Ini Hanya Blog Biasa yang Menyediakan Informasi Hal-hal Menarik Tentang Aceh.
Kuah Pliek-U, Gulai Para Raja
Masakan atau gulai khas Aceh.
Okezine - Template
Mesjid Raya Baiturrahman
Saksi bisu sejarah Aceh.
Okezine - Template
Tari Saman
Satu ciri menarik dari tari Aceh
..
Prev 1 2 3 Next

Saturday, 29 September 2012

Mengenang Hazratusy Syeikh Muda Waly Al-Khalidy

Ayahku dilahirkan di desa Blangporoh, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan, pada tahun 1917. Tidak ada yang mengetahui dari famili beliau tentang hari, tanggal dan bulan, kapan beliau dilahirkan. Ini pada umumnya sering terjadi pada orang-orang tua kita zaman dahulu. Meskipun mereka itu ulama atau guru, tetapi soal mencatat hari dan tanggal kelahiran, lahirnya anak atau cucu, kurang begitu diperhatikan, selain hanya diingat, tahun kelahiran saja. Teramasuk diriku sendiri, untunglah aku mengetahui, bahwa hari dan tanggal kelahiranku tiba-tiba aku melihat catatan dari ayahku pada satu kitab, bahawasanya kelahiranku, adalah pada hari Rabu, atau Arba’a, 17 Disember 1936, pada pagi harinya (menurut kata ibukandungku).

Beliau adalah putera bungsu dari putera-puteri orang tua beliau yang bernama Syeikh Haji Muhammad Salim bin Malin Palito. Sebenarnya ada lagi adik beliau, tetapi meninggal dunia pada waktu beliau masih kecil.
Haji Muhammad Salim, orang tua ayahku berasal dari Batusangkar, Sumatera Barat. Kalau aku tidak salah ingat bahwa di Batusangkar itu ada sebuah desa, yang disebut dengan Koto Baru, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Aku telah datang ke desa itu pada waktu aku berusia lebih kurang 12 tahun, dibawa oleh ayahku pada waktu beliau melawat ke Sumatera Tengah, dan oleh karena aku dalam usia demikian sudah bisa pidato dan membaca kitab-kitab Tsanawiyah, maka aku diangkat oleh famili orang tuaku degan panggilan “Malim Kecik” yang ertinya “Alim Kecil.
 
Kakekku Haji Muhammad Salim bin Malin Palito datang ke Aceh Selatan adalah selaku da’i atau pendakwah dan juga sebagai guru agama. Di samping itu, pula paman beliau yang masyhur dipanggil oleh masyarakat Labuhan Haji dengan Tuanku Peulumat, yang nama aslinya ialah Syeikh Abdul Karim, lama telah mendahului beliau, merantau ke Aceh Selatan dan mengambil tempat tinggal di Kecamatan Labuhan Haji, juga selaku da’i guru dan ulama, menyebarkan nilai-nilai agama Islam. Dorongan itulah yang paling kuat bagi kakekku Haji Muhammad Salim, meninggalkan Sumatera Barat menuju Aceh Selatan dengan kapal layar perahu pada zaman itu.
 
Tidak lama setelah beliau, yakni kakekku itu berada di Kecamatan Labuhan Haji, di bawah kepimpinan pamannya itu, maka kakekku ada jodohnya, dengan seorang wanita pilihan yang bernama Janadar, puteri seorang Kepala Desa yang bernama Keucik Nya’Ujud, yang berasal dari Desa Kota Palak, Kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Itulah Ibu Kandung ayahku. Orang tua beliau seorang ulama dan ibu kandung beliau keturunan pemimpin masyarakat yang juga dikenal di Kecamatan Labuhan Haji.
 
Pada waktu orang tuaku masih kecil adik kandung beliau meninggal dunia, bahkan ibu kandung beliau sendiri Siti Janadat berpulang ke rahmatullah. Kalau aku tidak salah, bahwa nenekku itu meninggal dunia karena melahirkan. Ada yang mengatakan begitu. Maka tinggallah ayahku selaku anak yatim, kehilangan ibu kandungnya. Nenekku Siti Janadat itu paling dicintai oleh kakekku Haji Muhammad Salim, meskipun ayahku mempunyai kakak-kakak kandungnya yang laki-laki bernama Abdullah Ghani dan adiknya ialah Ummi Kalsum dan Siti Maliyah.
 
Meskipun kakak-kakak ayahku sangat mencintai adiknya, yakni ayahku, tetapi bagi kakekku tidak melepaskan ayahku dalam segala hal kepada kakek-kakaknya itu. Ayahku selalu digendong oleh kakekku di atas bahunya kemana saja beliau pergi mengajar dan berdakwah meskipun setelah itu kakekku Haji Muhammad Salim berumah tangga lagi di suatu desa dalam Kecamatan Manggeng, tetapi tidak lama karana kecintaan kakekku kepada ayahku adalah melebihi dari segala- galanya, termasuk atas isteri kakek yang baru, bahkan atas puteri-puterinya yang lain. Tentu kita dapat menggambarkan, bahwa kecintaan seorang ayah yang juga ulama, yang menjadi ikutan umat, terhadap anaknya senantiasa dibarengi dengan doa yang tiak putus-putusnya. Baik setelah selesai mengerjakan ibadah, atau di waktu sang ayah di mana kalbunya terlintas pada anaknya.
 
Menghayati yang demikian itu, maka aku yakin apa yang telah diceritakan oleh Syeikh Haji Teungku Adnan Mahmud Bakongan, sahabat dan murid orang tuaku, pemimpin Pesantren Ashabul Yamin di Bakongan Aceh Selatan, bahwa kakekku Haji Muhammad Salim bermimpi, bahwa bulan purnama turun ke dalam pangkuan beliau dan pada waktu itu ayahku sedang dalam kandungan ibundanya, Siti Janadat. Meskipun mimpi tidak dapat dijadikan dalil pada hukum, tetapi dalam pemahaman isyarat, banyak benarnya. Dan ini telah diungkapkan oleh al-Quran, yang menggambarkan mimpinya Raja Mesir dan kemudian dita’wilkan oleh Nabi Yusuf AS, Maka kalau dita’wilkan mimpi kakekku itu, maka nyatalah kebenarannya, bahwa puteranya yang dicintainya itu suatu waktu akan menjadi ulama besar, suluh penerang bagi umat manusia pada zamannya. Aku dapat mengatakan ha keadaan ini berdasarkan sedikit serupa bagi apa yang telah terjadi dari mimpi Yusuf AS yang kemudian beliau ta’wilkan sendiri, dengan beliau ungkapkan pada orang tuanya Nabi Ya’qub AS.
 
Nama ayahku pada waktu kecil ialah Muhammad Waly. Setelah beliau berada di Sumatera Barat, dalam saf para ulama Besar, maka beliau dipanggil dengan gelaran Angku Mudo, atau Tuanku Mudo Waly, atau Angku Aceh. Setelah beliau kembali dari Sumatera Barat ke Aceh, di Kecamatan Labuhan Haji pada khususnya,, masyarakat memanggil beliau dengan Teungku Muda Waly. Sedangkan beliau sendiri menulis namanya dengan Muhammad Waly atau secara lengkap Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy.
 
Sedangkan ibuku yang lain, Hajah Rabi’ah Jamil, ibu kandungnya adik-adikku Ahmad Waly dan Haji Mawardi Waly, pernah aku lihat pada sebuah buku kecil yang ditulisnya tentang rentetan nama orang tuaku: Syeikh Haji Muhammad Waly al Syafi’i Mazhaban wa al-Asy’ari Aqidatan wa al-Naqsyabandi Tariqatan. Tetapi ayahku tidak pernah menulis rentetan nama beliau dengan predikat yang demikian itu. Sebab ummiku Hajah Rabi’ah Jamil adalah puteri kandung Syekh Muhammad Jamil Jaho, seorang ulama besar di Sumatera Barat dan tidak ada puteri-puteri Syeikh Jamil yang agak alim, selain puteri beliau ummiku itu.
 
Pulang ke Aceh
Setelah ayahku berjuang menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang secara lahiriahnya seperti tidak teratur, tetapi pada hakikatnya bagi Allah SWT, perjalanan pendidikan beliau selama ini membawa beliau naik ke tingkat martabat ulama dan hamba Allah yang shalih. Maka dengan hasil perjalanan pendidikan ayahku serta pengalaman- pengalaman yang beliau dapati selama ini, rasanya bagi beliau sudah cukup dijadikan pokok utama untuk mengembangkan agama Allah ini dengan mendirikan pesantren di tempat beliau dilahirkan, di Blang Poroh Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan. Meskipun pada waktu itu kata Darussalam itu belum ada, dan adanya nama ini setelah beliau mendirikan pesantren di desa kelahiran beliau sendiri.
 
Lebih kurang pada akhir tahun 1939, beliau kembali ke Aceh Selatan melalui perahu layar dari Padang ke Aceh di Kecamatan Labuhan Haji. Ayahku disambut dengan meriah oleh ahli famili, para teman dan masyarakat, Labuhan Haji. Setelah beberapa hari beliau berada di desanya, maka beliau bertekad untuk membangun sebuah pesantren. Pembangunan sebuah pesantren kali pertama tentu seadanya saja. Maka ayahku hanya mendirikan kali pertama sebuah surau bertingkat dua. Pada tingkat dua di atas tempat tinggal ayahku beserta keluarga, sedangkan pada tingkat bawah dan yang masih tersisa di atas dipergunakan sebagai tempat ibadah.
 
Yang paling besar sekali hatinya dengan kepulangan ayahku ialah ayahanda beliau sendiri, yakni kakekku Haji Muhammad Salim. Meskipun ayahku memimpin upacara ibadah dalam arti yang luas, tetapi kakekku senantiasa berada di samping ayahku, turut membantu dalam memberikan penyampaian-penyampaian ajaran Islam secara lebih khusus terhadap para jamaah yang hadir.
 
Lahan tempat mendirikan musalla yang diberikan oleh famili ayahku adalah sangat terbatas, sedangkan jamaah umat Islam sudah mulai kelihatan berbondong-bondong datang ke surau ayahku. Ibu-ibu pada malam Selasa dan harinya, sedangkan bapak-bapak pada malam Rabu dan harinya pula. Oleh karena itu, maka ayahku ingin memperluas lahan untuk betul-betul mulai sebuah pesantren yang dapat menampung santri-santri dengan tempat tinggal sekalian, yang dalam istilah Aceh disebut dengan rangkang-rangkang. Maka beliau berusaha untuk membeli tanah sekitar surau yang ada. Beliau membeli tanah untuk pembangunan pesantren sedikit demi sedikit, hingga mencapai ukuran 400×250 m2. Di atas tanah itulah beliau menampung santri-santri yang berdatagan sedikit demi sedikit dari Kecamatan Labuhan Haji, dari Kecamatan-Kecamatan di Aceh Selatan, bahkan juga dari berbagai Kabupaten di daerah Istimewa Aceh. Berkembanglah pesantren itu, sehingga pelajar-pelajar dari luar daerahpun pada berdatangan, khususnya dari berbagai propinsi di Pulau Sumatera.
 
Pesantren itu beliau bagi-bagi atas berbagai nama, sebagai berikut:
Pertama: Daru Muttaqin, di bahagian ini terletak lokasi sekolah-sekolah, mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi dan di sampingnya dibangun sebuah surau besar selaku tempat ibadah. Khususnya dalam pengembangan Tariqat Naqsyabandiyah dan dijadikan tempat khalwah atau suluk, 40 hari dalam Ramadhan dengan 10 hari sebelumnya, 10 hari dalam Ramadan dengan 10 hari sebelumnya, 10 hari pada awal Zulhijjah, ditutup degan Id al-Adha dan 10 hari pada bulan Maulud, ditutup dengan hari besar Islam Maulid Nabi Muhammad SAW.
 
Kedua: Darul- Arifin; di lokasi ini bertempat tinggal guru-guru yang pada umumnya sudah berumah tangga dan lokasi agak berdekatan ke pantai, laut samudera Hindia.
Ketiga: darul Muta’allimin; di lokasi ini bertempat tinggal para pelajar pilihan di antaranya guruku Syeikh Idrus bin Abdul Ghani al-Kamfari. Aku sendiri dan adik-adikku beserta para penuntut ilmu pengetahuan lainnya. Keempat: Darus Salikin; di lokasi ini banyak tempat tinggal dalam asramanya pelajar-pelajr yang disamping menuntutu ilmu pengetahuan juga berkhalwah, apalagi pada bulan-bulan khalwah seperti bulan Ramadhan, bulan Maulud dan bulan Haji, maka asrama-asrama dilokasi ini banyak ditempati oleh orang-orang yang berkhawah. Kelima: Darul Zahidin; Keenam: Darul Ma’la.
 
