Berikut ini adalah nama Pahlawan Perempuan yang berasal dari Nangroe Aceh Darussalam:
1. Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dien adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang
berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Ia lahir sekitar tahun
1850. Setelah wilayah 4 Mukim di serang, ia mengungsi, sementara
suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda.Ibrahim Lamnga tewas
di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dien
sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda. Cut Nyak Dien
bersumpah hanya akan kawin dengan laki laki yang mau membantunya melawan
belanda untuk membalas dendam suaminya yang sudah di bunuh.
Lalu Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan belanda. Namun Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada 11 Februari 1899 sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok, sehingga pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya di tangkap dan di bawa ke Banda Aceh. Akibatnya, Cut Nyak Dien di buang ke Sumedang. Cut Nyak Dien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh Sumedang.
2. Cut Nyak Meutia
Cut Mutia
bernama lengkap Cut Nyak Meutia. Ia salah satu pahlawan nasional dari
Tanah Rencong selain Cut Nyak Dien, Teuku Umar, Teuku Cik Di tiro dan
tokoh lainnya. Seperti pejuang Aceh lainnya, Cut Mutia terkenal dengan
keberanian, keteguhan jiwa dan daya juangnya. Beliau lahir di Pirak,
Keureutoe, Aceh Utara tahun 1870 dan wafat di Alue Kurieng 24 Oktober
1910. Makamnya juga terletak di Alue Kurieng.
3. Laksamana Malahayati
Dia adalah wanita pertama (bahkan mungkin satu2nya) yg menjabat sebagai
Laksamana Angkatan Laut dan mempunyai tentara dan teritori sendiri. Dia
adalah wanita yg turun langsung di garis depan dan menggempur armada
belanda yg dipimpin oleh Cornelis De Houtman, bahkan Cornelis De Houtman
sendiri mati dibunuh oleh Laksamana Malahayati dalam pertempuran.
Selain armada belanda Malahayati juga menghalau armada portugis yg
hendak menyerbu aceh dan reputasi Malahayati sebagai penjaga pintu
gerbang kerajaan membuat Inggris yang belakangan masuk ke wilayah ini,
memilih untuk menempuh jalan damai.
4. Pocut Baren
Pocut Baren adalah wanita bangsawan dilahirkan pada tahun 1880 di
Tungkop Aceh Barat. ayahnya adalah teuku Amat (ulee balang (tokoh adat)
tungkop yang berpengaruh saat itu. Ayahnya sering berdiskusi dengan ulama untuk masalah-masalah keagamaan
dan ini tertanam dalam kepribadian Pocut Baren sehingga menjadi wanita
yang pemberani dalam menegakkan agama sekaligus agama.
Suami Pocut sendiri adalah seorang pejabat daerah yang juga menjadi Ulee Balang Gume, Aceh Barat. Perjuangan Pocut dilakukan secara bersama-sama dengan Cut Nyak Dhien yang rela hidup menderita dan susah.
5. Teungku Fakinah
Menurut
catatan pada Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh, adalah
seorang pahlawan yang juga ulama puteri yang terkenal di Aceh. Ia lahir
pada tahun 1856. Orang tuanya Teungku Datuk dan Cut Mah dari Kampung
Lam Beunot (Lam Taleuk), Mukim Lam Krak VII, Sagi XXII Mukim, Aceh
Besar. Sejak kecil, Teungku Fakinah diajarkan mengaji oleh kedua orang
tuanya. Di samping itu, Teungku Fakinah juga diajarkan keterampilan
seperti menjahit, membuat kerawang sutera dan kasab. Dari ketekunan dan
kegigihannya belajar ilmu Agama Islam, maka setelah dewasa ia digelar
Teungku Faki.
