PROVINSI Aceh merupakan satu wilayah yang memiliki sejumlah situs bersejarah, yang tentunya menjadi salah satu daya tarik wisatawan. Ini merupakan satu asset daerah yang harus terus dijaga dan dilestarikan sehingga tidak punah. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kebanyakan dari situs-situs bersejarah yang berada di wilayah Aceh berada dalam kondisi memprihatinkan baik dari segi penanganan maupun pemanfaatan.
Sebagian situs bersejarah tersebut memang sudah dilakukan penanganan dalam rangka pemelihaaan, namun sayangnya kegiatan yang dilakukan hanya sebatas pemugaran tanpa ada kegiatan tindak lanjutnya. Sehingga hasil akhir yang terlihat adalah sebuah lokasi yang sunyi senyap tanpa memberi kontribusi nyata bagi masyarakat di sekitarnya. Kontribusi situs hanya dirasakan oleh peneliti yang menaruh perhatian dalam ranah ilmiah.
Secara umum, situs-situs Cagar Budaya yang tersebar di berbagai kawasan di Aceh itu tidak tertangani dengan baik. Jika sebagian pihak mengatakan bahwa telah dilakukan pemugaran terhadap sebagian situs Cagar Budaya, pernyataan ini memang benar adanya, namun kenyataan yang terlihat adalah bahwa sangat kurang pemanfaatan terhadap situs yang sudah dipugar. Setelah kegiatan pemugaran selesai maka selesailah kegiatan di situs tersebut. Idealnya, setelah kegiatan pemugaran selesai dilakukan, kawasan tersebut dapat dan boleh dimanfaatkan oleh masyarakat. Sehingga tidak terkesan bahwa situs Cagar Budaya hanya dikunjungi pada waktu-waktu tertentu oleh orang-orang tertentu.
Mungkin pembaca masih ingat tentang penemuan sepasang Ular Phyton di situs Taman Putroe Phang (Serambi, 28/3/2012). Berita ini tentunya mengejutkan kita semua, bagaimana sebuah situs yang berada di tengah kota Banda Aceh tenyata berisi dihuni Ular Phiton? Bahkan pengakuan masyarakat, di sungai kecil yang melintasi Taman Putroe Phang masih ada seekor Phyton lagi. Ada apa dengan pengeloaan situs Taman Putroe Phang, tidak terawat, dan tidak dimanfaatkan oleh masyarakat?
Berbagai pertanyaan itu, tentunya, membutuhkan jawaban dan perhatian besar dari pihak-pihak terkait. Dibutuhkan sebuah good will terhadap pengelolaan dan pemanfaatan cagar budaya sehingga dapat memberi manfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Lalu bagaimana sebenarnya pengelolaan dan pemanfaatn yang ideal terhadap situs cagar budaya?
Boleh dimanfaatkan
Dalam Undang-Undang Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010 Pasal 1 ayat 21 disebutkan bahwa pengelolaan adalah upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Jabaran UU ini, memberikan gambaran bagi kita bahwa cagar budaya boleh dimanfaatkan dalam rangka memberikan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat di sekitar kawasan cagar budaya tersebut.
Pemanfaatan Cagar Budaya dapat dilakukan melalui zonasi situs sehingga keberadaan Cagar Budaya tersebut tidak akan terganggu oleh aktivitas masyarakat di kawasan tersebut. Zonasi situs adalah untuk menentukan batas-batas keruangan situs Cagar Budaya dan kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan.
Dengan kata lain, maksud dari zonasi situs adalah membagi sebuah wilayah situs menjadi tiga tingkatan, yaitu: Pertama, Zona Inti yang merupakan areal utama di mana Cagar Budaya tersebut berada; Kedua, Zona Penyangga yang berfungsi sebagai pelindung atau “pagar” bagi Cagar Budaya di kawasan tersebut, dan; Ketiga, Zona Bebas yang merupakan areal yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat baik sebagai tempat rekreasi maupun aktivitas ekonomi.
Dengan adanya zonasi itu, maka upaya memberi perlindungan situs dari kerusakan dan kehancuran Cagar Budaya yang akan muncul akibat dari adanya aktivitas masyarakat di kawasan tersebut dapat diminimalisir. Zonasi dapat dikatakan sebagai body guard atau penjaga Cagar budaya di suatu kawasan. Dengan adanya zonasi juga memudahkan dalam melaksanakan penataan situs Cagar Budaya sehingga kawasan tersebut tidak hanya terlindungi namun juga memiliki nilai estetis/keindahan.
Upaya yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan zonasi salah satunya adalah penataan situs seperti membuat jalan setapak yang mengitari situs sehingga pengunjung akan merasa betah dan nyaman ketika berkunjung ke kawasana tersebut. Selain itu perlu dilakukaan penataan taman sehingga memberi kesan sejuk dan indah. Namun dalam penataan taman ada aturan yang harus diperhatikan yaitu tidak boleh ada tanaman yang tingginya melebihi satu meter. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kerusakan situs yang diakibatkan oleh akar tanaman.
Pemanfaatan dan pengelolaan yang baik tentunya akan memberi hasil yang maksimal baik terhadap sektor industri pariwisata maupun penguatan ekonomi masyarakat. Upaya penting yang harus dilakukan oleh pengambil kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan situs Cagar Budaya adalah melibatkan masyarakat setempat sehingga mereka merasa memiliki situs tersebut.
Perasaan memiliki ini pada akhirnya akan mendorong mereka untuk tetap menjaga dan melestarikan Cagar Budaya tersebut. Perasaan memiliki ini dapat ditumbuhkan melalui penguatan ekonomi masyarakat dengan cara menjadikan situs dan kawasan Cagar Budaya sebagai obyek wisata. Masyarakat harus dilatih untuk terampil menghasilkan karya seni seperti cinderamata yang dijajakan di kawasan situs Cagar Budaya yang dilakukan di Zona Bebas.
Pentas seni terbuka
Selain sebagai penguatan ekonomi masyarakat, situs Cagar Budaya boleh dan dapat dimanfaatkan sebagai wadah bagi seniman untuk melakukan atraksi seni. Sebagai contoh, Taman Putroe Phang dapat dijadikan sebagai pentas terbuka bagi sanggar seni yang tersebar di kota Banda Aceh. Adanya pentas dan pertunjukan seni terbuka ini tentunya akan menarik minat dan perhatian masyarakat untuk berkunjung ke lokasi cagar budaya yang bersejarah itu.
Pengalaman penulis ketika menempuh pendidikan di Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, masyarakat di sekitar kawasan Candi Prambanan memanfaatkan lokasi Cagar Budaya tersebut untuk mementaskan “Sendratari Ramayana” setiap malam purnama. Atraksi ini tidak hanya ditonton oleh masyarakat lokal saja, namun juga menjadi tontonan menarik bagi turis mancanegara.
Mungkin kita bisa mencontoh konsep yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar Candi Prambanan itu dan meramunya dengan tepat, sehingga tidak bertentangan dengan Syariat Islam. Dan sekali lagi, untuk mewujudkan ini semua dibutukan good will dan keseriusan dari pengambil dan pemangku kebijakan. Semoga!
* Laila Abdul Jalil, Alumni Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra UGM Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh Program Pascasarjana Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Email: jalil_laila@yahoo.co.id. di Publikasikan di media massa Serambi Indonesia pada Tanggal Sabtu, 26 Mei 2012
Sumber : www.serambinews.com (Visit This Website Now)