Semua lokasi diatas dinamakan oleh ayahku dengan nama-nama tersebut, dengan harapan sebagai tafaul kepada Allah SWT. semoga para penuntut ilmu pengetahuan agama yang tamatan dari pesantren Darussalam benar-benar menjadi hamba Allah yang senantiasa belajar seumur hidup (al Muta’allimin), menjadi hamba-hamba Allah yang bertaqwa (al_Muttaqin), menajdi hamba-hamba Allah yang zahid, lebih mengutamakan akhirat dari dunia (al-Zahidin), dan menjadi hamba-hamba yang salih (al-Salikin) dan mendapat tempat yang terhomat, baik dalam pandangan masyarakat, apalagi dalam pandangan Allah SWT. (al-Ma’la). Oleh karena itu banyak cita-cita ayahku dalam pengembangan Islam di Aceh diperkenakan Allah. Karena itulah, hampir seluruh pesantren di Aceh adalah berpangkal dari pesantren ayahku Darussalam Labuhan Haji.
 
Oleh Prof Dr Muhibbuddin Waly
Sumber : Klick Disini
Baca Selengkapnya

Thursday, 27 September 2012

SBY: Aceh Contoh Sukses Pembangunan Perdamaian

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut Aceh sebagai contoh sukses proses pembangunan perdamaian pascakonflik bersenjata yang telah berlangsung selama beberapa dasawarsa.
Hal itu ditegaskan Presiden dalam pidatonya pada High Level Side Event on The New Deal Perspective of the G7+ yang diselenggarakan di New York, Rabu (26/09) waktu setempat.
“Proses pembangunan perdamaian adalah langkah penting bagi bangsa-bangsa yang ingin memperkuat dan mengkonsolidasikan perdamaian karena hal itu akan membuka peluang kemajuan dan pembangunan ekonomi,” katanya.

Kepala Negara kemudian menegaskan arti penting kolaborasi dan kemitraan global antara negara maju dan berkembang dalam proses pembangunan perdamaian.
Sebagaimana di Aceh, kata Presiden, mitra internasional memiliki peran krusial dalam pembangunan kapasitas perdamaian.

Presiden menilai sistem PBB, institusi keuangan internasional dan organisasi-organisasi kawasan harus memberikan dukungan dan bantuan untuk negara-negara yang sedang membangun perdamaian.
“Agar efektif maka dukungan internasional dari berbagai sumber tersebut memerlukan koordinasi dan kolaborasi dari semua aktor yang terlibat,” katanya. Ia juga menekankan keperluan untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas.

Oleh karena itu Presiden Yudhoyono mengapresiasi dokumen bersejarah yang disepakati oleh 17 negara anggota G7+, yaitu kelompok negara-negara rentan dan pascakonflik, untuk mengawal proses transisi dari negara-negara rentan itu menuju pembangunan dan perdamaian berkelanjutan.
“Dokumen itu mencerminkan semangat negara-negara G7+ untuk mewujudkan sebuah rencana guna membangun perdamaian,” katanya.

Presiden menyatakan bahwa Indonesia siap untuk berbagi pengalaman dan membantu upaya-upaya membangun perdamaian mengingat di dunia yang makin kompleks kali ini tidak ada satu negara pun yang dapat mengatasi seluruh tantangan global seorang diri.

Forum G7+ beranggotakan 17 negara yang dinilai rentan pasca mengalami konflik antara lain Afghanistan, Burundi, Chad, Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Haiti, Liberia, Sudan Selatan, Papua Nugini dan Timor Leste.

Sekalipun Indonesia tidak masuk di dalam kelompok itu, Presiden Yudhoyono meluangkan waktu untuk berbagi pengalaman dan pandangan Indonesia dalam upaya-upaya mengatasi konflik.
Selain Presiden Yudhoyono, PM Australia Julia Gillard, Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao, Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf dan Perdana Menteri Haiti Laurent Lamothe juga menyampaikan pidatonya dalam acara itu. 
sumber : www.seputaraceh.com (Visit Now)
Baca Selengkapnya

Beberapa Media Informasi (Koran) di Aceh yang Sangat Perlu Anda Ketahui

1. Koran Serambi Indonesia

Serambi Indonesia, adalah sebuah suratkabar harian yang terbit di Banda Aceh, Aceh sejak 1989. Awalnya, harian ini bernama Mingguan Mimbar Swadaya yang dipimpin oleh M Nourhalidyn (1943-2000). Manajamen yang kurang baik pada masa itu, membuat mingguan yang berdiri pada 1970-an tersebut sering tak terbit.

Tak ingin, korannya mati, M Nourhalidyn kemudian bersama sahabatnya Sjamsul Kahar yang juga wartawan KOMPAS di Aceh, mencoba menjajaki kerjasama dengan harian KOMPAS Jakarta. Alhasil duet Nourhalidyn - Sjamsul Kahar berhasil meyakinkan harian terbesar di Indonesia itu. Dan tepat pada 9 Februari 1989, mingguan Mimbar Swadaya akhirnya menjelma menjadi harian Serambi Indonesia. M Nourhalidyn duduk sebagai Pemimpin Umum dan Sjamsul Kahar sebagai Pemimpin Redaksi.

Dalam sejarahnya, Serambi sempat berhenti terbit karena diancam oleh Gerakan Aceh Merdeka, karena berita-beritanya dianggap lebih menguntungkan pihak TNI. Namun, hal itu dapat dilaluinya. Pada saat tsunami meluluhlantakkan Aceh pada Desember 2004, Serambi pun ikut menjadi korban. Kantornya yang megah berikut mesin cetaknya di kawasan Desa Baet, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, hancur lebur. Tak kurang 55 karyawan, 13 diantaranya adalah redaktur dan wartawan senior hilang dihempang tsunami. Mereka pun terpaksa berhenti terbit.

Namun pada 1 Januari 2005 Serambi kembali ke pasar dengan menggunakan mesin cetak miliknya yang ada di kota satelit Lhokseumawe.Kantor yang baru berada di kawasan Bandara Lambaro, Aceh Besar, Banda Aceh dan juga telah melakukan rekruitmen tenaga redaksi yang baru. Kini harian telah bertiras 35 ribu ex perhari itu dipimpin oleh Sjamsul Kahar, sebagai Pemimpin Umum dan Mawardi Ibrahim, sebagai Pemimpin Redaksi.

Terbit: Harian
Telp: (0651) 635544
Faks: (0651) 637180
Email: redaksi@serambinews.com
Alamat: Jl. Raya Lambaro KM. 4,5 Desa Meunasah Manyang, Banda Aceh
Website: www.serambinews.com
Provinsi: Aceh

2. Rakyat Aceh

adalah sebuah surat kabar harian yang terbit di Aceh, Indonesia. Surat kabar ini termasuk dalam grup Jawa Pos. Kantor pusatnya terletak di kota Banda Aceh. Koran ini pertama kali terbit tahun 1982.
Terbit: Harian
Telp: (0651) 35478
Faks: (0651) 33141
Email: rakyataceh@yahoo.com / metroaceh@yahoo.com
Alamat: Jl. T. Hasan – Batoh, Banda Aceh
Website: www.rakyataceh.com
Provinsi: Aceh

3. Harian Aceh

Terbit: Harian
Telp: (0651) 22297
Faks: (0651) 23275
Email: redaksi@harian-aceh.com
Alamat: Jl. T. Iskandar No. 54/56, Banda Aceh
Website: www.harian-aceh.com
Provinsi: Aceh

4. Pro Haba

Terbit: Harian
Telp: (0651) 635544
Faks: (0651) 637170
Email: prohaba@serambinews.com
Alamat: Jl. Raya Lambaro KM. 4,5 Desa Meunasah Manyang, Banda Aceh
Website: www.serambinews.com
Provinsi: Aceh

5. Modus Aceh

Terbit: Mingguan
Telp: (0651) 635322
Faks: (0651) 635316
Email: modus_aceh@yahoo.com
Alamat: Jl. T. Panglima Nyak Makam, Pertokoan Le Masen (samping BPK RI Aceh) Banda Aceh
Website: www.modusaceh-news.com
Provinsi: Aceh

6. Raja Post

Terbit: Mingguan
Telp: (0651) 43519
Faks: -
Email: redaksi@rajapost.com
Alamat: Jl. Pattimura No. 43, Blower, Banda Aceh
Website: www.epaper-rajapost.com
Provinsi: Aceh


Baca Selengkapnya

Ek Geunteut si Kaki Panjang


Ek Geuteut ialah salah satu permainan anak-anak Aceh yang sangat unik. Geunteuk diberi nama karena tingginya bambu yang dinaiki atau ditunggangi. Geuteut diolah dari bambu yang dipotong kira-kira tingginya 2 m, kemudian diberi tunggangan kaki sebagai pengijak. Permainan sangat diidolai oleh anak-anak pada musim liburan sekolah.

Baca Selengkapnya

Mari Mengenali Kerajaan Aceh Darussalam

Kesultanan aceh berdiri pada tahun 1514, terletak di ujung utara pulau Sumatra. Pendirinya adalah sultan Ali Mughayat Syah yang bertakhta dari tahun 1514 – 1530. Pada tahun 1520, beliau memulai kampanye militernya untuk menguasai bagian utara Sumatra. Dalam sejarah ini Kampanye pertamanya dilakukan di Daya, di sebelah barat laut, yang menurut Time Pires belum mengenal islam. Selanjutnya, Ali mughayat Syah melebarkan sayap sampai ke pantai timur yang terkenal kaya akan rempah-rempah dan emas.
Untuk memperkuat perekonomian rakyat dan kekuatan militer laut, didirikannya banyak pelabuhan. Penyebrangan ke Deli dan Aru adalah perluasan daerah terakhir yang dilakukan oleh sultan Ali Mughayat. Sultan juga mampu mengusir garnisun POrtugis dari daerah Deli, yang meliputi Pedir dan Pasai. Namun saat penyebrangan terhadap Aru (1824), tentara Ali Mughayat dapat dikalahkan oleh Armada Portugis.
Selain mengancam portugis sebagai pemilik kekuatan militer laut di kawasan itu, aksi militer Sultan Ali Mughayat Syah ternyata juga mengancam Kesultanan Johor. Pada tahun 1521 kesultanan Aceh diperluas sampai Pidie, dan pada tahun 1524 ke pasai dan Aru, kemudian menyusul Perlak, Tamiang, dan Lamuri. Kesultanan Aceh Darusalam merupakan kelanjutan dari kesultanan Samudra pasai yang hancur pada abad ke 14.

Ada beberapa versi sejarah lain mengenai terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam. Menurut Hikayat Aceh, Aceh Darusalam adalah persatuan dua kerajaan yang masing-masing diperintah oleh Sultan Muzaffar Syah (Pidie) dan raja Inayat Syah (Aceh Besar), dua orang bersaudara. Suatu saat pecah peperangan antara keduanya, dan dimenangi oleh Muzaffar Syah. Dia menyatukan Pidie dan Aceh Besar, lantas memberinya nama Aceh Darussalam.


Kesultanan Aceh Darussalam membawahkan enam kerajaan kecil; kerajaan Perlak, Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Tamiang, Kerajaan Pidie, Kerajaan Indrapura, dan Kerajaan indrajaya. Kitab Bustanus Salatin, kitab kronik raja-raja aceh, menyebut Sultan Ali Mughayat Syah sebagai sultan aceh yang pertama. Ia mendirikan Kesultanan Aceh dengan menyatukan beberapa kerajaan kecil tersebut. Pusat kesultanan adalah . Banda Aceh, yang juga disebut Kuta Raja.

Banda Aceh sebagai Bandar niaga tidak terlalu kecil untuk pelabuhan kapal-kapal besar pada abad ke 16. pelabuhan banda aceh mudah dirapati oleh berbagai jenis kapal dagang. Maka, aceh pun semakin ramai. Apalagi sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis, para saudagar muslim lebih memilih berlabuh di Banda Aceh. Tak hanya pedagang Muslim, pedagang asing non portugis pun juga turut meramaikan pelabuhan Banda Aceh, sehingga kesultanan Aceh mendapatkan banyak keuntungan.