Pada usia 16 tahun, Teungku Faki menikah dengan Teungku Ahmad, yang setahun kemudian syahid bersama Panglima Besar Rama Setia dan Imam Lam Krak, dalam mempertahankan Pantai Cermin, Ulee Lheu, dari serangan Belanda. Setelah pernikahannya dengan Teungku Ahmad, Teungku Fakinah membuka sebuah pesantren yang dibiayai Teungku Asahan, yang tidak lain adalah mertuanya. Dalam bukunya "59 Tahun Aceh Merdeka", A. Hasjmi menyebutkan, pesantren tersebut bernama Dayah Lam Diran, yang akhirnya berkembang dan banyak dikunjungi pemuda-pemudi dari daerah lain di sekitar Aceh Besar, dan bahkan dari Cumbok, Pidie. Sejak menjadi janda diusianya yang masih remaja, Teungku Fakinah bersama para janda dan kaum wanita lain membentuk sebuah badan amal yang mendapat dukungan dari seluruh muslimat di Aceh Besar dan sekitarnya. Badan amal ini kemudian berkembang sampai ke Pidie, dengan kegiatannya meliputi pengumpulan sumbangan berupa beras maupun uang yang digunakan untuk membantu pejuang Aceh melawan Belanda. Atas mufakat masyarakat, Teungku Faki kemudian menikah dengan seorang alim ulama yakni Teungku Nyak Badai, bekas murid Tanoh Abee yang berasal dari Kampung Langa, Pidie.
Pada usia 16 tahun, Teungku Faki menikah dengan Teungku Ahmad, yang setahun kemudian syahid bersama Panglima Besar Rama Setia dan Imam Lam Krak, dalam mempertahankan Pantai Cermin, Ulee Lheu, dari serangan Belanda. Setelah pernikahannya dengan Teungku Ahmad, Teungku Fakinah membuka sebuah pesantren yang dibiayai Teungku Asahan, yang tidak lain adalah mertuanya. Dalam bukunya "59 Tahun Aceh Merdeka", A. Hasjmi menyebutkan, pesantren tersebut bernama Dayah Lam Diran, yang akhirnya berkembang dan banyak dikunjungi pemuda-pemudi dari daerah lain di sekitar Aceh Besar, dan bahkan dari Cumbok, Pidie. Sejak menjadi janda diusianya yang masih remaja, Teungku Fakinah bersama para janda dan kaum wanita lain membentuk sebuah badan amal yang mendapat dukungan dari seluruh muslimat di Aceh Besar dan sekitarnya. Badan amal ini kemudian berkembang sampai ke Pidie, dengan kegiatannya meliputi pengumpulan sumbangan berupa beras maupun uang yang digunakan untuk membantu pejuang Aceh melawan Belanda. Atas mufakat masyarakat, Teungku Faki kemudian menikah dengan seorang alim ulama yakni Teungku Nyak Badai, bekas murid Tanoh Abee yang berasal dari Kampung Langa, Pidie.
Berikut nama pahlawan laki-laki/pria yang berasal dari Nangroe Aceh Darussalam:
1. Sultan Iskandar Muda
Sultan
Iskandar Muda merupakan raja paling berpengaruh pada Kerajaan Aceh. Ia
lahir di Aceh pada tahun 1593. Nama kecilnya adalah Perkasa Alam. Dari
pihak ibu, Sultan Iskandar Muda merupakan keturunan dari Raja
Darul-Kamal, sedangkan dari pihak ayah ia merupakan keturunan Raja
Makota Alam. Ibunya bernama Putri Raja Indra Bangsa, atau nama lainnya
Paduka Syah Alam, yang merupakan anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah,
Sultan Aceh ke-10. Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan Sultan Mansyur
Syah, putra dari Sultan Abdul Jalil (yang merupakan putra dari Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3). Jadi, sebenarnya ayah
dan ibu dari Sultan Iskandar Muda merupakan sama-sama pewaris kerajaan.
