaan Awe Geutah bisa kita lihat, bahwa Tengku Chik memiliki garis keturunan langsung dari Saidina Abbas r.a, melalui garis keturunan Nabi Muhammad SAW di atasnya. Dalam silsilah tersebut, dapat dicatat bahwa sebanyak sembilan keturunan langsung dari Tengku Chik dan sepuluh dari sang ayahnya, Jamaluddin Bawaris.
Jika kita melihat isi rumah Tengku Chik, akan banyak sekali kitab-kitab yang kita temukan dari peninggalannya dulu, baik tentang ilmu tauhid, pendidikan, fiqh dan sebagainya. Adapun kitab-kitab tersebut kini telah dijaga dan dirawat oleh pemerintah setempat sebagai bukti sejarah atas napak tilasnya di tanah Aceh ini.
Selain itu, di dalam rumah kayu yang terbuat dari pohon Merbo atau Merbau tersebut juga bisa kita temukan satu unit geulungku (pemarut kelapa) yang diperkirakan sudah berumur 125 tahun. Hal ini diperkuat dari adanya tahun yang tertera di geulungku tersebut 1306 H. Sesuatu yang unik memang, kalau sejak dulu orang-orang telah mampu merekam sejarah melalui cara menuliskan tahun pada alat-alat sederhana seperti geulungku tersebut.
Ada juga sepasang sandal yang terbuat dari kayu, walaupun terbilang antik tapi sayang sandal tersebut tidak tertera tanggalnya.
Setelah melihat-melihat isi dari sebagian rumah Tengku Chik, lalu kami juga beralih pada halaman depan rumahnya yang terbilang cukup luas, disana juga ada hal unik lainnya dengan berbagai cerita menarik yang patut kita ketahui. Salah satu adalah Ie Mon Khalut (air sumur khalut), konon ceritanya air sumur ini bisa menjadi obat bagi orang yang meyakini kesembuhan penyakitnya.
Menurut penafsiran Tgk. Muhsin Hasan (salah satu garis keturunan langsung dari Tengku Chik), sumur khalut ini dibuat setelah Tengku Chik pulang dari Mekkah, kepulangan dari Mekkah tersebut Tengku Chik juga ikut membawa pulang sebagian dari air zamzam, lalu setibanya di Aceh maka air zamzam tersebut dituangkan pada sumur yang ada pada halaman depan rumah.Pada awalnya sumur khalut tidak memiliki dinding, lalu pada tanggal 10 Juni tahun 1956 M dibuatlah dinding (dalam bahasa Aceh dikenal dengan minjeng mon) sebagai penanda bahwa dihalaman depan rumah ada salah satu sumur yang telah dicampurkan air zamzam oleh Tengku Chik.
Sebutan khalut sendiri sebenarnya cukup erat hubungan dengan sebuah pondok atau lebih dikenal balee khalut di Aceh, tepat berada disamping sumur tersebut. Sehingga sumur itu dikenal dengan Mon Khalut. Kata khalut itu sendiri juga merupakan sebuah sebutan ritual agama, dimana orang-orang yang datang ke kediamaan Tengku Chik sering melakukan muhasabah diri untuk menjauhkan diri dengan kesibukan dunia, mereka yang melakukan khalut hanya berdiam diri tanpa berkomunikasi dengan orang sekitar. Selain itu orang yang melaksanakan khalut menyibukkan dirinya untuk mengingat sang Khalik dengan ratib, membaca ayat suci dan lainnya.
Ritual seperti ini sering dilakukan oleh orang-orang yang datang dari luar kampung Awe Geutah, biasanya mereka mendiami balee tersebut saat bulan Ramadhan datang, ada yang 45 hari, 30 hari bahkan 10 hari terakhir di bulan puasa.
Melihat arsitektur dari sumur-sumur yang ada di pekarangan rumah Tengku Chik, cukup terlihat jelas bahwa itu meruapakn hasil arsitektur orang-orang India, salah satunya sumur lain yang berada disebelah kanan rumoh Aceh yang sudah berumur lebih dari 100 tahun.
Hal unika lainnya dari mon khalut ini, hanya memiliki kedalaman empat buah minjeng atau bisa disetarakan dengan lebih kurang 4 meter. Di lain sisi mon khalut ini juga terdapat makam Tengku Chik sendiri beserta kedua anaknya, makam yang sudah dipugar ini juga memang terbilang artistik, karena dibuat dari campuran telur dan pasir yang sampai sekarang masih berdiri kokoh.
Sebelum kami pamit dari kediaman Tengku Chik, kami juga sempat bertanya dengan keanehan pintu rumoh Aceh yang didiami oleh Tengku Chik, karena salah dari bagian dari pintu tersebut mempunyai warna yang berbeda dengan satunya. Ternyata hal ini dijawab oleh Tgk. Muhsin, bahwa bagian yang satu itu adalah replika karena pintu itu sempat dicuri oleh serdadu Belanda saat mau menjajah Aceh.
Menurut penuturan Tgk. Muhsin, kedatangan Belanda pada masa penjajahan itu membuat mereka geram dengan pintu rumah tersebut. Entah kenapa, konon ceritanya saat Belanda memasuki kawasan Awe Geutah dan mendapatkan rumoh Aceh tersebut mereka ingin membakar pintu rumah dari Tengku Chik, namun usaha tersebut gagal mereka lakukan setelah mencoba berulang kali. Tanpa berpikir panjang karena tekanan dari rakyat setempat untuk mengusir penjajah. Akhirnya mereka hanya mampu membawa satu pintu tersebut kabur ke negerinya Belanda. Oleh Aulia
Sumber ; sejarah. kompasiana.com (Visit This Blog Now)
0 comments:
Post a Comment