Dalam sejarah selama masa pemerintahannya, kesultanan Aceh telah diperintah oleh banyak sultan. Mereka adalah
- Sultan Ali Mughayat Syah (1514 – 1530)
- Sultan Salahuddin (1530 – 1538)
- Sultan Alauddin Ri’ayat syah Al-Qahhar (1538 – 1571)
- Sultan Husain (1571 – 1579)
- Sultan Muda (masih kanak-kanak) (1579, hanya beberapa bulan)
- Sultan Sri Alam (1579)
- Sultan Zainul Abidin (1579)
- Sultan Buyung (1586 – 1588)
- Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayid al-Mukammal (1589 – 1604)
- Sultan Ali R’ayat Syah (1604 – 1607)
- Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636)
- Sultan Iskandar Tsani (1636 – 1641)
- Sultanat Safiatuddin Tajul Alam (1641 – 1675)
- Sultanat Naqiyatuddin Nurul Alam (1675 – 1678)
- Sultanat Inayat Syah (1678 – 1688)
- Sultanat Kamalat Syah (1688 – 1699)
- Sultan Badrul Alam Syarif hasyim jamaluddin (1699 – 1702)
- Sultan Perkasa Alam syarif Lamtury (1702 – 1726)
- Sultan Jauharul Alam badrul Munir (1703 – 1726)
- Sultan Jauharul Alam Aminuddin (hanya beberapa hari)
- Sultan Syamsul Alam (hanya beberapa hari)
- Sultan Johan (1735 – 1760)
- Sultan Mahmud Syah (1760 – 1781)
- Sultan Badruddin (1764 – 1765)
- Sultan Sulaiman Syah (1773)
- Sultan Alauddin Muhammad (1781 – 1795)
- Sultan Alauddin Jauharul Alam (1795 – 1815)
- Sultan Saiful Alam (1815 – 1818)
- Sultan Jauharul Alam (1818 – 1824)
- Sultan Muhammad Syah (1838 – 1870)
- Sultan Mansyur Syah (1838 – 1870)
- Sultan Mahmud Syah (1870 – 1874)
- Sultan Muhammad Daud Syah (1878 – 1903)
Pada tahun 1521, kesultanan Aceh di serah oleh armada Portugis yang dipimpin oleh Jorge D. Britto. Akan tetapi, serangan itu dapat dipatahkan oleh sultan Ali Mughayat Syah.
Pada tahun 1530, Ali Mughayat Syah meninggal dunia, lalu tahta Aceh Darussalam dipegang oleh putra sulungnya, Sultan Salauddin. Pada masa Salahuddin, tepatnya pada tahun 1537, Aceh Darussalam Aceh melancarkan serangan ke malaka yang dikuasai protugis.
Sayang sekali, sultan Salahduddin dipandang bersikap terlalu lunak dengan memberi peluang kepada misionaris portugis untuk bekerja di tengah-tengah batak di daerah pantai timur sumatra. Ia juga dipandang kurang memperhatikan urusan Pemerintahan. Maka kemudian Salahuddin diganti oleh saudara, Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahhar, pada tahun 1538.
Pada masa pemerintahan sultan Alauddin al-Qahhar, kesultanan Aceh menyerang malaka sebanyak dua kali, yaitu pada tahuhn 1547 dan 1568. menurut Musafir portugis, Mendez Pinto, pasukan aceh kala itu memiliki tentara dari berbagai negara, diantaranya dari Turki, Cambay dan malabar. Hal itu menunjukkan bahwa hubungan diplomatik yang baik telah dijalankan oleh sultan Alauddin al-Qahhar. Bukti lain tentang hubungan diplomatik yang baik telah dijalankan oleh sultan Alauddin al-Qahhar. Bukti lain tentang hubungan diplomatik tersebut adalah kabar bahwa Sultan juga mengirism utusan diplomatik ke luar negeri. Misalnya pada tahun 1562 utusan dikirim ke istambul untuk membeli meriam dari sultan Turki. Sultan Alauddin al-Qahhar pun mendatangkan ulama-ulama dari India dan Persia untuk menyebarkan risalah Islam, membawa para ulama ke pedalaman Sumatra, mendirikan pusat Islam di ulakan, serta membawa islam ke minangkabau dan indrapura, sultan al-Qahhar meninggal dunia pada tanggal 28 September 1571.
Menyusul meninggalkanya sultan Alauddin, terjadilah ketegangan dalam proses pergantian kekuasaan, hingga kemudian seorang ulama tua bernama Sayyid al-Mukammil disepekati menjadi raja. Kemudian pada masanya, Ali R’ayat Syah muncul menggantikan al-Mukammil.
Pada tahun 1607, aceh diserbu Portugis. Sultan Ali Ri’ayat syah gugur dalam serbuan itu. Untunglah kemudian seorang pemuda yang cemerlang muncul mengatasi keadaan. Dialah Iskandar muda, keponakan Sultan. Iskandar muda bangkit memimpin perlawanan, hingga mampu menendang Portugis keluar dari Aceh Darussalam. Kitab Bustanun Salatin menyebutkan bahwa kemudian Iskandar Muda dinobatkan sebagai sultan pada 6 Dzulhijjah 1015, atau awal April 1607.
Iskandar muda merupakan sosok yang tegas dan keras. Para bangsawan kerajaan dikontrolnya dengan ketak. Mereka diharuskan ikut melaksanakan tugas jaga malam di istana setiap tiga hari sekali, tanpa membawa senjata. Setelah semua terkontrol, iskandar muda memegang kendali produksi beras. Di masanya, kesultanan Aceh Darussalam mengekspor beras ke luar wilayah. Sultan memperketat pajak kelautan bagi kapal-kapal asing, mengatur pajak perniagaan, bahkan juga mengenakan pajak untuk harta kapal haram.
Dalam bidang militer, iskandar muda membangun angkatan perang yang sangat kuat. Seorang asing bernama Beaulieu mencatat jumlah pasukan darat Aceh sekitar 40 ribu orang. Untuk armada laut diperkirakan memiliki 100 – 200 kapal, diantaranya kapal selebar 30 meter dengan awak 600 – 800 orang yang dilengkapi dengan tiga meriam. Ia juga mempekerjakan seorang asing kulit putih sebagai penasehat militer, yang mengenalkan teknik perang bangsa eropa. Diperkirakan, penasehat tersebut berasal dari Prancis.
Dengan kekuatan militer yang begitu ampuh, aceh menjebol benteng Deli. Beberapa kerajaan lain juga ditaklukkan, seperti Johor (1613), Pahang (1618), Kedah (1619), Serta Tuah (1620).
Kesultanan Aceh mengalami zaman keeemasan pada periode kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636). Sebagaimana telah disebutkan, Iskandar Muda berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari tanah Aceh. Permusuhan Aceh dengan portugis tidak berhenti di situ saja. Sebab pada masa kepemimpinannya Iskandar muda pula, Aceh Darussalam menyerbu portugis di selat malaka.
Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan besar-besaran terhadap Portugis di Malaka. Dengan armada yang terdiri atas ratusan kapal perang dan puluhan ribu tentara laut, Aceh menghantam Portugis. Serangan dilakukan dalam upaya memperluas pengaruh politik dan perdagangan Aceh atas selat Malaka dan Semenanjung Melayu. Sayang sekali, meski aceh telah berhasil mengepung malaka dari segala penjuru, penyerangan ini berhasil ditangkis Portugis.
Selain dalam bidang militer, aceh pada zaman Iskandar Muda juga berjaya di lapangan ilmu pengetahuan. Dalam sastra dan ilmu agama, aceh melahirkan beberapa ulama ternama. Dua yang menonjol adalah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Keduanya merupakan ilmuwan-ilmuwan yang mendalami ilmu-ilmu tasawuf atau mistik islam.
Iskandar Muda meninggal dunia pada 29 rajab 1046 H atau 27 Desember 1636. dua tahun sebelumnya, iskandar muda telah menunjuk Iskandar Tsani sebagai penggantinya. Sang pengganti tersebut adalah menantu iskandar muda. Sebelum mengangkat menantunya itu, Iskandar Muda terlebih dahulu memerintahkan agar anaknya sendiri (yang berkah menjadi sultan) untuk dibunuh.
Sultan Iskandar Tsani (1634 – 1641) berperangai lebih lembut dari pada pendahulunya, dan tidak memrinah dengan tangan besi. Iskandar muda lebih menitik beratkan pembangunan negerinya pada masalah keagamaan ketimbang kekuasaan. Begitu pula istrinya, Sultanah Taju al-Alam Syafiatuddin Syah (1641 – 1675), yang menjadi pengganti Iskandar Tsani setelah suaminya itu wafat.
Pada awal pemerintahan Sultanah Taju al-Alam Syafiatuddin Syah, kegemilangan Aceh di bidang politik, Ekonomi dan militer mulai menurun. Sebab, sebagian orang tidak cukup senang dengan kepemimpinan perempuan. Sehingga, kekuasaan para uleebalang (hulubalang) juga meningkat karenanya.
Setelah Sultanah Taju al-Alam Syafiatuddin Syah, tiga perempuan memegang kendali kerajaan Aceh. Mereka Sultanah Nurul Alam Zakiatuddin Syah (1675 – 1677), Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (1677 – 1688), dan Ratu Kamalat (1688 – 1699).
Saat kesultanan Aceh dipimpin oleh sultan Iskandar Tsani, di Aceh tinggal ulama Asal Gujarat, yakni Syekh Nuruddin ar-Raniri. Ulama ini menulis kitab Siratal Mustaqim, mengenal ibadah dalam islam. Atas permintaan sultan, ia menulis pula kitab Bustanus Salatin, yang menjadi karya terpopulernya.
Atas perlindungan Sultan Iskandar Tsani, Nuruddin ar- Raniri menyatakan terlarangnya ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Menurut fatwa Nuruddin, pemahaman keagamaan hamzah dan Syamsuddin tidak sesuai dengan ajaran islam yang asli. Lebih jauh lagi, Nuruddin ar-Raniri memimpin pembakaran buku-buku karya kedua ulama pendahulunya itu.
Saat tahta sultan Iskandar Tsani beralih ke Sultanah Taju al-Alam Syafiatuddin Syah, Nuruddin ar-Raniri meninggalkan Aceh. Posisinya sebagai ulama besar kerajaan digantikan oleh Abdurrauf as-Singkeli. Ulama ini juga dikenal dengan nama Teungku Syiah Kuala. Atas permintaan Sultanah, pada tahun 1663 Abdurrauf as-Singkeli menulis kitab Mir’at at-Tullab fi tahsil Ma’rifat Ahmad asy Syari’iyyah li al Malik Wahhab atau cermin bagi mereka yang menuntut ilmu Fikih pada memudahkan mengenal segala hkum Syara Allah.
Mengiringi penulisan kitab-kitab karya Abdurrauf, Sultanah Taju al-Alam juga menggalakkan pendidkan Agama Islam melalui Jamiah Baiturrahman di banda Aceh, dan mengirim Al-Qur’an serta kitab-kitab karangan ulama aceh kepada raja-raja ternate, Tidore, dan Bacan di Maluku, selain mengirimkan pula guru-guru agama Islam.
Sultanah berikutnya adalah Sri Ratu Niqiyatuddin Nurul Alam, kemudian inayat syah, dan terakhir Kamalat Syah. Pada tahun 1699, pemerintahan sultanah atau sultan perempuan dihentikan. Sebab yang melatarbelakanginya cukup serius, yakni fatwa dari Mekah yang menetapkan bahwa syariat islam melarang wanita untuk memerintah negara.
Kesultanan aceh pada permulaan abad ke 18 mengalami serangkaian perebutan tahta. Beberapa sultan yang saling bersaing berasal dari golongan Sayid, yaknik keturunan Fatimah binti Nabi Muhammad SAW, yang lahir di Aceh. Salah satu Sayid yang menjadi sultan adalah Jamalul Alam badrul Munir, yang memerintah pada tahun 1703 – 1726. sultan ini dijatuhkan pada tahun 1726, lalu setelahnya melancarkan perlawanan terhadap sultan-sultan sesudahnya, termasuk Sultan Ahmad Syah (1727 – 1735) dan putranya, Sultan Johan (1735 – 1760). Jamalul Alam akhirnya meninggal dalam pertempuran melawan Sultan Johan.
Di tahun 1816, Sultan Saiful Alam bertikai dengan Jauharul Alam Aminuddin. Jauharul Alam memenangi suksesi dan menjadi sultan Aceh dengan bantuan Inggris. Setelah itu, aceh mengikat perjanjian dengan Inggris yang diwakili oleh Thomas Stamford Raffles. Lewat perjanjian itu, inggris mendapat kesempatan berniaga di Kesultanan Aceh, dengan imbalan jaminan keamanan bagi Aceh dari Inggris. Perjanjian ini dibuat pada tanggal 22 April 1818.
Pada tanggal 17 Maret 1824, Inggris dan belanda membnuat perjanjian di london yang antara lain berisi penghormatan kedaulatan aceh oleh pihak Belanda. Pada tanggal 2 November 1871 ditandatangani Traktat Sumatra, perjanjian baru antara belanda dan Inggris dengan membatalkan perjanjian London. Perjanjian ini memberi kebebasan bagi Inggris untuk mengembangkan kekuasaan di Malaya, dan bagi Belanda untuk memperluas kekuasannya di Sumatra.
Pemerintahan kesultanan Aceh terus berjalan. Namun, pamornya lambat laun menyurut. Pertikaian internal terjadi tak kunjung henti. Sementara, pusat kegiatan ekonomi dan politik bergeser ke selatan ke wilayah Riau – Johor – Malaka. Aceh baru muncul lagi dua abad kemudian, yaknik pada akhir abad 19. saat itu, belanda berusaha menguasai wilayah tersebut. Perlawanan para bangsawan Aceh pun terjadi. Sekali lagi, sejarah aceh diwarnai oleh kepemimpinan kaum perempuan, yakni melalui perlawanan Tjut Nya’ Dhien. Dengan alasan mengalahkan Tjut Nya’ Dhien, belanda melanggar kedaulatan Aceh dengan menyerbu ibukota Kesultanan Aceh pada tahun 1873, menduduki Banda Aceh, serta kota-kota pantai lainnya. Pada januari 1874, istana kesultanan aceh dapat direbut Belanda. Sehingga, belanda menyatakan Aceh menjadi kepunyaan pemerintah Hindia beladan dan Kesultanan Aceh Darussalam dihapuskan.
Dalam kondisi demikian, perjuangan rakyat aceh belum berhenti. Sultan Mahmud syah yang berhasil meloloskan diri dari penyergapan Belanda masih terus bergerilya. Setelah akhirnya Mahmud Syah meninggal karena sakit, perjuangan melawan penjajah dilanjutkan oleh rakyat aceh beserta para panglima tanah Rencong, sampai tahun 1903.

Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, M. Hariwijaya, S. S., M.S.i.
Baca Selengkapnya

Wednesday, 26 September 2012

Pejuang Aceh yang Akan Menjadi Pahlawan Nasional

NAMA-NAMA PEJUANG YANG AKAN DIUSULKAN MENJADI PAHLAWAN NASIONAL INDO NESIA
  1. Sultan Ali Mughyatsyah (1509 – 1530) Pembangun Keraja-an Aceh Darussalam.
  2. Sultan Iskandar Muda (1606 – 1636) Pembavva Aceh ke zaman kemasyhurannya.
  3. Sultan Alaiddin Mahmudsyah (1870 – 1874) Menghadapi Ultimatum Perang dari Belanda.
  4. Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah (1878 – 1939) Menghadapi langsung perang dengan Belanda.
  5. Tuanku Hasyim Banta Muda (1858 – 1897) Jendral Besar, Menteri Perang/Pem. Sultan Aceh.
  6. T. Panglima Polem Mahmud Cut Banta (1879) Mengalahkan Belanda pada Agresi I.
  7. Tgk. Di Meulek Said Abdullah Aljamalullail, Let. Jen./Wakil Panglima Besar.
  8. 8.        T. Imum Lueng Bata Panglima Dalam, Melawan Belanda sejak Agresi I s/d ajalnya.
  9. T. Panglima Polem Ibrahim Muda Kuala (1891), Melawan Belanda sejak Agresi I s/d ajalnya.
  10. Teuku Paya Simpang Ulim, Ketua Dewan Delapan dan berjuang hingga ajalnya.
  11. Tgk. Chik M. Amin Ditiro, syahid di benteng Aneuk Galong 1896.
  12. T. Panglima Nyak Makam, syahid di Lam Nga dan Kepalanya diarak Belanda kel. kota.
  13. Teuku Ibrahim Lam Nga, syahid di Gle Tarum 1878 (suami pertama Cut Nyak Dien).
  14. Tgk. Haji Fakinah, Panglima Pasukan Srikandi Aceh.
  15. Lamsemana Keumala Hayati, Panglima Angkatan Laut Wanita Aceh di abad XVI.
  16. Teuku Imum Lam Krak, syahid tgl 9-4-1873 di hari pertama perang Aceh.
  17. Teuku Rama Setia, syahid tgl. 9-4-1873 di hari pertama pe­rang Aceh.
  18. T. Raja Fakeh Dalam Pidie, Panglima Barisan dari Pidie.
  19. T. Muda Cut Lateh Meureudu, Panglima Pasukan dari Meureudu dan telah berjuang 1863.
  20. T. Nyak Lam Uleebalang Teunom, Panglima Barisan Aceh Besar, syahid.
  21. Teungku Chik Tanoh Abee, Panglima dan Ulama Besar.
  22. Teungku Chik Di Kuta Karang, Panglima dan Ulama Be­sar.
  23. Teungku Chik Pante Kulu, Pe­juang dan Pengarang Hikayat Perang Sabil.
  24. Teuku Nanta Setia, Ayah Cut Nyak Dien, berjuang hingga akhir hayatnya.
  25. Teuku Panglima Polem M. Daud, Panglima Grilyawan 1891 – 1903 Panglima Sagi XXII muk.
  26. Tuanku Raja Keumala, Pemim. Grilyawan/Ulama, pembaharu pendidikan di Aceh.
  27. Teuku Syah Lidrus, syahid 12-12-1873 di-mukim III Tungkop.
  28. Tgk. Haji Ali, syahid tgl. 13-12-1873 di Cot Paya Tungkop.
  29. T. Panglima M. Arif Montasiek, bejuang sampai ajal 1875.
  30. T.. Ali Baet, Uleebalang Baet XXII mukim, syahid.
  31. T.R. Abdullah P. Polem, syahid di Aneuk Galong th. 1878.
  32. Teuku Keunaloe Seulimum, Panglima Pasukan Seulimum, berjuang hingga ajalnya.
  33. T.R. Abdullah Lam Kabeue, syahid di Glee Yeung 1878.
  34. T. Ajat Muda Ie Alang, berju­ang hingga akhir hayatnya.
  35. T. Muda Ben, adik Panglima Polem, berjuang hingga akhir hayatnya.
  36. T. RAJA Bintang, paman P. Polem, berjuang hingga ajalnya
  37. T. Muda Haji, saudara P. Po­lem, berjuang hingga ajalnya.
  38. T. Cut Blang, saudara P. Po­lem, berjuang hingga ajalnya.
  39. T. Muda Lateh LAM Leuot, berjuang sampai ajalnya.
  40. T. Po Amat Lam Nga, ayah T. Ibrahim Lam Nga, syahid di permulaan agresi ke II.
  41. T. Ujung Arun, ayah Panglima Nyak Makam, syahid dalam permulaan agresi ke II.
  42. Tgk Chik Umar Lam U, syahid di Lam U.
  43. T. Hasan Bin T. Paya, syahid di Ulee Lheue.
  44. T. Tuanku Hitam, syahid di Gunung Biram 1878.
  45. T. Muhammad Batee, syahid di Batee Pidie.
  46. Tuanku Nurraden, dibuang Belanda.
  47. Pocut Meurah Biehe, Syahid.
  48. T. Ibrahim MonTasiek, sya­hid.
  49. T. Johan Lam Pase, ditawan dan diasingkan Belanda.
  50. Habib Meulaboh, syahid.
  51. Teunku Cot Plieng, syahid.
  52. T. Polem Dalueng, syahid.
  53. Tgk, Kubat, syahid.
  54. Tgk. Chik Di Ribee, syahid.
  55. Tgk. Alue Keutapang, syahid.
  56. Tgk. Cot Cicem, syahid.
  57. Tgk. Leman Tong Peria, syahid.
  58. Habib Teu in Wan, syahid.
  59. Tgk. Imum Rifin Lam Sujen, syahid.
  60. Tgk. Chi’ ditiro Mayet, syahid.
  61. Tgk. Chi’ Ditiro Ma’ad, syahid
  62. Tgk. M. Ali Ditiro, 21 Mei 1910 syahid.
  63. Tgk. Harun, syahid.
  64. T. Bentara Seumasat Glumpangpayong H. Gam, di-inter-nir ke Jawa.
  65. T. Keumangan Pocut Usman,
  66. T. Keumangan Abdul Latif, di internir ke Betawi.
  67. Pocut Dirambung, diintenir ke Betawi.
  68. Pang Sane, syahid.
  69. Pang Andah, syahid.
  70. Panglima Dagang Blang Jeurat syahid.
  71. Peutua Gam Masin, syahid.
  72. T. Chi’ Pante Geulima Meureudu, 1901 syahid.
  73. Teungku Haji Muda Muham­mad Hanafiah, 1901 syahid.
  74. T. Muda Dalam Lam Beusou,
  75. Tgk. Muda Usuh Lam Siron, syahid.
  76. Tgk. Nyak Hasan Lam Nyong, syahid.
  77. Tgk. Nyak Dalam Keumire, syahid.
  78. T. Maharaja Mansur Meureudu, syahid.
  79. T. Chi’ Lam Pisang Cot Lam Gle, syahid.
  80. Panglima Abas Montasiek, syahid.
  81. Pang Rudeuep, syahid.
  82. Tgk. Mu’id Lhong, syahid.
  83. T. Ben Peukan Meureudu, di internir ke Betawi, syahid.
  84. T. Bentara Titeue, tewas.
  85. T. Imeum Lam Ara, syahid.
  86. T. Keuchi’ Ali Mamprei, sya­hid,
  87. Pang Amad Krueng Kalee, syahid.
  88. Imeum Lam Teungoh Mukim VI, syahid.
  89. Said Ujud, syahid.
  90. Panglima Ma’ Asan, syahid.
  91. Pang Leman, syahid.
  92. Pang Amad Lho’nga, 1899 sya hid.
  93. 94.    Imeum Lam Ara, 1899 syahid.
  94. 95.    T. Amad Krueng MA, syahid.
  95. Tgk. Mat Amin Lam Birah, 1899 syahid.
  96. Syekh Tou, 1899 syahid di Jreu.
  97. Nyak Leman, syahid di Jreu.
  98. Keuch’ Him, 1900 syahid.
100.T. Amad Gle Cut, syahid.
(No. 1 s/d 100 dari front Aceh Besar dan Pidie)
  1. T. Uleebalang Baro Krueng geukueh, syahid.
  2. 102.     T. Berahim Blang Me, syahid.
  3. Pang Kaoy Kruengraya, Aceh Besar, syahid.
  4. Tgk. Ali Gle Yeueng, syahid.
  5. T. Alibasyah, Geudong, Lam Kabeue, Aceh Besar syahid.
  6. T. Muda Lateh, Lam Kabeue, Aceh Besar syahid.
  7. T. Daud, Lam Kabeue, Aceh Besar syahid.
  8. Pang Ubit, di Batee Iliek syahid.
  9. Pang Makam, di Batee Iliek syahid.
  10. Panglima Tgk. Mata Ië, syahid
  11. Panglima Prang Beurahim, syahid.
  12. T. Husin Blang Gapui, syahid.
  13. 113.     Tgk. Di Aceh, syahid.
  14. Nyak Mamad Peureula’. tewas di Gayo 1901 syahid.
  15. T. Keujruen Krueng Kala Lhong, tewas di Gayo 1901 syahid.
  16. Tgk. Haji Harun, tewas di Rigaih 1903 syahid,
  17. Pang Amin, tewas di Rigaih 1903 syahid.
  18. Panglima Mahmud, tewas di Rigaih 1903 syahid.
  19. Panglima Cut, tewas di Meulabah, syahid.
  20. T. Pidie, tewas di Buloh Meulaboh, syahid.
  21. Imeum Gam Lam Kunyet, tewas di Tangse, syahid.
  22. Panglima Prang Meglih, syahid
  23. Pang. Asan, syahid di Teupin raya thn. 1903.
  24. Tgk. Haji Uma Peudue, syahid di Leungputu.
  25. Pang Polem, syahid di Lancok Pidie.
  26. T. Manyak Keumala, syahid 1903.
  27. T. Mahmud Keumala. syahid 27 Maret 1903.
  28. Pang Amat, syahid 27 Maret 1903;
  29. Keutjhi’ Puteh Blang Guci, syahid.
  30. Habib Usuh, Onou syahid ’03
  31. Keuchi’ Usman Tirou syahid 1903,
  32. Pang Cut Ubit, syahid 1903.
  33. Pang Seuman Busu, syahid 1903.
  34. Pang Asan Busu, syahid 1903.
  35. T. Keuiruen Musa, syahid.
  36. Tgk. Ma’ Ali, syahid 1903.
  37. Pang Njong, syahid 1903.
  38. T. Rajeu’, syahid 1903.
  39. Habib Wahab, Gigieng, syahid 1903.
  40. T. Bentara Blang Peudue, syahid 1903, Juli.
  41. Tgk. Mat Tahe, syahid 1903, Juli di Blue’,
  42. T. Raja, Lageun, syahid 1903 Juli.
  43. T. Beurdan, Lageun syahid 1903, Juli.
  44. Tgk. H. Kasem Cot Cicem, syahid.
  45. Pang Ngalan, syahid 1903, Juli di Cot Cicem.
  46. Tgk. Daud, syahid 1903, Juli di Cot Cicem.
  47. Pang Seuman, syahid 1903, Juli di Cot Cicem.
  48. Pang Asan, syahid 1903, Juli di Cot Cicem.
  49. Pang Ateue’, syahid 1903, Juli di Cot Cicem.
  50. Pang Andak, syahid 1903, di Ieleubeue.
  51. Nyak Muda Daud, syahid 1903 di Ieleubeue.
  52. Habih Garot, syahid 1903, di Ieleubeua.
  53. Tgk. Mat Seuman, syahid 1903 di Didoh.
  54. Pang Areh syahid 1903, di Cot Cicem.
  55. Tgk. Rahman Titeue, syahid 1903. September di Mangki.
  56. Panglima Prang Meureudu, syahid 1903, Desember di Mureue.
  57. Panglima Prang AH, syahid 1904 di Pasi Lho’
  58. T. Manyak, Keumal 5 syahid 1902, Oktober.
  59. Pang Dullah, syahid 1904, Pebruari di Cot Trieng.
  60. Pang Andak, syahid 1904, Maret di Lam Meulo.
  61. Pang Malem, syahid 1904, Ma di Lam Meulo.
  62. Tgk. Ibrahim, syahid 1904, Maret di Lam Meulo.
  63. T. Ibrahim Montasie’, syahid 1904, Maret di Geumpang.
  64. Tgk. Dorahman, syahid 1904, Maret di Geumpang.
  65. Nyak Muda, syahid 1904, April di Panteraja.
  66. Pang Arun, syahid 1904, April di Panteraja.
  67. Tgk. Lante Tirou, syahid 1904 April di Panteraja.
  68. Pang Dadeh syahid 1904 Juni di Panteraja.
  69. Pang Polem, syahid 1904 Mei di Aron.
  70. T. Ubit, syahid 1904, Mei di Aron.
  71. Pang Akob, syahid 1904, Juni di Aroja.
  72. Pang Andak, syahid 1904, Juni di Aron.
  73. Nyak Muda Daud, syahid 1904
  74. Keujruen Daud, syahid 1904, Desember di Cotmurong.
  75. T. Haji Gantoe, Pieung syahid 1904.
  76. Tgk. H. Seuman, Blue’, syahid 1904.
  77. Tgk. Aceh Busu, syahid 1904.
  78. Tgk. H. Him, syahid 1904.
  79. Tgk. H. Dullah, syahid 1904.
  80. Tgk. Amat Diman, syahid 1904.
  81. Di Rangkang Timu, sya­hid 1904.
  82. Pang Ulong, syahid 1904.
  83. Pang Saleum, syahid 1904.
  84. Pang Lah Peuduek, syahid 1904, Agustus 9.
  85. Tgk. Panglima Hasan Trienggadeng, syahid.
  86. T. Panglima Ma’e Trienggadeng, ditawan, kemudian dibebaskan.
  87. Tengku Tanohmirah, syahid 1904, Agustus 4.
  88. Teuku Di Klibeuet, syahid 1904, Agustus 4.
  89. Tengku Lambada Tirou, syahid 1904, Agustus 4.
  90. Pocut Husin III Mukim Kayee Adang, syahid 1904, Agustus 4.
  91. Tengku Ma’ Ali Tirou, syahid 1904, Mei.
  92. Tengku Di Paru, syahid 1904, Mei.
  93. Tengku Di Peureumeue, syahid 1904, Mei.
  94. Tengku Silang, syahid 1904,Mei.
  95. Haji Gantou, syahid 1904, Mei.
  96. Tengku H. Seuman, Blue’ Lam kabeue, syahid 1904, Mei.
  97. Datuk Muhammad Zein Simeulu, syahid 1904 di Sinabang.
  98. Datuk Tapa, syahid 1904, di Sinabang.
  99. Tengku Alue Keutapang Samalanga, syahid 1904, Oktober 22
  100. Tengku Mat Din, syahid 1904 22 di Kd. Pandrah.
  101. Tengku Chi’ Beureunun, syahid 1904, Okt0ber 22.
  102. Habib Bin Habib Samalanga, syahid 1904, Oktober 17 di Teupinmane.
  103. Tengku Tapa, syahid.
  104. Panglima Prang Ekeh, syahid di Aceh Utara.
  105. Usman Lampong Minyak, syahid di Aceh Besar.