Sultan Iskandar Muda menikah dengan seorang putri dari Kesultanan
Pahang, yang lebih dikenal dengan Putroe Phang. Dari hasil pernikahan
ini, Sultan Iskandar Muda dikaruniai dua buah anak, yaitu Meurah Pupok
dan Putri Safiah. Perjalanan Sultan Iskandar Muda ke Johor dan Melaka
pada 1612 sempat berhenti di sebuah Tajung (pertemuan sungai Asahan dan
Silau) untuk bertemu dengan Raja Simargolang. Sultan Iskandar Muda
akhirnya menikahi salah seorang puteri Raja Simargolang yang kemudian
dikaruniai seorang anak bernama Abdul Jalil (yang dinobatkan sebagai
Sultan Asahan
2. Teungku Chik Di Tiro
Ketika awal pertama kali Tgk Chik Di Tiro berjuang, ia tidak mempunyai
apa-apa. Tanggapan terhadap perjuangannya pun ada yang bersikap sinis
kepadanya. Teungku Chik Di Tiro bukan keturunan panglima, ia hanya
seorang haji dan ulama. Menghadapai sikap sinis sebagian orang tersebut,
Tgk Chik Di Tiro menerima dengan sabar. Hal tersebut malah menjadikan
sebuah tantangan yang harus ditaklukkan. Usaha pertama yang dilakukannya
adalah membangkitkan semangat para pejuang dan mengumpulkan para
pejuang dalam satu kesatuan yang kokoh yang tidak dapat dipecah belah.
Untuk itu, ia mengadakan perjalanan keliling Aceh. Pada setiap
kesempatan ia singgah di suatu tempat, ia mengadakan ceramah di masjid
atau mengadakan kenduri. Pada kesempatan itu ia pergunakan untuk
menyebarluaskan ajarannya mengenai perang Sabil, menyadarkan orang-orang
untuk memerangi kaum kafir, berjuang di jalan yang diridloi oleh Allah,
serta untuk memperoleh segala informasi dari mereka yang hadir.
3. Teuku Umar
11 Februari 1899 atau 109 tahun lalu, bertepatan bulan Ramadhan,
Teuku Umar tersungkur jatuh dihantam peluru Belanda di Suak Ujong Kalak,
Meulaboh, saat para pejuang sedang menunaikan sahur, beliau langsung
roboh dan syahid dalam usia yang sangat produktif yaitu 45 tahun,
seluruh pasukan kacau balau, sebuah takdir dan ketetapan Allah berlaku.
Menurut beberapa sumber kematian tersebut disebabkan peluru yang
bersarang di dada sebelah kiri dan juga di usus besar.
Jenazah Ampon Meulaboh dibawa lari, ada versi mengatakan pelarian melalui Pucok Lueng,
Suak Raya tepatnya di dusun —kemudian diberi nama Dusun Kubah Pahlawan,
terus dilarikan ke Rantau Panyang – Pocut Reudep – Pasi Meungat dimana
beliau sempat dikuburkan selama 6 bulan disamping sang ibunda dan takut
diketahui Belanda kemudian dibongkar lagi dan dibawa ke Gunong Cot
Manyang dikuburkan 8 bulan dan terakhir dikebumikan di Meugo (sumber
Teuku Tjut Yatim dan Teuku Usman Basyah Asisten I Setdakab Aceh Barat,
turunan ketiga dari Teuku Umar).
4. Panglima Polem
Sampai saat ini belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai tanggal
dan tahun kelahiran Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, yang jelas ia
berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya bernama Panglima
Polem VIII Raja Kuala anak dari Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda
Mahmud Arifin yang juga terkenal dengan Cut Banta (Panglima Polem VII
(1845-1879). Mahmud Arifin merupakan Panglima Sagoe XXVI Mukim Aceh
Besar.
Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan salah seorang puteri dari Tuanku Hasyim Bantamuda, tokoh Aeeh yang seperjuangan dengan ayahnya. Dia diangkat sebagai Panglima Polem IX paada bulan Januari 1891 untuk menggantikan ayahnya Panglima Polem Raja Kuala yang telah berpulang ke rahmatullah. Setelah pengangkatannya sebagai Panglima dia kemudian mempunyai nama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda setia Perkasa Muhammad Daud.
Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan salah seorang puteri dari Tuanku Hasyim Bantamuda, tokoh Aeeh yang seperjuangan dengan ayahnya. Dia diangkat sebagai Panglima Polem IX paada bulan Januari 1891 untuk menggantikan ayahnya Panglima Polem Raja Kuala yang telah berpulang ke rahmatullah. Setelah pengangkatannya sebagai Panglima dia kemudian mempunyai nama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda setia Perkasa Muhammad Daud.