  106. Inen Mayak Teri (Srikandi)
  107. syahid di Kutaraja.
  108. Pang Reje Gembera, syahid di Lukup.
  109. Penghulu Kemili, syahid di Tenge Besi.
  110. 1Pang Tengku Lebet, syahid di Tenge Besi.
  111. Pang Penulu Aman Beuramat syahid di Tenge Besi.
  112. Pang Lebe Nenggeri, syahid di Tenge Besi.
  113. Pang Nyak Gerem, syahid di Tenge Besi.
  114. Pang M Sabil Kebayakan, syahid di Mampak/Asir-asir.
  115. Panglima Prang Amin, syahid di Tengku Burnni Pante.
  116. Pang Bedel, syahid di Amuk Penyampuran.
  117. Pang Ramung, syahid di Amuk Penyampuran.
  118. Aman jalil, syahid di Amuk Penyampuran.
  119. Tengku Mude Bujang Kebayakan, syahid di Perang Bur KuL
  120. Tengku Kemala Reje, syahid di Perang Bur Kul.
  121. Empon Gayo, syahid di Perang Bur Kul
  122. Empun Negeri, syahid di Pertempuran Kanis.
  123. Tengku Teungoh, syahid di Pertempuran Kanis.
  124. Tengku Dedu, syahid di Per­tempuran Kanis.
  125. Petue Amin, syahid di Atu Sengkeh.
  126. Pang Sabil, syahid di Lenang Isaq.
  127. Panglima T. Raja Bedussamad syahid 1904 di Bambel Tanah Alas.
  128. Panglima Ma’ Husin, syahid 1878 di Penosan Gayo Luas.
  129. Panglima Guru Leman, syahid 1906 di Kutacane.
  130. Panglima Guru Edjem (Nejem) syahid 1904 di Blang keujeuren.
  131. Panglima Laot, syahid di Aceh Tenggara.
  132. Panglima Sagub, syahid. sda.
  133. Panglima Mamad, syahid sda.
  134. Panglima Tumbuk, syahid sda.
  135. Panglima Raja Mude wan Atan syahid sda.
  136. Panglima Raja Souib, syahid sda.
  137. Panglima Dasil, syahid sda.
  138. Panglima Metederil syahid sda
  139. Panglima Djiboen, syahid sda.
  140. Panglima Adjam, syahid sda.
  141. Panglima Djunim, syahid sda.
  142. Panglima Aman Djata, syahid sda.
  143. Panglima Keter, syahid sda.
  144. Panglima Titin, syahid sda.
  145. Panglima Dasin, syahid sda.
  146. Panglima Lebong, syahid sda.
  147. Panglima Mude Telaga Mekar, syahid sda,
  148. Panglima Bedu Mamas, syahid sda.
  149. Panglima Tumbuh, syahid sda.
  150. Panglima Lengat Trt. Pedi, syahid sda.
  151. T. Keuiruen Meukek, syahid 1904, Mei di Meukek.
  152. T. Keumangan Meurah Puteh, syahid 1904, Mei di Meukek.
  153. Tuanku Ahmad Batee, syahid 1904, Mei di Pidie/Batee.
  154. Tuanku Ibrahim Abdulmajid, syahid 1904, Mei di Pidie/ Batee.
  155. Tengku Lamcut Habib Teupin Wan, syahid 1905, di Tirou.
  156. Habib Umar, syahid 1905 di Tirou.
  157. Habib Husin, Lam Ilie, syahid 1905, di Tirou.
  158. Habib Gandu, syahid di Pidie.
  159. Habib Muhammad, syahi di Pidie.
  160. Habib Amad, syahid di Pidie.
  161. Tengku Chi’ Syahkubat, syahid di Pidie.
  162. Tengku Nyak Aceh, syahid di Pidie.
  163. Tengku Di Lamlo, syahid di Pidie.
  164. Tengku Doraman, syahid di Pidie.
  165. Tengku Andib, syahid di Pidie
  166. Tengku Usuih, syahid di Pidie.
  167. Tengku Lambuga, syahid di Pidie.
  168. Tengku Ahmad Saleh, syahid di Pidie.
  169. Tengku di Bueng, syahid di Pidie.
  170. Tengku Leman, syahid di Pidie
  171. Tengku Pakeh, syahid di Pidie
  172. Tengku Meurandeh, syahid di Pidie.
  173. Tengku Chi’ Di Jambi, syahid di Pidie.
  174. Tengku Di Samad, syahid di Pidie.
  175. Tgk. Ma’ Atnan Blang Rhi, syahid di Pidie.
  176. Tengku Andah, syahid di Pidie
  177. Tengku Hasyem, syahid di Pidie.
  178. Tgk. Cot Renem Di Tirou, syahid di Pidie.
  179. Tgk. Abdurrahman, syahid di Pidie.
  180. Tgk. H. Bantan, syahid di Pidie.
  181. Tgk. H. Ahmad, syahid di Pidie.
  182. Tgk. Polem Daluna, syahid di Pidie.
  183. T. Keuiruen Ubit Tangse, syahid di Pidie.
  184. Keuchi’ Seuman dan 3 anak buahnya, syahid 1907, dalam penyerbuan tangsi Belanda di Kutaraja.
  185. Imeum Raya Akub, syahid 1907, di Peusangan/Bireuen.
  186. Habib Umar, syahid 1907 di Peusangan/Bireuen.
  187. Imeum Hasan Brigen Lho’seumawe syahid 1907, di Lho’ Seumawe.
  188. Imeum Lah, syahid 1907, di Lho’ Sukon.
  189. T. Ben Seuleuma’, syahid 1907 di Lho’ Sukon.
  190. T. Sabon, syahid 1907, di Lho’ Sukon.
  191. T. Chi’Tunong Cut Muham­mad, syahid 1905, ditembak Belanda di Lho’ Seumawe.
  192. T. Gam Keujruen Ruah, syahid 1905, sda.
  193. Habib Jurong, syahid 1909, di Samalanga.
  194. Tgk. Asan, syahid di Pidie.
  195. Habib Ahmad, syahid di Pidie.
  196. Pang Wahid, syahid di Lho’ Seumawe.
  197. Ma’ Amin, Tgk. di Aceh, syahid 1909, di Lho’ Seumawe.
  198. Pang Cante, syahid.
  199. Pang Tahe, syahid.
  200. Pang Piah, syahid.
  201. Pang Daya. syahid.
  202. Pang Husin, syahid.
  203. Pang Lutan, syahid.
  204. Pang Syekh Maun, syahid.
  205. Pang Aron, syahid di Blangmangat.
  206. Pang Abah, syahid.
  207. Pang Beuramat, syahid di Peu toe.
  208. T. Muda Rayeu’, syahid.
  209. Tengku Di Lankahan, syahid.
  210. Tgk. Raman, syahid.
  211. Tgk. Pantonlabu, syahid.
  212. Tgk. Di Jambo Aye, syahid.
  213. Tgk. Imeum Alue Keutapang, syahid.
  214. Tgk. Cut, syahid.
  215. Tengku Ma’ Areh, syahid.
  216. Tengku Puteh Buah, syahid.
  217. Tengku Muhammad Nafiah, syahid.
  218. Tengku Leube Nga, syahid.
  219. Habib Hasyim, syahid.
  220. Tengku Muda Gantoe Keureutou, syahid.
  221. Imeum Chi’ Matang Raya, Ara Keumudo, sya’hid.
  222. Tgk. H. Adib, Matangkuli, syahid.
  223. Tgk. Imeum Blang Payabakong, syahid.
  224. Tgk. Adam, syahid.
  225. Leube Syam, Matangseuleuma syahid.
  226. Keudjmen Bukit, syahid.
  227. Imeum Bale Tuha, Hakim Krueng, syahid.
  228. Waki Him Meulaboh, syahid 1909.
  229. Rajo Dibukit Panglima Nain, syahid 1909.
  230. Tengku di Bukit, syahid 1910, 21 Mei di Aceh Utara
  231. Tgk. Chi’ Harun, syahid 1910 sda.
  232. Tgk. Ali Peutou, syahid 1910 sda.
  233. Tgk. Ismail Glumpang Payong, syahid 1910 sda.
  234. Tgk. Pi’ie Iboih, syahid 1910 sda.
  235. Tgk. Yet Lho’kayu, syahid 1910 sda.
  236. Tgk. Dayah Geumpang, syahid 1910 sda.
  237. Tgk. Saleh Tangse, syahid 1910 sda.
  238. Tgk. Saleh Tangse, syahid 1910 sda.
  239. Tgk. Rahman Tirou, syahid 1910 sda.
  240. T. Keujruen Leupo Geumpang syahid 1910 sda.
  241. Pang Sin, syahid 1910 Pebruari di Peusangan.
  242. Pang Cut Ahmad Rambong, syahid 1910 sda.
  243. Pang. Meureudu, syahid 1910 sda.
  244. T. Usuh, syahid 1910 sda. 371.
  245. T. Sabi, syahid 1910 sda.
  246. Pang Akob, syahid 1910 sda. 372.
  247. Tgk Imeum Ma’ Asan bin Putih, syahid 1910 sda.
  248. Habib Ahmad, syahid 1910 sda.
  249. Pang Ben, syahid 1910 di Blang Guron.
  250. T. Ben Uleebalang Samalanga, 37 syahid 1910 di Peusangan.
  251. Habib Musa, syahid 1910 sda.
  252. Panglima Blang Midan, syahid 1910 sda.
  253. Tgk. Di Payabakong, syahid 1910 di B.B. Ara.
  254. Tgk Di Andak, syahid 1910 sda.
  255. Tgk. Di Barat, syahid 1910 sda.
  256. Pang Lambot, internir.
  257. Imeum Meunna, syahid 1910 di B.B. Ara.
  258. Tgk. Seupot Mata, syahid 1910 sda.
  259. Tgk. Cut Hasyim, syahid 1910 sda.
  260. Tgk. Banta, syahid 1910 sda.
  261. Tgk. Lhon Keubeue, syahid 1910 sda.
  262. Tgk. Di Aceh, syahid 1910 sda.
  263. Panglima Prang Nanggroe, syahid 1910 sda.
  264. Tgk. Sumbou, syahid 1910 sda.
  265. Imeum Abah, syahid 1910 sda.
  266. Tgk. M. Saleh Bin Tgk. Seupot Mata, syahid 1910 sda.
  267. Cut Meutia, syahid 1910 .
  268. T. Raja Sabi, Keureutou, in­ternir.
  269. T. Makam, syahid 1910 di Keureutou.
  270. Si Juba, syahid 1910 sda.
  271. Cut Puteh, syahid 1910 di Pirah.
  272. Aman Berani, syahid 1910 di Gayo.
  273. Raje Puteh, syahid 1910 sda.
  274. Habib Jurong Samalanga, syahid 1910 Juli di Samalanga.
  275. Tgk. Daud, syahid 1910 di Mukim VII.
  276. Tgk. Asan Titeue, syahid 1910 di Titeue.
  277. Tgk. Putih, syahid 1910 sda.
  278. Panglima Prang Lampoco’, syahid 1910 sda.
  279. Kali Blangcut, syahid 1910 sda.
  280. Tengku Ali, syahid 1910 sda.
  281. Pang Thayeb, syahid 1910 sda.
  282. Pang Nalou ambeue, syahid sda.
  283. Pang Ben Seugou, syahid 1910
  284. Imeum Alue Keutapang, sya­hid 1910 di Lho’ Sukon,
  285. Tengku Cut, syahid 1910 sda.
  286. Tgk. Imeum Adeue Alue Lhok syahid 1910 di Alue Lho’
  287. Tgk. Musa, syahid sda.
  288. Tgk. ‘In, syahid sda.
  289. Tgk. Adan; syahid sda.
  290. Keupala Mansur, syahid sda.
  291. Panglima Nyak Gayo, syahid sda.
  292. T. Muda Peundeng, syahid sda.
  293. Tgk. Akbar Bin Aliddin, sya­hid 1911 sda.
  294. Tgk. Ulee Tutue, syahid sda.
  295. Tgk. Ma’ruf, syahid sda.
  296. Tgk. Abdulwahab Tanoh Abee, syahid 1911 di Pidie.
  297. Tgk. M. Saleh Bin M. Amin Tiro, syahid 1911 sda.
  298. Pang Bintang, syahid 1911 sda.
  299. Pang Abaih XXV Mukim, syahid 1911 sda.
  300. Pang Mat Piyeueng, syahid 1911 sda.
  301. Reje Kahar Gayo, syahid 1911 di Gayo.
  302. Lahidin, syahid 1911 sda.
  303. Lebe Grondong, syahid 1911sda.
  304. Pang Manap, syahid 1914, Nopember sda.
  305. Waki Tam, syahid 1914 di Meureubo.
  306. Muda Nyak Ben, syahid 1914 sda.
  307. T. Angkasah, syahid 1926 di Bakongan.
  308. T. Mulod, syahid 1926 sda.
  309. T. Cut Ali, syahid 1926 sda.
  310. T. Nago, syahid 1926 sda.
  311. Imeum Sabi, syahid 1926 sda.
  312. H. Yahya, syahid di Aceh Selatan.
  313. Tengku Chi’ Di Batee Tunggal syahid 1926 sda.
  314. T. Muda Lambeusou, syahid 1926 sda,
  315. Habib Mustafa Tapaktuan. syahid 1926 sda.
  316. Habib Putih, syahid 1926 sda.
  317. T. Mat Usuh Lamsiron, syahid 1926 sda.
  318. T. Putih Trumon, syahid 1926 sda.
  319. Nya’ Aceh Trumon, syahid 1926 sda.
  320. Datuk Nyak Neh, syahid 1926 sda.
  321. T. Nyak Dalam Keumire, syahid 1926.
  322. T. Chi’ Lampisang Cot Lam Gle, syahid.
  323. Pang Abaih Montasiek, syahid.
  324. Pang Reudeuep, syahid.
  325. T. Muda Nyak Malem Simpang Ulim, syahid.
  326. Tgk. Muhammad Diah Simpang Ulim, syahid.
  327. Panglima Prang Hakim Julok Cut, syahid.
  328. T. Bentara Peukan Julok Rajeu’ diinternir ke Mauluku.
  329. T. Panglima Nya’ Bugam Idi Cut, syahid.
  330. T. Syamsarif Idi Cut, diinter­nir ke Boven Digul.
  331. Tgk. Usuh Ulee Gajah, syahid.
  332. T. Bukit Pala Idi, syahid.
  333. Nyak Bahrum Idi, syahid.
  334. T. Panglima Kaum Lam Ba Et Peudawa, syahid.
  335. T. Abu Peudawa.
  336. T. Panglima Nyak Muhammad Peureulak, syahid.
  337. T. Meudagu Peureulak, syahid.
  338. Nyak Umar Alue Nireh, syahid.
  339. Panglima Prang Beuni Bayeuen syahid.
  340. T. Chi’ Bintara Blang Langsa. diinternir ke Ternate.
  341. Tuanku Ibrahim Manyak Pahet.
  342. T. Banta Afanad Sungai Yu, syahid.
  343. T. Panglima Dalam Ma’ Saleh S. Yu, syahid.
  344. Pocut Raja Ahmad Bendahara, syahid.
  345. Panglima Sya’ban Bendahara.
  346. Panglima Tanjung Bendahara.
  347. Datuk Bongkok Bendahara, syahid.
  348. Pang Hasan Bendahara, syahid.
  349. Pang Dasa, syahid.
  350. Panglima Sa’ad, syahid.

Baca Selengkapnya

Rupanya Ada Kehidupan di Pulau Baru Simeulue

Sebanyak 27 pulau baru yang muncul di permukaan perairan laut Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh, pascagempa bumi dan tsunami Desember 2004, kini sudah ada tanda-tanda kehidupan, kata Wakil Bupati setempat Hasrul Edyar.

“Dari hasil penelitian 2008, setelah gempa bumi dan tsunami lalu, ada 27 pulau kecil yang timbul di perairan laut Kabupaten Simeulue dan kini sudah ada tanda-tanda kehidupan,” katanya di Sinabang, Selasa.
Hasil survei Bakosurtanal RI, yang melibatkan TNI Angkatan Laut, Departemen Kelautan Perikanan, Departemen Perhubungan dan Medcoenergi tahun 2008, ada penambahan pulau di perairan Siemulue 27 buah.

Sebelumnya, pulau-pulau kecil yang ada di perairan laut Kabupaten Simeulue hanya 41 pulau, kini menjadi 68 pulau.

Lanjut Hasrul, pulau-pulau yang timbul itu saat ini sebahagian besar mulai ada tanda-tanda kehidupan alam, seperti rumput dan pohon-pohon liar, namun sebagian lagi masih tandus, berbentuk padang pasir.
Kabupaten Simeulue dengan ibukota Sinabang, merupakan salah satu kabupaten di Aceh yang berada kurang lebih 150 Km dari lepas pantai barat Aceh. Daerah ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat sejak tahun 1999.
Potensi yang dimiliki daerah kepulauan itu adalah peternakan, perikanan laut, perkebunan, dan kehutanan, serta pariwisata.

Hasrul menyatakan, dari sektor peternakan, salah satu andalan yang menjadi ciri khas adalah kerbau Simeulue yang meski ukurannya kecil, namun rasa dagingnya lebih manis daripada kerbau di daratan sumatera.

Kerbau ini banyak dijual keluar Pulau Simeulue, karena kualitasnya prima, harganya pun menjadi tinggi, katanya.

Dari sektor kelautan, lanjut dia, yang dalam beberapa tahun terakhir ini, Simeulue terkenal dengan lobster (udang laut) yang cukup besar ukurannya dan telah dipasarkan ke luar daerah seperti Medan (Sumatera Utara) Jakarta dan bahkan ke luar negeri, seperti Singapura dan Malaysia.
Dari sektor perkebunan, Kabupaten Simeulue pada era 1970 hingga 1990 terkenal dengan sentra produksi cengkeh terbesar di Aceh.

Namun, setelah cengkeh tidak ada, perkebunan rakyat lainnya yang kini mulai menonjol adalah kopra yang berasal dari pohon kelapa yang tumbuh subur di sepanjang pantai Pulau Simeulue dan kelapa sawit, sedangkan hasil hutan yang menjadi sumber utama pabrik meubel di Cirebon, Jawa Barat, adalah rotan.
Selanjutnya, Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) dan Lembaga Riset Geologi dan Kelautan Jerman (BGR) menemukan potensi minyak (hidrokarbon) dalam jumlah sangat besar di perairan timur laut Pulau Simeulue. Prediksi sementara jumlah kandungan minyak yang ada sekitar 107,5–320,79 miliar barel. 
 
sumber : seputaraceh.com (Visit Now)
Baca Selengkapnya

Monday, 24 September 2012

“Pulo Aceh Surga yang Terabaikan” kini menjadi Perhatian Dunia


Film dokumenter “Pulo Aceh Surga yang Terabaikan” yang masuk 10 besar Festival Film Dokumenter Internasional (International Documentary Film Festival/IDFF) akan diputar di Pusat Kebudayaan Kerajaan Belanda, Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta. Film karya R.A. Karamullah Cs itu akan diputar dua kali.

Film yang bercerita tentang kehidupan masyarakat Desa Meulingge, Kecamatan Pulo Aceh, Aceh Besar, itu akan diputar di Erasmus Huis Jalan H.R. Rasuna Said Kav. S-3 Kuningan, Jakarta, pada 27 September 2012 pukul 16.30 WIB dan 29 September 2012 pukul 09.30 WIB.

“Pulo Aceh Surga yang Terabaikan” masuk dalam 10 film terbaik SBM Golden Lens 2012, ajang yang digelar School of Broadcasting Media dan Erasmus Huis. Ajang ini diikuti tak kurang dari 100 film dari pelbagai daerah di Indonesia.

R.A. Karamullah, sutradara Pulo Aceh, mengaku senang film yang digarap bersama kawan-kawannya sesama mahasiswa itu diputar di pentas nasional. “Kami sangat senang. Sudah ditonton saja kami bangga,” kata pria yang akrab disapa RA ini kepada acehkita.com, Senin (24/9).

Setelah masuk dalam katagori 10 film terbaik, dua pembuat film Pulo Aceh ini (sutradara R.A. Karamullah dan kameramen Ahmad Ariska –red.) mendapat kesempatan mengikuti workshop selama dua pekan di School of Broadcasting Media di Utan Kayu, Jakarta Timur. 