5. Teuku Nyak Arif
Teuku
Nyak Arif, setelah menamatkan Sekolah Dasar di Banda Aceh pada tahun
1908, meneruskan ke Sekolah Guru (Kweekschool) di Bukittinggi jurusan
pangrehpraja, kemudian melanjutkan ke OSVIA (Opleiding School Voor
Inlandsche Ambtenaren = Sekolah calon pangrehpraja) di Banten, tamat
tahun 1915. Ia memang disiapkan sebagai pegawai pamongpraja untuk
menggantikan ayahnya sebagai Panglima Sagi XXVI.
Sebenarnya
sejak 1911 ia sudah mewarisi kedudukan itu, namun karena masih terlalu
muda, ayahnyalah yang mewakilinya hingga 1919. Sejak kecil Nyak Arif
sudah tampak cerdas dan berwatak berani dan keras. Ia membenci Belanda
karena menganggapnya bangsa itu penjajah negerinya yang membawa
kesengsaraan rakyat Aceh. Sejak kecil ia sudah mengenal sumpah sakti
orang Aceh, "Umat Islam boleh mengalah sementara, tetapi hanya sementara
saja dan pada waktunya umat Islam harus melawan kembali". Kebenciannya
kepada Belanda itu menyebabkan ia bersikap melawan. Ia tidak mau
menerima tunjangan f 10,— setiap bulan yang disediakan pemerintah untuk
anak-anak Aceh yang belajar di luar Aceh. Di sekolahan ia tidak mau
tunduk kepada perintah gurunya, misalnya untuk menghapus tulisan di
papan tulis dan sebagainya.
6. Mr. Teuku Muhammad Hasan
Teuku Muhammad Hasan adalah Gubernur Wilayah Sumatera pertama setelah
Indonesia merdeka. Teuku Muhammad Hasan juga pernah menjabat sebagai
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 1948 hingga tahun
1949 dalam Kabinet Darurat. Selain itu dia dikenal sebagai seorang
pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia. Teuku Muhammad
Hasan dilahirkan dengan nama Teuku Sarong pada tanggal 4 April 1906 di
Sigli, Aceh. Dia adalah putra Teuku Bintara Peneung Ibrahim dengan Tjut
Manyak. Ayahnya, Teuku Bintara Pineung Ibrahim adalah Ulèë Balang di
Pidie (Ulèë Balang adalah bangsawan yang memimpin suatu daerah di Aceh).
Setelah berumur delapan tahun, Teuku Muhammad Hasan mulai memasuki
pendidikan formal, yakni Sekolah Rakyat (Volksschool) di Lampoih Saka
pada tahun 1914. Pendidikan dasarnya ini ditempuh selama dua tahun. Pada
tahun 1917, T.M.Hasan diterima di sekolah milik Belanda Europeesche
Lagere School (ELS) dan diselesaikannya pada tahun 1924.
Selepas menyelesaikan studinya di ELS, Hasan melanjutkan sekolah
menengah di Koningen Wilhelmina School (KWS) di Batavia yang kemudian
dilanjutkan dengan pendidikan di Rechtschoogeschool (Sekolah Tinggi
Hukum) Batavia. Pada usia 25 tahun, T.M. Hasan memutuskan untuk
bersekolah di Leiden University, Belanda. Selama di Belanda, dia
bergabung dengan Perhimpunan Indonesia yang dipelopori oleh Muhammad
Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdul Madjid Djojodiningrat dan Nasir Datuk
Pamuntjak.
Selain kesibukannya sebagai mahasiswa, Hasan juga menjadi aktifis
yang mengadakan kegiatan-kegiatan organisasi baik di dalam kota maupun
di kota-kota lain di Belanda. T.M. Hasan berhasil menyelesaikan studinya
di Leiden University dan mendapatkan gelar Meester in de Rechten
(Master of Laws) pada tahun 1933.
1 comments:
Bang untuk foto teuku fakinah bisa di update kembali ,, soalnya foto yang disitu tidak available lagi di bilang
Post a Comment