Selain diputar di Erasmus Huis, film ini pernah diputar di Bandung, Jawa Barat, pada lomba film pariwisata. Film ini kembali diputar di Festival Media 2012 yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di Gedung Indonesia Menggugat Bandung pada 16 September 2012 lalu. 
 
sumber : www.acehkita.com (Visit Now)
Baca Selengkapnya

Yuk Ikuti "International Tsunami Games 2012" di Aceh


Kepada Bidang Olahraga Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Aceh, Nuzuli MS mengatakan event bertaraf internasional, Tsunami Games 2012 akan digelar di Aceh, Desember mendatang.
“Akibat tragedi bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami yang telah melanda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 lalu, yang telah meluluh lantakkan infrastruktur sarana dan prasarana di Aceh. Tragedi tersebut juga dirasakan oleh negara-negara terdekat antara lain Malaysia, Thailand, Srilangka, India, Suriname, bahkan sampai ke Negara Madagaskar. Dalam rangka mempererat rasa persaudaraan di antara sesama atlet yang terkena imbas tsunami saat itu, sangat layak para atlet ditemukan pada suatu event Internasional Tsunami Games yang dilaksanakan di Aceh,” ujarnya seperti dikutip SeputarAceh.com, Minggu (23/09) di laman International Tsunami Games.

Dengan alasan tersebut sangatlah tepat dilaksanakan di Aceh, mengingat event dan momen bertaraf internasional masih jarang dipusatkan di Aceh. “Momen tersebut sangatlah tepat, karena di Aceh belum pernah menyelenggarakan event bertaraf internasional,” tulisnya.
Salah satu event seperti Aceh Marathon 2012 ini tentu bisa membawa manfaat besar, selain dari sisi olahraga juga bentuk dari promosi pariwisata untuk mengenalkan Aceh pada dunia luar menyambut tahun kunjungan Visit Aceh 2013.

Gelaran acara yang dikemas dalam olahraga marathon ini ditargetkan lebih dari seribu pelari dari berbagai negara akan ikut ambil bagian, selain itu kategori lari maraton juga akan terbagi beberapa bagian, seperti Half Marathon dengan jarak 21.0975 km, lari 10K, Children’s Sprint dan kategori umum.

Event ini juga didukung oleh Pemerintah Aceh, Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Aceh, serta Lembaga Aceh Marathon, bagi Anda yang tertarik untuk informasi lengkap bisa menghubungi email panitia di acehmarathon@gmail.com atau kontak +62821 6334 7349, Mr Ibrahim sebagai panitia penyelenggara.

 sumber : seputaraceh.com (Visit Now)


Baca Selengkapnya

Saturday, 22 September 2012

Kenali Ragam Suku Dalam Masyarakat Aceh

 
Suku Aceh
Suku Aceh adalah nama sebuah suku yang mendiami ujung utara Sumatra. Mereka beragama Islam. Bahasa yang dipertuturkan oleh mereka adalah bahasa Aceh yang masih berkerabat dengan bahasa Mon Khmer (wilayah Champa). Bahasa Aceh merupakan bagian dari bahasa Melayu-Polynesia barat, cabang dari keluarga bahasa Austronesia.

Suku Aceh memiliki sejarah panjang tentang kegemilangan sebuah kerajaan Islam hingga perjuangan atas penaklukan kolonial Hindia Belanda.

Banyak dari budaya Aceh yang menyerap budaya Hindu India, dimana kosakata bahasa Aceh banyak yang berbahasa Sanskerta. Suku Aceh merupakan suku di Indonesia yang pertama memeluk agama Islam dan mendirikan kerajaan Islam. Masyarakat Aceh mayoritas bekerja sebagai petani, pekerja tambang, dan nelayan.


Suku Gayo
Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo di Aceh.

Suku Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan 3 kecamatan di Aceh Timur, yaitu kecamatan Serbe Jadi, Peunaron dan Simpang Jernih.

Selain itu suku Gayo juga mendiami beberapa desa di kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Tenggara.

Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo.


Suku Aneuk Jamee
Suku Aneuk Jamee adalah sebuah suku yang tersebar di sepanjang pesisir barat dan selatan Aceh. Dari segi bahasa, diperkirakan masih merupakan dialek dari bahasa Minangkabau. Namun, akibat pengaruh proses asimilasi kebudayaan yang cukup lama, kebanyakan dari Suku Aneuk Jamee, terutama yang mendiami kawasan yang didominasi oleh Suku Aceh, misalnya di wilayah Kabupaten Aceh Barat, Bahasa Aneuk Jamee hanya dituturkan di kalangan orang-orang tua saja dan saat ini umumnya mereka lebih lazim menggunakan Bahasa Aceh sebagai bahasa pergaulan sehari-hari (lingua franca). Adapun asal mula penyebutan "Aneuk Jamee" diduga kuat dipopulerkan oleh Suku Aceh setempat, sebagai wujud dari sifat keterbukaan Orang Aceh dalam memuliakan kelompok warga Minangkabau yang datang mengungsi (eksodus) dari tanah leluhurnya yang ketika itu berada di bawah cengkraman penjajah Belanda. Secara harfiah, istilah Aneuk Jamee berasal dari Bahasa Aceh yang berarti "anak tamu".

Suku Singkil
Suku Singkil adalah sebuah suku yang terdapat di kabupaten Aceh Singkil daratan dan kota Subulussalam di propinsi Aceh

Kedudukan suku Singkil sampai saat ini masih diperdebatkan, apakah termasuk dalam suku Pakpak suak Boang atau berdiri sebagai satu suku yang tersendiri terpisah dari suku Pakpak.


Suku Alas
Suku Alas merupakan salah satu suku yang bermukim di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh (yang juga lazim disebut Tanah Alas). Kata "alas" dalam bahasa Alas berarti "tikar". Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah itu yang membentang datar seperti tikar di sela-sela Bukit Barisan. Daerah Tanah Alas dilalui banyak sungai, salah satu di antaranya adalah Lawe Alas (Sungai Alas).

Sebagian besar suku Alas tinggal di pedesaan dan hidup dari pertanian dan peternakan. Tanah Alas merupakan lumbung padi untuk daerah Aceh. Tapi selain itu mereka juga berkebun karet, kopi,dan kemiri, serta mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan. Sedangkan binatang yang mereka ternakkan adalah kuda, kambing, kerbau, dan sapi.

Kampung atau desa orang Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh satu atau beberapa klan, yang disebut merge. Anggota satu merge berasal dari satu nenek moyang yang sama. Pola hidup kekeluargaan mereka adalah kebersamaan dan persatuan. Mereka menarik garis keturunan patrilineal, artinya garis keturunan laki-laki. Mereka juga menganut adat eksogami merge, artinya jodoh harus dicari di merge lain.

Suku Alas 100% adalah penganut agama Islam. Namun masih ada juga yang mempercayai praktik perdukunan misalnya dalam kegiatan pertanian. Mereka melakukan upacara-upacara dengan latar belakang kepercayaan tertentu agar pertanian mereka mendatangkan hasil baik atau terhindar dari hama.


Suku Tamiang
Penduduk utama kabupaten Aceh Tamiang adalah suku Melayu atau lebih sering disebut Melayu Tamiang.

Mereka mempunyai kesamaan dialek dan bahasa dengan masyarakat Melayu yang tinggal di kabupaten Langkat, Sumatera Utara serta berbeda dengan masyarakat Aceh. Meski demikian mereka telah sekian abad menjadi bagian dari Aceh.

Dari segi kebudayaan, mereka juga sama dengan masyarakat Melayu pesisir timur Sumatera lainnya.

Suku Kluet
Suku Kluet adalah sebuah suku yang mendiami beberapa kecamatan di kabupaten Aceh Selatan, yaitu kecamatan Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Tengah, dan Kluet Timur.

Suku Devayan
Suku Devayan merupakan suatu suku bangsa yang mendiami Pulau Simeulue. Suku ini mendiami kecamatan Teupah Barat, Simeulue Timur, Simeulue Tengah, Teupah Selatan dan Teluk Dalam.

Suku Sigulai
Suku Sigulai merupakan suatu suku bangsa yang mendiami Pulau Simeulue bagian utara. Suku ini terdapat di kecamatan Simeulue Barat, Alafan dan Salang.

Suku Batak Pakpak
Suku Pakpak adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Pulau Sumatera Indonesia dan tersebar di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara dan Aceh, yaki di Kabupaten Dairi,Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan( Sumatera Utara), Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Sabulusalam (Prov.Aceh.

Suku Pakpak terdiri atas 5 subsuku, dalam istilah setempat sering disebut dengan istilah Pakpak Silima suak yang terdiri dari :

Pakpak Klasen(Kab. Humbang Hasundutan Sumut]
Pakpak Simsim(Kab.Pakpak Bharat-sumut)
Pakpak Boang (Kab.Singil dan kota Sabulusalam-Aceh)
Pakpak Pegagan (Kab.Dairi-sumut)
Pakpak Keppas (Kab.Dairi sumut)

Dalam administrasi pemerintahan Suku Pakpak banyak bermukim di wilayah Kabupaten Dairi di Sumatera Utara yang kemudian dimekarkan pada tahun 2003 menjadi dua kabupaten, yakni:

Kabupaten Dairi (ibu kota: Sidikalang)
Kabupaten Pakpak Bharat (ibu kota: Salak)

Suku Pakpak juga berdomisili di wilayah Parlilitan yang masuk wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan dan wilayah Manduamas yang merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah. Suku Pakpak yang tinggal di wilayah tersebut menamakan diri sebagai Pakpak Klasen.

Suku Pakpak juga bermukim di wilayah Aceh khususnya di Kabupaten Aceh Singkil dan kota Sabulusalam yang disebut sebagai Pakpak Boang.

Suku Pakpak yang berdiam di Kabupaten Pakpak Bharat adalah Pakpak Simsim, sedangkan yang tinggal di kota Sidikalang dan sekitarnya merupakan suku Pakpak Keppas dan yang bermukim di Sumbul sekitarnya adalah Pakpak Pegagan.

Suku bangsa Pakpak mendiami bagian Utara, Barat Laut Danau Toba sampai perbatasan Sumatra Utara dengan provinsi Aceh (selatan).

Suku bangsa Pakpak kemungkinan besar berasal dari keturunan tentara kerajaan Chola di Indiayang menyerang kerajaan Sriwijaya pada abad 11 Masehi.


Suku Haloban
Suku Haloban merupakan suatu suku yang terdapat di kabupaten Aceh Singkil, tepatnya di kecamatan Pulau Banyak. Kecamatan Pulau Banyak merupakan suatu kecamatan yang terdiri dari 7 desa dengan ibukota kecamatan terletak di desa Pulau Balai.

Suku Lekon
Suku Lekon adalah sebuah suku bangsa yang terdapat di kecamatan Alafan, Simeulue di provinsi Aceh. Suku ini terdapat di desa Lafakha dan dan Langi.


sumber : id.wikipedia.org (Visit This Site Now)
Baca Selengkapnya

Friday, 21 September 2012

Cut Nyak Dien dan Perlawanannya Terhadap Imperialisme

Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang memiliki akal. (QS. Yusuf (12) : 111)

Pikirkanlah dengan dalam..! Betapa jauh perbedaan latar belakang wanita Aceh 358 tahun yang lalu itu dengan perjuangan wanita zaman sekarang.
Mereka itu didorong oleh semangat jihad dan syahid karena ingin menegakkan agama Allah dengan kaum laki-laki, jauh daripada arti yang dapat kita ambil dari gerakan emansipasi wanita atau feminisme zaman modern sekarang ini. (Kekaguman Buya Hamka atas keteguhan Cut Nyak Dien).
***
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya oleh karena itu belajarlah dari sejarah
Sejarah perempuan Indonesia bukah hanya membincangkan peran perempuan yang menuntut pendidikan dan kesetaraan di segala bidang, melainkan juga mengenai sejarah para perempuan yang pernah menjadi pemimpin sebuah kerajaan, negarawan maupun pemimpin militer. Di Aceh, misalnya sebut saja Laksamana Malahayati atau Ratu Nihrasiyah Chadiyn. Tetapi, jika kita maju hingga akhir abad ke-19 di masa Aceh berperang melawan penjajahan Belanda, maka kita akan bertemu dengan Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan Teuku Fakinah. Sayang, sejarah perjuangan mereka nyaris dilupakan bangsa.

Tentu kita bertanya, mengapa Aceh memiliki begitu banyak tokoh perempuan dalam melawan kaum imperialis? Menurut Teuku H. Ainal Mardhiah Aiy dalam artikelnya yang berjudul “Pergerakan Wanita di Aceh Masa Lampau sampai Masa Kini”, dijelaskan mengenai kedudukan perempuan di Aceh pada masa lampau. Perempuan Aceh diberi kesempatan dan penghargaan yang luar biasa untuk ikut serta dalam lembaga-lembaga negara serta kancah pertahanan karena Pemerintah Kerajaan Aceh Darussalam mengambil Islam sebagai dasar negaranya dan Kanun serta Hadits sebagai sumber hukumnya. Oleh karena itu, perempuan setara dengan laki-laki dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Maka adalah hal yang wajar jika banyak tokoh perempuan yang bermunculan dan berperan sama pentingnya dengan laki-laki di Aceh.

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas salah satu pahlawan perempuan Aceh yang telah disebutkan di atas, yaitu Cut Nyak Dien. Siapa yang tidak kenal beliau dalam perjuangannya mengusir penjajah? Insya Allah masyarakat dalam negeri ini mengenalnya. Akan tetapi, adakah yang mengetahui mengapa beliau sangat gigih melawan penjajah? Hal inilah yang kurang atau bahkan tidak diketahui oleh banyak orang.
Cut Nyak Dien adalah keturunan dari bangsawan puteri Nanta Seutia Raja Ulebalang VI Mukim. Berwajah cantik, baik budi pekertinya, tangkas tingkah lakunya, dan mempunyai watak yang luar biasa menjadi kata yang pas disematkan pada Cut Nyak Dien.[1] Nanta Seutia mengharapkan putrinya menikah dengan seorang yang mencintai negaranya. Maka, Cut Nyak Dien akhirnya menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga. Teuku merupakan seorang pahlawan yang memimpin peperangan melawan kolonial Belanda. Keduanya merupakan pasangan serasi dalam kepribadian, yaitu tegas dan tangkas dalam menyikapi “Kaphe (kafir) Belanda” yang merupakan musuh agama dan negara.

Perjuangan Cut Nyak Dien melawan Belanda hadir dalam bentuk upaya mengajar para wanita dalam hal mendidik bayi dan menanam semangat kepahlawanan melalui syair-syair yang menanam semangat jihad kepada anak-anak mereka. Ketika peperangan semakin memanas, Cut Nyak Dien terus menggembleng semangat para pejuang perempuan untuk turut serta membantu peperangan. Pun, ketika Teuku Ibrahim Lamnga gugur (29 Juni 1878), Cut Nyak Dien tidak larut dalam kesedihan dan berputus asa, melainkan sebaiknya beliau merasa bangga atas kemuliaan suaminya yang syahid.

Seiring dengan berjalannya waktu, Cut Nyak Dien akhirnya melepaskan status jandanya. Kali ini pria yang dinikahinya adalah Teuku Umar yang setelah pernikahan diangkat menjadi panglima perang. Ketika banyak daerah yang telah dikuasai oleh Belanda dan Belanda menyatakan damai, banyak Hulubalang yang menyerah damai. Namun, Cut Nyak Dien tetap tegas menyatakan pantang tunduk. Atas kegigihannya mengobarkan semangat jihad, banyak para pahlawan kian bersemangat dalam berjuang mengusir Belanda untuk secara teratur munudr dari Jawa pada tahun 1873.


Rumah Cut Nyak Dhien di Desa Lampisang, Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar

Setelah peperangan tersebut, Cut Nyak Dien pulang ke kampungnya, Lampisang. Sampai di Lampisang, ia menggantikan kedudukan ayahnya yang sudah lanjut usia sebagai Hulubalang VI Mukim. Selain memegang tampuk pemerintahan, Cut Nyak Dien juga mengatur siasat untuk menentang Belanda dari dalam rumahnya yang dijadikan “Markas Besar”. Cut Nyak Dien pun terus berusaha mengubah paham suaminya agar tidak berdamai dengan Belanda. Hal ini akan terlihat jelas saat Teuku Umar menyebrang ke pihak Belanda.
Teuku Umar mengajukan penyerahan diri dan menyatakan siap membantu Belanda mengamankan Aceh Besar yang diikuti sikap Jenderal C. Deijkerhoff untuk meneliti kesungguhan suami Cut Nyak Dien tersebut. Pada bulan Agustus 1893, Teuku Umar dengan menggunakan kebijaksanaannya berhasil mengamankan Mukim XXV untuk membuktikan kesungguhannya. Deijkerhoff pun merasa puas atas sikap Teuku Umar dengan menerima penyerahan dirinya. Pada tanggal 30 Sempetember 1893, Teuku Umar bersama 15 orang panglimanya menyatakan sumpah setia di hadapan Deijkerhoff dalam sebuah upacara.[2] Gelar Johan Pahlawan Panglima Besar Hindia Belanda didapatkan pada upacara ini. Teuku Umar juga diberi sebuah rumah besar, diangkat sebagai pejabat pemerintah, dan mendapatkan gaji. Selama 3 tahun Teuku Umar berada di pihak Belanda, dan selama itu pula Cut Nyak Dien tetap tegas melawan Belanda dan berusaha mempengaruhi suaminya untuk tidak terus melanjutkan taktiknya.

Adalah Teuku Fakinah, seorang pejuang wanita yang selalu gigih melawan Belanda. Teuku Fakinah memiliki hubungan yang erat dengan Cut Nyak Dien karena keduanya saling membantu ketika peperangan. Saat Teuku Fakinah mendengar berita mengenai Teuku Umar, ia memikirkan bagaimana caranya supaya Cut Nyak Dien dapat mempengaruhi suaminya untuk kembali ke jalan yang benar. Maka Teuku Fakinah mengirim Cut Nyak Dien surat berisi permintaan agar suaminya menyerang benteng-benteng Inong Bale. Tujuannya agar dia tahu keberanian wanita Aceh yang terdiri dari janda-janda. Melihat kondisi tersebut, Cut Nyak Dien tersadar dan mengirim surat balasan pada Teuku Fakinah yang berisi harapan agar Allah mengembalikan langkah Cut Nyak Dien dan Teuku Umar ke jalan semula.

Teuku Umar mendapati bahwa walaupun berada di pihak Belanda, ia mengalami kesulitan untuk mengubah langkah Belanda agar menguntungkan pihak Aceh. Menyadari hal tersebut, maka Teuku Umar berencana untuk kembali berbalik melawan Belanda setelah mendapatkan senjata tambahan, yaitu 380 pucuk senapan achterlaad, 25.000 peluru Beamont, 120.000 slaghoedjes, 5.000 kg loods, dan uang $18.000. Setelah kembali ke pihak Aceh, Teuku Umar bersama Cut Nyak Dien melancarkan perang gerilya. Saat perang inilah, Teuku Umar meregang nyawa. Ia syahid dalam sebuah pertempuran. Berita syahidnya Teuku Umar sampat membuat Cut Nyak Dien terpaku. Namun tak lama berselang, kebanggaan tersirat dalam dirinya karena sejatinya Teuku Umar meninggal dalam kondisi syahid.

Pasca syahid suami keduanya inilah Cut Nyak Dien bersumpah: “Demi Allah, selama Pahlawan Aceh masih hidup, peperangan tetap kuteruskan guna kepentingan agama, kemerdekaan bangsa, dan negara.”[3] Cut Nyak Dien pun meneruskan perjuangan suaminya dan bergerilya selama enam belas tahun di tengah hutan.
Pada tanggal 6 November 1905, Belanda menyerbu ke hutan, tempat di mana Cut Nyak Dien bersembunyi. Dalam serbuan itu situasi menakdirkan Cut Nyak Dien tertangkap. Dalam kondisi yang lanjut usia dan tidak kuasa lagi melawan Belanda, perempuan pemberani itu mencabut rencong di pinggang pendukungnya lalu dihadapkan ke dadanya. Sebelum rencong tersebut menikam dadanya, Letnan Van Vuuren secepat kilat merampas rencong dari tangannya. Akibat perbuatannya, Van Vuuren membuat marah Cut Nyak Dien yang berkata, “Jangan kau menyinggung (menyentuh) kulitku, kafir!”[4] Versi lain menebutkan bukan Van Vuuren yang menangkap lengan Cut Nyak Dien, melainkan Panglima Laot, pengikut Cut Nyak Dien yang selalu menasehati pahlawan perempuan tersebut untuk menyerah pada Belanda.

Panglima Laot-lah yang melapor kepada Belanda mengenai posisi Cut Nyak Dien. Panglima Laot melapor akibat ia tidak tahan lagi melihat kondisi Cut Nyak Dien yang begitu menyedihkan. Ketika Panglima Laot menangkap tangan Cut Nyak Dien agar melepaskan rencong, Cut Nyak Dien marah dan menjeritkan hinaan: “Cis, kau pengkhianat!” Cut Nyak Dien juga berkata kepada Kapten Veltman: “Kau kafir jahanam, tembak saja aku! Di Meulaboh pun kau nanti akan membuangku ke laut.”[5] Dari perkataan Cut Nyak Dien ini, kita dapat menyimpulkan bahwa walaupun dalam keadaan terdesak, beliau tidak begitu saja takut dan menyerah. Beliau terus melawan, walau kemungkinan untuk menang sangat kecil. Sikap beliau terhadap Belanda sama sekali tidak berubah, tetap tegas menghadapi mereka.

Alhasil, Cut Nyak Dien dibawa ke Meulaboh. Dari sana, beliau diberangkatkan ke Kutaraja. Awalnya, Cut Nyak Dien tidak akan diasingkan. Tetapi, Pemerintah Belanda khawatir jika tidak diisolir Cut Nyak Dien dapat kembali mengobarkan semangat perjuangan. Akhirnya keputusan mengasingkan Cut Nyak Dien itu dipilih belanda. Perempuan gagah berani itu dibawa ke Batavia hingga kemudian diasingkan ke Sumedang. Namun dalam pengasingannya, Cut Nyak Dien mendapatkan perlakuan istimewa meski ia tetap tidak diizinkan melihat tanah Aceh. Hingga pada tanggal 6 November 1908, mujahidah tersebut meninggal dalam pengasingan.

Ketahuilah, Cut Nyak Dien memiliki pengaruh besar di masyarakatnya dan cukup ditakuti oleh Pemerintah Belanda. Beliau disegani kawan maupun lawan. Hal ini terbukti dari kebijakan Belanda untuk mengasingkan Cut Nyak Dien ke Sumedang, jauh dari tanah dan rakyatnya. Padahal Cut Nyak Dien pada saat itu telah berusia lanjut dan lemah.

Pengaruh Cut Nyak Dien, seperti yang diuraikan dari karangan Pol bahwa di Meulaboh kejuruan/uleebalang, datuk-datuk, penghulu-penghulu, dan lain-lain mulai dari setinggi-tingginya sampai serendah-rendahnya betul-betul menjadi momok menakutkan bagi Belanda.[6]. Walaupun tidak dapat berjuang dengan tangan dan kaki, tapi pikirannya mampu mengobarkan semangat para pahlawan Aceh untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Selain itu, beliau juga dapat bertahan di hutan-hutan dengan makanan seadanya, bahkan berminggu-minggu tanpa sesuap nasi. Padalah pada saat itu, usia Cut Nyak Dien telah udzur. Hal inilah yang menyebabkan para pengikutnya mengadakan perjanjian dengan Belanda. Mereka sudah tidak tahan lagi dengan kondisi Cut Nyak Dien dan ingin menyelamatkannya.

Cut Nyak Dien bukan hanya pejuang yang gigih, tegas, dan tangkas, tapi beliau juga seorang istri yang selalu menyayangi dan menghormati suaminya. Cut Nyak Dien memang tidak menyukai taktik yang dijalankan oleh Teuku Umar, tapi beliau terus mendukung dan mengingatkannya dengan berbagai cara. Beliau juga tidak terlena dengan perlakuan istimewa Pemerintah Belanda ketika Teuku Umar berada di pihak Belanda. Saat Teuku Umar kembali melawan Belanda, Cut Nyak Dien mendukung suaminya dan berusaha agar para pejuang Aceh dapat menerima suaminya.

Cut Nyak Dien berjuang bukan hanya dengan tenaga dan kekuatannya, tapi juga dengan pemikiran dan keteguhannya membela agama. Seperti yang dikatakan Snouck Hurgronje, kekuatan perjuangan pasukan Aceh bukan dari tenaga mereka tapi dari agama mereka. Begitu pula dengan semangat perjuangan Cut Nyak Dien. Wallahu’alam bi ash shawwab. (islampos.com)
*Penulis adalah Guru Pesantren Husnayain, Sukabumi

sumber : seputaraceh.com (Visit Now)
Baca Selengkapnya